Media, Pemilu dan Partisipasi Politik

0
530
- Advertisement -

Catatan Darma Djufri

Keikutsertaan pada pesta demokrasi pemilihan umum idealnya adalah kegiatan sukarela, tanpa paksaan dan cermin dari kekuatan rakyat. Sebagai partisipan politik yang bersifat sukarela secara langsung telah mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa serta sudah terlibat dalam proses pembentukan kebijakan umum.

Ada tiga faktor yang menjadi momentum tahun politik yaitu pertama, tahun politik merupakan momentum yang paling menentukan dalam manajemen konflik antar partai maupun antar calon presiden dan wakil presiden. Akan tetapi, hampir seluruh partai saat ini terjerat dalam persoalan hukum.

Kedua, branding dan pemasaran politik para politisi sepanjang tahun ini. Misalnya, kandidat yang maju sebagai calon legislatif membangun opini untuk menciptakan rasa memiliki partai pada basis konstituennya.

Ketiga, menjelang pemilu ditandai dengan adanya gerakan para kontestan dalam membangun komunikasi politik lintas kekuatan. Contohnya, persiapan pemilu pemilihan capres dan cawapres, beberapa partai politik telah menentukan pilihan untuk mengusung calon sesuai dengan kesepakatan dari para konstestan.

- Advertisement -

Menariknya, salah satu acuan komunikasi politik lintas kekuatan disini diliat dari seberapa besar kekuatan basis pada wilayah-wilayah tertentu yang telah berhasil meraih simpati masyarakat pada pilkada tahap pertama.

Konsolidasi demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia belum maksimal berpihak pada rakyat. Karena berbagai fenomena politik menunjukkan masih dominannya kaum elite. Beberapa contoh negara yang telah mengalami perubahan kekuasaan diantaranya Thailand, Filiphina, Mesir, Tunisia akan tetapi tidak langsung mampu melakukan konsolidasi demokrasi. Seluruh aktor politik pada level massa maupun elite belum mampu menumbuhkan kepercayaan satu sama lain yang meyakinkan bahwa pemerintahan demokrasi adalah yang paling tepat di Indonesia.

Beberapa hal yang dapat melemahkan proses konsolidasi demokrasi yaitu, belum optimalnya sistem presidensialisme dalam hal ini basis legitimasi presiden bersumber dari rakyat bukan parlemen. Dengan munculnya sistem multipartai yang telah dimulai sejak zaman setelah kemerdekaan, pada tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama diikuti sebanyak 29 partai politik dan peserta independen.

Sampai pada masa Orde Baru tahun 1971, keikutsertaan partai politik untuk berkompetisi dalam memperebutkan kursi dilegislatif sebanyak 10 partai.
Kemudian pada tahun 1998 saat era reformasi politik sebanyak 48 parpol yang dapat mengikuti pemilu tahun 1999.

Kemudian pada 2004 diikuti 24 parpol, dan tahun 2009 kompetisi makin ketat karena jumlah parpol yang berkompetisi untuk memperebutkan kursi di legislatif ada 34 parpol. Akan tetapi hanya 9 parpol yang lolos parlementary threshold 2,5%.

Pada 2014, ada 12 parpol nasional dan tiga parpol lokal dari Aceh. Kemudian tahun 2019 ada 16 parpol dengan parlementary threshold 4%. Hal ini memungkinkan kontestan yang telah bertarung di dapil masing-masing jika suara partai tidak memenuhi parlementary threshold maka tidak diberi ruang untuk duduk di kursi legislatif.

Kedua, belum optimalnya konsep perwakilan dimana di Indonesia menganut konsep Montesquieu (trias politik) tapi pada dasarnya DPR menganut konsep Locke.

Ketiga, menguatnya distorsi politik media. Dalam hal ini yang paling berpengaruh dalam distorsi politik media adalah kepemilikan. KPU telah menetapkan 7.968 orang caleg DPR RI yang akan masuk dalam kompetisi peserta pemilu 2019. Banyak diantaranya incumbent dan new comer yang mencoba mengambil hati masyarakat.

Para kandidat tersebut akan berupaya memiliki akses untuk masuk dan mempengaruhi media dengan asumsi bahwa penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan penguasaan opini publik, Ketiga, memahami sumber konflik pemilu.

Ada empat hal yang biasanya menjadi pemicu sumber konflik diantaranya : Pendaftaran caleg yang tidak lolos verifikasi, sengketa pendaftaran pemilih (DPT), Konflik masa kampanye (black campaign), Tahapan pemenang pemilu.

Keempat problem di atas sampai saat ini belum mampu di sterilkan oleh KPU sebagai lembaga otoritas penyelenggara pemilu dan Bawaslu sebagai pengawas pemilu.

Statement yang paling di sukai adalah pemilu, sekali lagi merupakan mekanisme politik yang didalamnya menjadi arena pertarungan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan.

Dan menurut Tuchman wajar jika kemudian muncul rumusan siapa yang menguasai media maka akan menguasai dunia. Dalam konteks pemilu tentu saja siapa yang menguasai opini publik melalui media massa biasanya berpotensi besar untuk ditasbihkan sebagai pemenang.

Alasannya realita di parlemen sudah demikian. Karena tuntutan partai dan asas kepentingan maka para elite politik harus mengikuti arah kebijakan yang telah di sepakati dalam tubuh parpol itu sendiri.

Pertanyaan : Indonesia hingga tahun 2019 telah memiliki tujuh presiden, siapakah diantara mereka yang dapat menyandang predikat sebagai pemimpin transformasional.

Review buku Media Komunikasi Politik Gun Gun Heriyanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here