Cacatan Awal Tahun 2025
Kolom Zaenal Abidin
Harus diakui, pembangunan kesehatan di Indonesia cukup jauh tertinggal dibanding dengan negara ‘setingkat’ seperti negara tetangga. Hal ini dapat kita lihat dari indikator utama kesehatan seperti angka kematian, angka kesakitan, angka harapan hidup rata-rata, perilaku kesehatan, dan lain-lain.
Mengapa pembangunan kesehatan kita masih tertinggal, sehingganya pemenuhan HAM di bidang kesehatan pun acapkali terkendal? Jawabab atas pertanyaan tersebut mungkin cukup kompleks dan multi-faktor. Namun, faktor paling mendasar adalah masih adanya persepsi atau pemahaman yang kurang tepat dari para penentu kebijakan pada tingkat elit pemerintahan terhadap arti dan makna kesehatan.
Prof. dr. Firman Lubis, dalam lokakarya Kesehatan dan HAM; Ikatan Dokter Indonesia 2005, mengemukakan, ada dua hal yang berkaitan dengan persepsi kesehatan yang kurang tepat ini. Pertama, kesehatan lebih dipersepsikan dalam arti sempit hanya suatu kebutuhan semata dari masyarakat. Karena kesehatan merupakan kebutuhan masyarakat maka lebih dipandang sebagai suatu sektor atau bagian dari kewajiban atau tugas pemrintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Karena itu, dalam menyusun kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan serta evaluasi dan usaha kesehatan, terutama dilakukan oleh aparat pemerintah, cq Kemenkes dan kurang mendorong dan melibatkan peran aktif masyarakat itu sendiri. Pemerintah mempersepsikan diri sebagai pelaksana utama dalam upaya kesehatan, sementara masyarakat dipersepsikan hanya sebagai sasaran dan penerima semata.
Persepsi yang sempit di atas tercermin dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang dibuat oleh Depkes (sekarang Kemenkes) sejak dua atau tiga dasa-warsa lalu, yang ternyata lebih merefleksikan sebagai sistem kesehatan pemerintah, dan belum menggambarkan sistem kesehatan secara keseluruhan (secara nasional) yang melibatkan semua potensi seperti swasta dan masyarakat itu sendiri.
Contoh lain, adalah Proyek Samijaga (sarana air minum dan jamban keluarga) yang dulu pernah dilakukan oleh pemerintah. Karena masyarakat kurang diajak dan dilibatkan, akhirnya proyek yang cukup mahal ini kurang berhasil. Masyarakat kurang menggunakan dan karenanya juga kurang merawatnya.
Kedua, kesehatan lebih dipandang sebagai sektor kunsumtif saja. Upaya kesehatan hanya dianggap sebagai sektor pengeluaran (cost sector). Misalnya, pembiayaan rumah sakit, pembelian alat kesehatan mulai yang sederhana sampai yang sangat canggih, obat-obatan dan bahan medis habis apakai guna mengobati dan menyembuhkan orang yang sudah terlanjur sakit.
Upaya kesehatan lebih dilihat sebagai usaha sosial-karitatif atau amal untuk membantu dan meringankan kemalangan dan beban penderitaan orang sakit ketimbang sebagai investasi guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia sendiri.
Cara pandang sempit di atas, telah menyebabkan program kesehatan tidak pernah menjadi prioritas penting. Tidak pernah menjadi bagian mainstream program pembangunan bangsa. Terbukti dengan alokasi anggaran untuk program kesehatan masih tetap rendah. Bahkan dengan UU No.17 Tahun 2023, mandatory spending 5% APBN dan minimal 10% APBD untuk kesehatan di luar gaji pegawai sudah dihilangkan.
Bukti paling gamblang lain, kebijakan pemerintah dalam masalah rokok. Pemerintah masih lebih membela industri rokok dengan dalih uang cukai dari penjualan rokok, padahal penelitian membuktikan bahwa kerugian yang diderita masyarakat akibat rokok adalah 3-4 kali lebih besar dari cukai yang diperoleh pemerintah. Bukti yang hampir sama untuk industri yang tidak peduli terhadap dampak kerusakan lingkungan dan juga menyebabkan kesakitan secara langsung mapun tidak langsung kepada masyarakat sekitarnya.
Untuk memperbaiki tarap kesehatan bangsa kita yang masih sangat tertinggal ini maka fakor mendasar yang harus diperbaiki adalah persepsi penentu kebijakan, persepsi pemeritah yang sempit, harus berubah atau diubah menjadi lebih luas. Kesehatan harus dipersepsikan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Kesehatan sebagai HAM telah tercantum pada Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember Tahun 1948, khususnya pada artikel 25 dan 26. Karena kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia, maka harus ada penghormatan, perlindungan dan jaminan dari negara/pemerintah agar setiap warganya dapat memperoleh hak kesehatan tersebut.
Harus disadari bahwa hak untuk kesehatan ini tidak boleh diambil alih oleh orang lain atau pemerintah, namun harus tetap dipegang oleh masing-masing orang. Tugas dan kewajiban dari pemerintah atau petugas kesehatan hanyalah menciptakan suasana dan kondisi sehingga terpenuhinya hak kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, masyarakat harus selalu dilibatkan secara aktif dalam semua usaha kesehatan yang dijalankan, mulai sejak perencanaan hingga saat evaluasinya. Usaha kesehatan harus selalu menjadi “dari, oleh, dan untuk masyarakat.”
“Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada masusia karena kelahirannya sebagai manusia. Hak-hak tersebut diperoleh bukan atas pemberian orang lain mapun negara, tetapi karena kelahirannya sebagai manusia. Secara religius HAM itu merupakan karunia Tuhan, dan hanya Tuhanlah yang berhak mencabutnya.” Demikian disampaikan oleh Gus Solah, panggilan akrab Almarhum K.H. Salahuddin Wahid dalam kegiatan seminar dan lokakarya di Jakarta 2003, yang bertajuk Keesehatan dan Hak Asasi Manusia.
Hak atas kesehatan dalam Pasal 25 UDHR, mengatakan: Pertama, setiap orang berhak atar tarap kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasanagannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain, yang mengakibatkan merosotnya tarap kehidupan yang terjadi di luar kekuasaannya.
Kedua, ibu dan anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam mapun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama.
Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, manyatakan:
a.Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan tarap kehidupannya.
b. Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejehtera, lahir dan batin.
c. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pasal 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya:
a. Ketentuan pengurangan tingkat kelahiran mati anak serta perkembangan anak yang sehat.
b. Peningkatan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri.
c. Pencegahan, perawatan, dan pengendalian segala penyakit menular endemik, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit lainnya.
d. Penciptaan kondisi-kondisi yang menjamin adanya semua pelayanan dan perhatian medis ketika penyakit timbul.
Catatan Akhir
Semoga ke depan pemahaman kita, para elit, terutama pemangku kepentingan di bidang kesehatan memiliki pemahaman yang tepat dan utuh tentang kesehatan. Sebab, sungguh sangat payah bila penentu kebijakan di bidang kesehatan sendiri yang tidak memilik pemahaman tentang kesehatan.
Kesehatan dipahaminya sekadar upaya menyembuhkan orang yang sudah terlanjur sakit, dengan membangun rumah sakit mewah, peralatan canggih, obat mahal. Bahkan terkesan mencari untung atau berbisnis dengan kesakitan rakyatnya sendiri. Tahun 2025 adalah kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk bangkit memperjuangkan hak kesehatannya.
Pun bagi elit dan penentu kebijakan di bidang kesehatan tahun 2025 ini adalah kesempatan untuk berbenah diri, memperbaiki niat dan pemahamannya tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan. Selamat memasuki tahun baru 2025 kesehatan sebagai HAM semakin nyata dalam implementasinya. Sehat dan bahagia selalu. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum PB. Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015