Kolom Imran Duse
Dalam upaya memberikan kepastian hukum, tanggung jawab, dan arah kebijakan kepada badan publik, Komisi Informasi telah menerbitkan Peraturan Komisi Informasi (Perki) No.1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (selanjutnya disingkat Perki SLIP).
Dengan terbitnya Perki SLIP ini, maka 2 Perki sebelumnya yang senafas, yakni Perki No.1/2010 dan Perki No.1/2017 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Kendati begitu, terhadap proses permintaan informasi yang sedang berjalan sebelum lahirnya Perki SLIP tetap dapat diproses berdasarkan Perki sebelumnya.
Perki SLIP merupakan acuan atau standar minimal bagi badan publik dalam meningkatkan layanan informasi publik. Juga menjadi pijakan bagi kepastian dan perlindungan pemohon dan pengguna informasi publik serta pembangunan sumber daya manusia pengelola layanan informasi. Muara dari keseluruhan pengaturan ini ialah terwujudnya masyarakat informasi di tanah air.
Jika kita cermati, Perki SLIP sesungguhnya juga merespon perkembangan teknologi informasi kekinian, terutama yang berkorelasi dengan layanan informasi publik di era digital 4.0 saat ini. Karena itu, kita mencatat setidaknya ada 5 dimensi atau muatan pokok, yakni pelaksana layanan informasi publik, penegasan tentang klasifikasi informasi publik, standar layanan, bantuan kedinasan, dan terakhir, tentang laporan dan evaluasi.
Tulisan singkat berikut bermaksud mengelaborasi muatan pokok dalam Perki SLIP tersebut. Terutama mengenai dimensi-dimensi baru yang diakomodasi dalam peraturan tersebut. Akomodasi ini sesungguhnya merupakan jawaban atas hambatan dan tantangan yang selama ini dihadapi para pemangku kepentingan dalam upaya mengimplementasikan keterbukaan informasi publik.
Menggeser Paradigma
Dalam perspektif teknik perundang-undangan, kehadiran Perki SLIP dipandang jauh lebih lebih baik dari Perki sebelumnya. Hal itu dikarenakan proses penyusunan Perki SLIP sudah menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011. Dan tentu saja menjadi lebih kompleks, mengingat telah mempertimbangkan dan mengakomodir persoalan-persoalan yang dihadapi dalam proses ajudikasi maupun pelayanan informasi publik selama ini –sebagaimana telah disinggung di atas.
Salah satu perubahan penting yang diakomodir ialah pengertian mengenai badan publik. Jika selama ini badan publik dipahami sebatas “yang keuangannya bersumber dari APBN dan APBD, baik sebagian maupun seluruhnya”, maka Perki SLIP menggeser paradigma tersebut. Perki SLIP memaknai pemahaman tersebut juga sebagai “yang mengelola keuangan negara”.
Dengan demikian, maka anak-BUMN atau BUMD, yang kalau pun tidak menerima dana secara langsung dari APBN atau APBD, tetap dikategorikan sebagai badan publik. Oleh karena ia dapat dimaknai sebagai mengelola keuangan negara. Termasuk dalam pengertian ini ialah adanya kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Atau kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka tugas pemerintahan dan untuk kepentingan umum.
Pengertian “mengelola keuangan negara” ini dapat diperpanjang, misalnya terkait hak negara memungut pajak, penerimaan dan pengeluaran negara, penerimaan dan pengeluaran daerah, dan juga kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola oleh pihak lain. Dengan kata lain, Perki SLIP “memperluas” pengertian dari badan publik dimaksud.
Dimensi lain yang cukup mendapat perhatian adalah terkait dengan pengadaan barang dan jasa (selanjutnya Perjasa). Tentu sangat beralasan, mengingat tak sedikit sengketa informasi publik yang terjadi selama ini bersinggungan dengan aspek anggaran Perjasa ini. Tapi lebih dari itu, penekanan akan urgensi keterbukaan informasi Perjasa juga dimaksudkan sebagai bagian rencana aksi open government Indonesia.
Kendati demikian, pengaturan Perjasa ini tetap memberi ruang bagi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap badan publik untuk “mengecualikan” informasi-informasi tertentu yang ada dalam dokumen Perjasa sesuai dengan ketentuan yang ada. Pada gilirannya, Perki SLIP diharapkan dapat memberi sumbangan dalam rangka mewujudkan Indonesia menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045.
Penyandang Disabilitas
Dimensi baru yang juga menjadi warna dari Perki SLIP ialah kewajiban badan publik untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam diseminasi informasi publik. Dengan demikian, kegiatan layanan informasi publik di setiap badan publik wajib menyediakan dan melengkapi penyebarluasan informasi publik tersebut dengan audio, visual, atau braile, sehingga dapat diakses oleh penyandang disabilitas.
Hal ini sejalan dengan spirit UUD 1945 Pasal 28F, bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Jadi konstitusi negara mengatur “hak setiap orang”, tak terkecuali saudara-saudara kita yang menyandang disabilitas. Ini juga bersesuaian dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2016, bahwa penyandang disabilitas memiliki hak berekspresi, berkomunikasi dan mendapatkan informasi melalui media yang mudah diakses berupa bahasa isyarat, braile.
Terkait dengan “informasi dikecualikan”, Perki SLIP memberi pemaknaan yang lebih luas, dengan memberi ruang kepada pengaturan dari undang-undang tertentu yang lebih spesifik –sesuai dengan karakteristik informasi (yang akan) dikecualikan. Demikian pula dengan jangka waktu pengecualiaan, dapat didasarkan kepada undang-undang tertentu atau turunannya secara lebih spesifik.
Misalnya, badan publik hendak membuat pengecualiaan informasi terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), maka dapat mengacu kepada undang-undang yang mengatur tentang HAKI. Proses dan mekanisme pengujian konsekuensi juga lebih lebih mendetail pada Perki SLIP.
Selain itu, Perki SLIP juga memberi perhatian atas perlindungan data pribadi, keseimbangan antara hak dan kewajiban (baik terhadap badan publik maupun pengguna informasi), mengatur apa yang disebut sebagai “bantuan kedinasan” atau bagi-pakai informasi antar badan publik, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi melalui Portal Satu Data Indonesia (PSDI). Karena itu, Perki SLIP juga mengatur agar PPID badan publik memperhatikan aspek interoperabilitas data atau kemampuan data untuk dibagi-pakaikan dalam interaksi sistem elektronik.
Dengan itu semua, Perki SLIP selanjutnya mengatur 7 (tujuh) kategori standar layanan informasi publik. Ini dapat menjadi acuan dasar dalam pengelolaan layanan, terutama untuk perumusan standar operasional prosedur (SOP) di PPID badan publik. Ketujuh standar tersebut adalah, standar pengumuman informasi, standar permintaan informasi publik, standar pengajuan keberatan, standar penetapan dan pemuktahiran daftar informasi publik, standar pendokumentasian informasi publik, standar maklumat pelayanan, dan standar pengujian konsekuensi.
Pada akhirnya, di setiap akhir tahun anggaran, badan publik diwajibkan membuat laporan tahunan menyangkut pelayanan informasi publik. Laporan ini disampaikan kepada Komisi Informasi (sesuai dengan tingkatannya), dan setidaknya memuat mengenai gambaran umum pelaksanaan layanan informasi publik, kendala yang dihadapi, serta rekomendasi dan rencana tindak lanjut untuk meningkatkan kualitas layanan di waktu mendatang.
Penulis, Wakil Ketua Komisi Informasi Kaltim