Kolom Alif we Onggang
Indonesia dulu punya tokoh pemimpin daerah yang sukses dan familiar di era 70-an. Gubernur Jakarta Ali Sadikin dan Walikota Makassar Daeng Patompo. Patompo lebih populer ketimbang Gubernurnya, Achmad Lamo. Kota-kota besar saat itu banyak belajar ke Patompo ihwal bagaimana mengenyahkan sampah, berhubung Makassar kota terbersih di tanah air.
Saking terkenalnya, Patompo sempat jadi Ketua Walikota se Dunia. “Ali Sadikin itu Patompo-nya Jakarta,” seru Patompo. Menanggapi hal itu, Ali Sadikin bilang, “Saya angkat topi sama Patompo, berani dan pekerja keras.”
Sekarang terbalik. Agaknya Makassar mesti ‘belajar’ mengelola sampah ke Surabaya, studi ruang publik ke Bandung, berguru ke Semarang dan Yogya menggarap situs sejarah, atau bertanya ke Malang bagaimana menata taman, boleh ke Banyuwangi menyoal pengembangan wisata. Banyuwangi yang semula kota mati, ‘dihidupkan’ secara kreatif dengan kunjungan 5 juta wisatawan oleh bupatinya Azwar Anas.
Pasca Patompo, Makassar lebih menonjol oleh motto dan baliho, entah tagline Kota Bersinar, hingga Smart City. Walikota Ilham Sirajuddin (2004-2008) bahkan berhasrat menjadikan Makassar menjadi Kota Dunia 2025.
Impian menuju kota dunia sudah ada presedennya. Makassar 400 tahun lalu adalah salah satu bandar tersibuk di negeri-negeri bawah angin. Ia kosmopolit sebab beragam suku bangsa hidup harmonis di kota ini. Orang-orang berhidung mancung dari Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda berinteraksi dengan rumpun berhidung pesek dari Bugis Makassar, Melayu, Jawa dan China. Perniagaan antarbangsa membuat Makassar tersohor di seantero Eropa dan Asia Timur, dan tentu saja di regional Asia Tenggara.
Kala itu orang-orang Wajo mengembangkan bisnis seraya membangun Singapura, — kawasan yang masih bagian dari semenanjung Malaka. Jika Singapura melaju pesat menjadi salah satu kawasan paling mencengangkan di dunia, Makassar justru terdesak ke belakang karena lebih asyik bernostalgia dengan masa silamnya.
Makassar adalah tipikal kota-kota di Indonesia, dan streotipe dari miskinnya manajemen perkotaan. Makassar yang adiluhung dengan sejarahnya, tidak banyak meninggalkan jejak geneologis dan arkeologis.
Apa Makassar berniat meniru kota Zhenshen, megapolitan dunia yang dulu belajar lewat Batam perihal bagaimana konsep pengembangan ekonomi. Batam saat ini masih berkutat dengan konflik kepentingan, sementara Zhenshen sudah melesat ke angkasa.
Kota-kota lain berlari cepat karena ia selalu belajar dari pengalaman empirik. Kita kerap mengulangi kesalahan yang sama. Politik sentralistik orde baru merupakan salah satu variabel mengapa di Nusantara ini tidak banyak pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Jadi untuk mendongkrak Makassar menjadi kota berkelas, ia mesti didekati oleh pembenahan yang multidimensional dan inklusif.
Dari dimensi mana Makassar hendak dicapai? Dikerek untuk sejajar dengan kota-kota sebayanya; apa ingin seperti Makao — kota yang lebih mungil dan penduduknya separuh dari Makassar akan tetapi memiliki gedung-gedung kuno nan menawan? Atau mampukah Makassar menyamai Penang, kota sepantarannya yang oleh Asia Week dinilai sebagai salah satu kota terbaik di Asia.
Mungkin terlalu jauh, tapi Surabaya bisa menjadi pembanding, sejauh kota yang dulu jorok dan panas itu kini disulap menjadi kota apik yang mendunia.
Apa di antara calon-calon walikota Makassar yang maju dalam Pilkota 9 Desember 2020, menyiapkan visi untuk memoles kota Anging Mamiri ini lebih resik, ramah, tertata sehingga warganya lebih nyaman dan hepi? Apa ada yang gesit menjadi pemasar yang jitu untuk menjual potensi kotanya?
Sebab ketika pertama terpilih, ia dihadapkan problem klasik seperti sampah, banjir, transportasi, kualitas udara, hingga peruntukan ruang terbuka hijau.
Sebagai Tujuan Wisata
Guna menaikkan harkat Makassar, yang paling mungkin adalah pembangunan pariwisata. Makassar memiliki modal kekayaan sejarah, keunikan budaya dan kelezatan kuliner. Pas sebagai kota konvensi.
Masyarakat diluaskan mencintai kotanya agar tumbuh rasa kepemilikan, dan dikenakan sanksi yang berdampak deteren apabila membuang sampah di sembarang tempat.
Pasalnya, turis lokal dan asing tidak butuh mal melainkan kebersihan dan kenyamanan. Mereka butuh tempat-tempat yang unik, otentik dan eksotis seperti museum, pelabuhan Paotere, kawasan pecinan atau pasar dan permukiman kampung. Tapi kota ini lebih bernafsu membangun pusat perbelanjaan.
Sehingga jika pelancong ke Makassar, imajinasinya terpenuhi tentang yang ikonik sebagai kota maritim. Tapi sayangnya atmospir itu tidak dijumpai lewat tapak-tapak kejayaannya.
Perahu-perahu pinisi tampak anggun mengangkut turis justru kita dapati di daerah wisata dunia di Labuan Bajo, NTT, Bali atau Raja Ampat, Papua. Bukan di pantai Losari. Padahal Shanghai, Bangkok dan Hongkong memanfaatkan perahu-perahu tradisional mereka membawa turis.
Terbayang, jika turis domestik dan asing usai mengujungi Fort Roterdam, naik perahu pinisi mengarungi dan mengitari pulau-pulau Spermonde di sekitar Makassar, lalu ke arah delta sungai Jeneberang berlabuh di Benteng Sombaopu, terus menapak tilas ke muara sungai Tallo, sebagai pusat kerajaan Tallo, di situ Karaeng Pattingalloang, raja paling intelek saat itu di Nusantara dimakamkan. Selanjutnya berwisata sejarah di makam empat pengubah sejarah: Sultan Hanuddin, Arupalakka, Syekh Jusuf, dan Diponegoro — wisata religi dan sejarah yang digandrungi pelancong Jawa.
Tahun lalu saat ke makam Syekh Yusuf dan Arupalakka, kompleks tampak tak terawat dan kumuh. Malah di pelatarannya sampah berserakan, kontras dengan makam Syekh Yusuf di Cape Town tertata necis. Bahkan pemerintahnya menobatkan Syekh Yusuf sebagai Pahlawan Nasional Afsel. Mungkin karena malu, Indonesia memberi gelar serupa di kemudian hari.
Makassar sejatinya berintegrasi sebagai kawasan wisata berikat menggandeng Maros dan Gowa, yang notabene didukung obyek wisata yang memukau.
Pelancong bisa ke taman nasional Bantimurung, sebagai warisan Park ASEAN, sekalian melihat lukisan gua tertua di dunia yang ada di kawasan itu. Bisa pula memilih Enrekang dengan gunung-gunung purbanya, tak kalah memikat dengan pegunungan di Selandia Baru yang menjadi latar film Lord of The Rings, salah satu film terbaik sepanjang masa.
Ke Toraja apalagi.
Kalau semua ini berjalan dan ditopang oleh industri pendukungnya maka tercipta sebuah ekosistem pariwisata yang ajek.
Bila Singapura mampu menjual Bugis Street dan memamerkan prasasti kapal Padewakkang, kenapa Makassar pura-pura menutup mata dan tidak memasarkan pinisi, lambo, padewakkang, dan lepalepa yang hilir mudik di perairan sambil menikmati senja di kota ini?
Cuma walikota yang visioner dan ahli pemasar yang bisa menata semua ini. Sehingga mimpi Patompo yang ingin menjadikan Makassar sebagai city of paradise terkabul.
Penulis adalah pelancong dan penikmat kuliner
Mudah2an calon yg diajukan oleh parpol bisa menjadi walikota yg visioner dan pemasar. Allahumma Aamiin