Kolom Zaenal Abidin
Jika tidak ada aral melintang maka KKSS akan menghelat Mubes XII di Kota Makassar, tanggal 9 -1 1 April 2025 mendatang. Salah satu agenda yang selalu menarik perhatian publik, pejabat publik, elit politik, media, dan tentu saja peserta dan warga KKSS adalah pemilihan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) KKSS. Ketua Umum yang akan menjadi nahkoda KKSS untuk periode lima tahun mendatang.
Mengapa pemilihan Ketua Umum KKSS selalu memperoleh perhatian publik? Sebab, posisi organisasi KKSS sangat strategis. Strategis karena KKSS memiliki struktur organisasi di setiap provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan di seluruh Indonesia, kecuali di Sulawesi Selatan. KKSS bahkan memliki badan perwakilan di beberapa kota-kota di luar negeri.
Bagi sebagian tokoh-warga KKSS bukan sekadar menarik perhatiannya, melainkan mereka pun turut serta dalam proses kandidasi untuk menjadi Ketua Umum. Sebagian dari mereka menyiapkan visi-misi dan krar untuk meluangkan sebanyak mungkin waktu, pikiran dan tenaga (bukan sisa-sisa waktu, pikran, dan tenaga) untuk memajukan KKSS, serta berjanji akan menjadi pelayanan bagi puluhan juta warga KKSS yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Ikrar atau ulu ada yang di dalamnya terkandung sebuah nilai, harga diri, dan kehormatan yang akan dipertaruhkannya dan dipertanggung jawabkan lahir-batin, dunia-akhirat, bila kelak terpilih menjadi Ketua Umum.
Nilai Utama Pemimpin
Sebagai organisasi para perantau asal Sulawesi Selatan, KKSS memang terkenal dengan nilai budaya yang menjadi harga atau kehormatannya yang dipegang teguhnya. Harga diri dan kehormatan sekaligus merupakan harga diri dan kehormatan dari warga KKSS itu sendiri. Harga diri dan kehormatan yang dimaksud adalah siri’. Nilai siri’ ini sendiri dapat ditemukan padanannya pada distilah dignitas yang diciptakan oleh Cicero.
Cicero adalah orator, penulis, dan negarawan Romawi (lahir 3 Januari 106 SM dan meninggal 7 Desember 43 SM), menciptkan kata dignitas, yang berarti martabat manusia, karena menyangkut aspek keutamaan atau keunggulan yang menjadikannya layak dihormati. Kata dignitas dihubungkan dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban manusia.
Bila dignitas itu berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban publik maka orang tersebut akan mendapatkan nilai yang sangat tinggi di tengah masyarakat. Sebaliknya, bila ia melalaikan tugas dan kewajiban tersebut maka ia akan dipandang rendah atau hina. Karena itu, menurut Cicero, dignitas manusia terletak pada tindakan yang disesuaikan dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
Dalam hubungan pemimpin dan kepemimpinan, bila mengacu pada kata dignitas Cicero di atas, kita akan bertemu dua jenis dignitas, yakni dignitas pemimpin sebagai individu manusia dan dignitas pemimpin sebagai institusi kepemimpinan. Dignitas pemimpin sebagai individu manusia lebih menekankan aspek kesamaan antar manusia. Dignitas pemimpin sebagai individu manusia sama saja dengan dignitas manusia lain (orang-orang) yang dipimpinnya.
Dignitas pemimpin sebagai individu manusia adalah stabil, karena melekat pada diri selama ia masih manusia. Tidak berubah walaupun ia kehilangan sebagian anggota badannya atau sakit sekali pun. Dalam bahasa Indonesia dignitas semacan ini disebut “martabat”, berasal dari bahasa Arab “martabah” yang berarti kedudukan atau peringkat utama atau mulia. Dignitas ini juga sering dinamakan intrinsic dignity.
Sedangkan, dignitas pemimpin sebagai institusi kepemimpinan, yang karena tugas dan kewajibannya melayani anggota atau masyarakat maka ia akan menunjukkan level dan keutamaan yang tidak sama untuk setiap pemimpin. Dignitas jenis ini bisa naik dan bisa pula turun tergantung seberapa teguh dan serius ia menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pemimpin. Dignitas ini lebih dekat dengan kata “harkat” dalam bahasa Indonesia atau attributed dignity.
Selanjutnya, nilai utama apa yang harus diletarikan oleh KKSS dan warga KKSS? Hemat penulis KKSS tidak perlu terlalu jauh mencari kunci atau nilai utama kepemimpinan yang perlu dilestarikan atau diterapkan. Sebab, bila kunci dan nilai utama itu masih ada dan tersimpan rapi di dalam KKSS dan warga KKSS maka sebaiknya cari dan temukan saja tersimpan di dalam tubuh sendiri. Bukankah pada diri warga KKSS telah tertanam rapi nilai utama yang luhur dan diwariskan secara turun-temurun, yang sekaligus merupakan nilai utama kebudayaannya.
A. Rahman Rahim dalam buku “Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis” menyebutkan beberapa nilai utama Kebudayaan Bugis, termasuk Sulawesi Selatan secara keseluruhan, seperti: kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhan, usaha, berani, dan seterusnya.
Kejujuran (alempureng) selalu diletakkan pada urutan pertama sebab ia diharapkan menjadi pemandu bagi nilai-nilai lainnya. Lempu sama dengan lurus sebagai lawan kata dari bengkok. Adakalanya dinamakan ikhlas, benar, baik, atau adil, sehingga lawan katanya adalah culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu daya, aniaya, dan sejenisnya.
Kecendekiaan (amaccang). Orang yang cendekia sering dinamakan toacca atau tokenawanawa. Lontara sering meletakkan nilai kecendeiaan berpasangan dengan nilai kejujuran, sebab keduanya saling mengisi dan melengkapi. Karena itu acapkali ditemukan ungkapan, “Jangan sampai engkau ketiadaan kecendekiaan dan kejujuran. Adapun yang dinamakan cendekia ialah tidak ada sulit dilaksanakan, tidak ada pembicaraan yang sulit disambut dengan kata-kata yang baik dan lemah lembut lagi percaya kepada sesama manusia. Yang dinamakan jujur ialah perbuatan baik, pikiran benar, tingkah laku sopan lagi takut kepada Tuhan.”
Kepatutan (asitinajang). Kata ini berasal dari kata tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas, layak, atau patut. Nasihat lontara’, “Duduki kedudukanmu, tempati tempatmu.” Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya adalah termasuk perbuatan mappasitinaja. Sementara merusak tata tertib (wari’) adalah kezaliman.
Kewajiban yang dibaktikan adalah perlakuan sitinaja. Mendapatkan banyak atau sedikit harta atau kedudukan tidak dipersoalkan oleh sitinaja. Ambil yang sedikit bila itu mendatangkan kebaikan dan tolak yang banyak bila itu mendatangkan kebinasaan. Kepatutan sering dihubungkan dengan kemampuan (makamaka) untuk memikul dan mempertanggung jawabkan sesuatu secara jasmaniah dan ruhaniah.
Ada empat hal merusak sitinaja, yang akibatnya dapat menyebabkan kerusakan negeri: Pertama, ketamakan atau keserakahan, akan menghilangkan malu. Kedua, kekerasan akan melenyapkan kasih-sayang dalam negeri. Ketiga, kecurangan, akan memutuskan orang sekeluarga. Keempat, ketegahan, akan menjauhakn kebenaran di dalam kampung.
Keteguhan (agettengeng). Keteguhan sering disepadankan dengan kata tepat asas, setia pada keyakinan, tangguh pada pendirian atau erat memegang sesuatu. Keteguhan sama halnya dengan kejujuran dan kecendekiaan, sangat terikat dengan makna positif. Karena itu, Tociung (cendekiawan Luwu) mengatakan, empat perbuatan nilai keteguhan: (a) Tak mengingkari janji, (b) tak menghianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah keputusan, (d) jika berbicara dan berbuat tak berhenti sebelum rampung.
Usaha (reso), sering disambungkan dengan kata temmangingngi. Lebih lengkapnya, “resopa temmangingngi namalomo naletei pammase dewata”, yang berarti hanya perjuangan dan kerja keras yang terus-menerus yang akan mendapat rida Tuhan Yang Mahakuasa.
Nilai usaha merupakan nilai kunci bagi pelaksanaan nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, dan keteguhan. Nilai-nilai tersebut barulah dapat berperan secara tepat guna dan berdaya guna bila didukung oleh nilai reso atau usaha. Namun, sebagian lagi orang berpendapat bahwa nilai reso pun tidak berarti apa-apa tanpa adanya nilai warani (keberanian) yang mendorongnya. Tentu berani yang dimaksud ialah yang juga dilandasi oleh nilai kejujuran, kencendekiaan, kepatutan, dan keteguhan.
Cara Memilih Pemimpin
Di dalam buku La Toa, H. A. Mattulada mengutip pesan atau nasihat Arung Bila (pembesar, orang bijaksana Kerajaan Soppeng, seorang Bugis terkemuka pada zamannya), mengatakan yang boleh diangkat menjadi parewa ri-tanah-e (alat atau petugas negara) ialah mereka yang sungguh-sungguh memahami tujuh macam syarat.
Pertama, dipahaminya ade’. Apabila tak diketahuinya apa yang disebut ade’, yang dikacau-balaukannya bicara (perkataan) itu. Kedua, mengetahui bettuang (makna). Keburukan orang yang tak mengetahui bettuang, mudah ia dikelabui oleh sesamanya manusia, akibatnya merosotlah kewibawaan raja. Ketiga, takut kepada dewata. Keburukan orang yang tidak takut kepada dewata ialah menerima upah dari bicara itu. Keempat, berpendirian tegas. Keburukan orang yang tak berpendirian tegas ialah mudah meninggalkan janji.
Kelima, diketahui apa yang disebut wari’ (tata cara). Keburukan orang yang tak mengetahui wari’ ialah mudah mempertukarkan tanah pusaka orang. Keenam, dipahami apa yang disebut rapang (ibarat). Keburukan orang tak mengetahui rapang ialah mudah mundur dari ulu ada (ikrar). Ketujuh, sungguh-sungguh dipahaminya apa yang disebut bicara. Keburukan orang yang tak tahu apa yang disebut bicara ialah mudah merubah kesepakatan.
Hemat penulis nasihat Arung Bila di atas masih sangat aktual dan relevan bagi KKSS , baik kekinian maupun keakanan, termasuk ketika hendak memilih Ketua Umum. Bahkan untuk menyeleksi dan memilih pemimpin dalam konteks keindonesiaan pun masih sangat aktual. Akan tetapi, bila masih memerlukan tambahan rujukan sebagai penguat, penulis menawarkan untuk dapat mengambil pelajaran dari kisah tiga tokoh berikut ini. Tokoh yang penulis maksud adalah Imam Bukhari, Abu Dzar Al Ghifari, dan Umar bin Abdul Azis.
Imam Bukhari yang nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari memang tidak bermaksud menyeleksi atau memilih pemimpin, tapi beliau dikenal sangat ketat dalam menyeleksi dan memilih hadits-hadits yang dikumpulkannya. Termasuk menyeleksi dari siapa hadits itu ia terima atau siapa yang meriwayatkan atau menyampaikan hadits (perawi hadits) tersebut. Imam Bukhari dikenal pernah menolak hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang pernah berbohong (dusta).
Dusta perawi hadits tersebut memang terkesan amat sepele, sebab hanya pernah atau terlihat memanggil ayam-ayamnya sambil menggenggam tangan saja. Seolah dalam genggamannya ada makanan ayam, padahal kosong. Namun bagi Imam Bukhari perbuatan membohongi ayam seperti itu sudah tergolong sikap immoral, sehingga haditsnya tidak pantas untuk diterima. Hanya membohongi ayam saja haditsnya sudah tidak diterima, apalagi bila ia membohongi seorang manusia atau bahkan jutaan manusia.
Apakah perawi hadits di atas tidak atau kurang cakap? Jelas cakap sebab ia penghafal dan penyampai hadits. Namun standar nilai utama dan pertama yang digunakan oleh Imam Bukhari adalah lempu’ (jujur), yang tidak suka berdusta (mabbele). Jadi pesan dari penggunaan standar ini adalah alempureng (kejujuran) mendahului amaccang (kendekiaan). Karena itu amaccang wajib selalu dialasi dengan alempureng.
Abu Dzar Al Ghifari salah seorang sabat memperoleh kehormatan tertinggi di sisi Rasulullah Saw. Suatu ketika Abu Dzar bermaksud meminta jabatan kepada`Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?”, kata Abu Dzar. Sembari menepuk bahu Abu Dzar, Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar.”
Bila merujuk kepada hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah menolak memberi jabatan kepada orang yang memintanya dan kepada orang yang ambisius. “Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yang memintanya, tidak juga kepada orang yang ambisi terhadapnya.”
Pada riwayat lain, dikemukakan bahwa Abu Dzar tidak pernah diragukan imannya. Dia lelaki yang memiliki lisan paling lempang, lidah paling jujur, dan tutur paling benar di segenap kolong langit ini. Dialah sang “Ashdaqu Lahjatan”. Namun, Abu Dzar bukanlah orang yang tahan untuk diam dan berlapang dada terhadap kesalahan sesama. Lisan kebenarannya kadang tajam dan tidak menimbang perasaan orang lain. Nah, apakah karena kedua atau salah satu sebab tersebut sehingga Rasulullah Saw menyebutnya lemah untuk memegang jabatan? Wallahu a’lam.
Selanjutnya, Umar bin Abdul Azis. Mendengar nama Umar bin Abdul Aziz diumumkan menjadi pengganti khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, para menteri dan pejabat muslim di Madinah serentak mendukungnya. Hanya Umar bin Abdul Aziz sendiri yang tidak setuju. Beliau melakukan interupsi, “Aku tidak menghendaki jabatan khalifah, aku tidak pernah diajak musyawarah atas jabatan itu, aku pun tidak pernah memintanya, cabutlah baiat itu dan pilihlah yang kalian kehendaki.”
Para petinggi pemerintahan dan umat muslim bergeming atas intrupsi Umar bin Abdul Azis. Mereka tetap meminta Umar menunaikan amanat kehalifahan. Akhirnya Umar bin Abdul Azis menerima jabatan tersebut dengan sebutan Amirul Mu’minin.
Usai dibaiat dan menyampaikan pidato iftitah, ia pulang ke rumahnya dengan raut muka sedih. Istrinya bertanya, wahai suamiku mengapa engkau seolah-olah menanggung beban berat? Umar menjawab, “Wahai istriku, aku telah diuji Allah dengan jabatan ini dan aku teringat orang-orang yang miskin, ibu-ibu janda, dan mereka yang rezekinya sedikit; aku juga teringat orang-orang tawanan dan para fuqara’. Akut tahu mereka akan mendakwaku di akhirat kelak, padahal aku selaku khalifah tidak akan mampu menjawab argumen mereka karena aku tahu yang menjadi pembela mereka kelak ialah Rasulullah Saw.”
Karena sadar bahwa jabatan khalifah adalah ujian dan teringat pada orang-orang fakir, miskin, ibu-ibu janda, mereka yang rezekinya sedkit, serta sadar bahwa mereka mendakwahnya di akhirat kelak sementara pembelanya adalah Rasulullah Saw sendiri, maka Amirul Mu’minin segera melakukan reformasi secara fundamantal. Para pengawal khusus dengan gaji khusus, yang sebelumnya bertugas menjaga istana dibubarkannya. Bila para pengawal tersebut masih mau mengabdi kepada negara, akan dimasukkannya sebagai tentara reguler. Alat angkutan khusus khalifah dan berbagai fasilitas kemewahan lain dijual dan hasilnya dibagikan kepada fakir miskin.
Umar bin Abdul Azis yang sebelumnya dikenal kaya raya, kemudian menyerahkan semua tanah dan harta kepada Baitul Mal. Perhiasan istri ada harta anaknya pun ikut diserahkannya kepada negara. Amirul Mu’minin berpendapat bahwa ia harus memulai dari diri dan keluarganya sendiri untuk memberi teladan kepada rakyatnya.
Dengan teladan yang yang baik dari Amirul Mu’minin maka para pegawai kerajaan serta para menterinya pun mengikuti langkahnya. Alhasil, di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Azis umat Islam mengalami masa keemasan kedua setelah era Khulafa ar-Rasyidun. Rakyat hidup adil, makmur dan sejahtera, sehingga tak seorang pun di antara mereka yang berhak menjadi penerima zakat.
Catatan Akhir
Bila penulis ditanya, seperti apa calon Ketua Umum yang dibutuhkan oleh KKSS hari ini dan kedepan? Maka jawaban penulis adalah calon yang memiliki kualitas nilai utama kebudayaan yang tersimpan rapi di dalam tubuh KKSS dan tubuh warga KKSS itu sendiri. Calon ketua umum yang pada dirinya tercermin nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhan, usaha, dan keberanian. Serta berikrar untuk menjadikan nilai siri’ sebagai harga diri dan kehormatan yang akan dipertaruhkan dalam kesehariannya. Ikrar yang di dalamnya terdapat konsekuensi bila dilaksanakannya, maupun ketika ia kemudian meninggalkan dan mengingkari ikrarnya itu.
Lalu, bagaimana menyeleksi dan memilih pemimpin yang mewarisi nilai keutaman di atas? Maka penulis pun akan menjawab, ikuti saja tata tertib pemilihan yang telah disediakan sebat tentu itu dibuat berdasar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KKSS dan kemudian silakan berkontestasi secara sehat, tulus, demokratis, dan beradab. Renungkan pesan atau nasihat Arung Bila semoga dapat memberi pencerahan. Bila dirasakan belum cukup, silakan mempelajari bagaimana cara Imam Bukhari menyeleksi, memilih, dan memilah hadits-hadits yang telah dikumpulkannya.
Dan, bila belum puas juga, pelajari sebab musabab mengapa Rasulullah Saw menolak menunjuk Abu Dzar Al Ghiffari menjadi pejabat atau pelajari mengapa Umar bin Abdul Azis menolak ditunjuk menjadi khalifah? Dan pelajari pula langkah reformasi yang dilakukannya setelah ia berbaiat dan menyampaikan pidato iftitahnya. Semoga catatan ringan ini memberi kebaikan dan keberkahan bagi KKSS dan seluruh warga KKSS. Wallahu a’lam bishawab.
Jatiasih-Bekasi, 5 April 2025
Penulis, Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS dan anggota SC Mubes XII KKSS