Kolom Fiam Mustamin
SAHABAT Muchtar Andre, budayawan yang kritis itu menelpon menyampaikan keprihatinannya mengenai dua hal: Sumpah Jabatan dan Mati Rasa.
Sumpah Jabatan itu saya meresponnya dengan antusias yang berkaitan dengan kejadian di masyakarat saat ini.
Perilaku aparat dalam.menghadapi masyarakat yang berjuang mempertahankan hak lahan warisnya di kepulauan Rempang dan sekitarnya Kepri yang akan dijadikan lahan proyek investasi asing. Prosesnya tanpa basa basi bermusyawarah beradab yang dijunjung bersama se Bangsa dan seTanah air.
Aparat telah kehilangan kendali hati nurani, hilang kesadaran dan kesabaran / kategori mati rasa, bahwa yang sedang dihadapi itu adalah saudaranya, cucu turunan yang telah berkorban melahirkan adanya Kemerdekaan dan Kedaulatan sebagai bangsa hari ini.
Aparat adalah mereka yang disebut sebagai abdi negara yang berkewajiban mengayomi dan membela hajat kehidupan rakyat, begitu sumpahnya saat dilantik.
Kemudian saya tambahkan teks sumpah itu, … bahwa apabila saya abai / ingkar dalam kewajiban sebagai abdi rakyat, maka saya terkutuk seketurunan.
Lalu sahabat itu menambahkan bahwa itu masih absrak/absurd perlu tegas lagi dengan Sumpah Pocong yang wujudnya kontan mati bila berbuat ingkar.
Begitulah dialog emosional kepedihan keprihatinan ini sesama anak bangsa yang hampir-hampir putus asa untuk mengingatkannya para pejabat/aparat pemangku abdi rakyat tersebut untuk tidak menjadi makhluk yang tidak Mati Rasa dan terkutuk laknat durjana.
Apa Itu Mati Rasa
RASA itu bagian inti indra manusia yang dalam ajaran tasauf dikenal dengan empat unsur tak terpisahkan yaitu Tubuh/ jamani, Hati/ kalbu/ jiwa, Nyawa/ ruh dan Rahasia.
Mati rasa menjadi bagian hiburan olok olok kepada seseorang teman yang bisa kehilangan kesadaran dan akal sehatnya untuk berbuat hal-hal yang tercela.
Semisal memperdaya orang lain untuk mendapatkan keuntungan material atau mencatut nama orang untuk kepentingannya dan tidak menunjukkan rasa bersalah dengan perbuatannya, seperti tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
Mati Rasa Situasional dan Permanen
SITUASIONAL prosesnya dengan kesadaran melihat ada peluang untuk mencapai suatu keberuntungan secara ekonomi dan status sosial.
Masih bisa membedakan besi panas yang bila dipegang akan melumat tangannya meski besi itu tidak nampak baranya.
Mati rasa permanen ini adalah takdir dari lahir atau gangguan kejiwaan akibat salah gaul dan seringnya berbuat hal tercela.
Dari pesan keluhur mengatakan bahwa seseoang dapat dikatakan Manusia (Tau) apabila perbuatannya memberi kemafaatan bagi sesamanya dan sebaliknya, perbuatan kerusakan derajatnya hanya disebut Boneka (Tau tau) menyerupai manusia.
Bagaimana dengan perilaku pura-pura Mati Rasa dalam kehidupan politik, akan ditulis pada kesempatan lain.
Legolego Ciliwung 22 September