Kolom Alif we Onggang
Dalam Mubes XII KKSS yang digelar hari ini, 10 April 2025, kemungkinan salah satu bahasan menyangkut nomenklatur KKSS menyusul rencana pemekaran Provinsi Sulawesi Selatan. Preseden pemisahan itu sudah ada sebelumnya di mana provinsi Sulawesi Selatan dulu mencakup Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat.
Sejumlah opini terkait penamaan baru KKSS untuk mengantisipasi seandainya terjadi pemekaran wilayah. Hal ini telah sering diuraikan panjang lebar oleh A. Pawennei dan Fiam Mustamin, kemudian lanjutannya diulas Muchlis Patahna dan Zaenal Abidin (PINISI.co.id, 30 Maret 2025).
Tak ada yang abadi kecuali perubahan. Maka perkembangan geopolitik dunia dan domestik selalu meniscayakan perubahaan dan boleh jadi pada masa-masa datang akibat syahwat politik yang senantiasa membuncah, Sulawesi Selatan akan terus menciut seturut libido kekuasaan dalam rangka mengakses sumber daya ekonomi dan politik.
Meskipun pemekaran wilayah, sebetulnya lebih banyak menyisakan kisah sedih lantaran 80 persen daerah otonomi baru gagal, antara lain sebab masih menyusu pada pemerintahan Pusat. Kesejahteraan rakyat yang menjadi orientasi pemekaran, hanya omon-omon dan jauh panggang dari api.
Jadi hanya menunggu waktu, pemekaran bakal membelah wilayah Sulawesi Selatan menjadi keping-keping dari kepentingan politik ekonomi sekawanan golongan. Rakyat hanya angka dan suaranya hanya buat kepentingan elektoral lima tahunan.
Nah, seandainya terjadi pemekaran Sulawesi Selatan, bagaimana pertaliannya dengan nama KKSS yang menghimpun Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan? Sebab niscaya KKSS makin ringkih karena tergerus oleh wilayah geografisnya.
Bertolak dari kenyataan itu, penulis mengusulkan nama Masugi Maraja dengan mendasarkan pada pertimbangan sosial kultural dan antropologis manusia Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja yang diringkas jadi Masugi Maraja.
Pasalnya, Masugi Maraja memiliki peran historis dan politik di Nusantara sejak ratusan tahun lalu, sementara KKSS baru meniti usia setengah abad.
Masugi Maraja adalah frasa dan akronim yang berasal dari bahasa Bugis-Makassar-Mandar dan Toraja ini memiliki makna filosofis yang satu sama lain saling bertaut. Masugi berarti sejahtera, kokoh dalam prinsip dan hati, akan halnya Maraja bermakna agung dan mulia.
Lagi pula pengertian KKSS lebih sempit karena terikat soal geografis-administratif, sementara Masugi Maraja lebih mencakup, meluas, meruang dan mewaktu; landasannya berpijak pada nilai-nilai peradaban yang sudah mengakar dan adaptif.
Boleh pula diartikan, Masugi Maraja mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan, integritas, dan kehormatan yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Bugis-Makassar, Mandar dan Toraja.
Jadi kendati Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan tersekat secara geografis, namun pandangan dunia (worldview), berupa sistem nilai, ide, norma hidup, spritualitas, perilaku sosial, adat dan kebudayaan saling melekat dalam filosofi siri’ seperti termaktub dalam Lontara Bugis, Makassar, Mandar, Luwu, Toraja dan Mansengrengpulu (Enrekang).
Ibaratnya Masugi Maraja adalah organisme yang terus bertahan, sebaliknya KKSS adalah sel amoeba yang senantiasa berkecambah, membelah sejalan zaman. KKSS laksana jasad atau material yang bisa punah dan mati secara fisik, sebaliknya Masugi Maraja adalah immaterial, roh, jiwa, pikiran dan nilai-nilai yang terus hidup dan beranak pinak kurun demi kurun.
Inilah sebenarnya yang menjadi latar kenapa nama Masugi Maraja disodorkan sebagai lanjutan sekiranya KKSS menyusut dari waktu ke waktu.
Tak disangkal, nilai-nilai Masugi Maraja telah mewarnai kebudayaan dan sejarah Nusantara sebagaimana konsep kepemimpinan ideal yang ditawarkan nilai-nilai virtue maccai na malempu, waraniwi na magetteng (cendekia lagi jujur, berani lagi teguh pendirian).
Jadi nama Masugi Maraja boleh dipertimbangkan, boleh juga tidak. Siapa tahu ada nama yang lebih ajek dan lestari.