Kolom H.Muchlis Patahna, SH, MKn
Apa yang disebut dengan pemerintahan demokrasi dianggap sistem yang terbaik saat ini. Sampai sekarang seolah tidak ada pilihan lain selain konsep yang diartikan rakyatlah berkuasa dan berdaulat itu. Demokrasi diartikan pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Namun, apakah hakikat demokrasi benar-benar sebuah pemerintahan diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.
Dalam sistem demokrasi rakyat ikut menentukan kebijakan negara melalui pemilu dalam memilih presiden dan wakil rakyat, namun partisipasi ini hanya berlangsung 5 tahun sekali. Walaupun ada DPR yang mewakili rakyat setelah pemilu usai, namun tidak selamanya DPR menjalankan fungsinya sesuai dengan aspirasi rakyat.
DPR sesungguhnya lembaga tinggi negara yang fungsi formalnya adalah membuat undang-undang, mengontrol anggaran dan menentukan anggaran bersama pemerintah. Intinya, DPR harus melakukan peran check and balance terhadap eksekutif.
Namun, harus diakui di DPR ada fraksi yang bisa disebut merupakan perpanjangan tangan dari partai, termasuk partai yang memerintah yang memenangkan pemilu dan Pilpres. Untuk kandidat dalam pilpres diajukan oleh partai yang memenuhi syarat jumlah kursi di DPR. Kalau tidak mencukupi maka partai bisa berkoalisi sehingga syarat quota ikut pilpres terpenuhi.
Selanjutnya kita lihat jarang ada partai oposisi di pemerintahan, pertama, kalau partai yang kalah diajak bergabung oleh partai pemenang pemilu dan pemenang pilpres dalam kabinet maka mereka jarang bersuara kritis. Sebab, sudah tergabung dalam partai pemerintah yang harus mendukung program yang dijalankan. Kalaupun tidak bergabung dengan partai penguasa, jika jumlah kursinya kecil sulit rasanya memainkan peran karena kurang mendapat dukungan.
Fenomena politik dan demokrasi sejak era reformasi menunjukkan makin kuatnya kepentingan partai berjalan ketimbang aspirasi rakyat. Adanya pemilihan langsung baik pemilu legislatif maupun pilpres memang ini sebuah kemajuan yang luar biasa. Tetapi, berbagai dampak dari sistem ini juga cukup dicemaskan. Di antaranya berlakunya politik uang (money politic) mengebabkan siapapun bisa tampil dan memenangkan suara rakyat. Tokoh yang berkualitas dan berintegritas karena tidak memiliki dana bisa dikalahkan dan tersingkir dibandingkan dengan figur yang misalnya namanya pernah cacat karena terlibat pidana.
Ini belum lagi jika pemilu dianggap memiliki kelemahan, misalnya tidak jujur dan tidak adil dalam pelaksanaan pemilu maupun penghitungan suara.
Namun, yang crusial dari kehidupan politik ini adalah pandangan tentang kekuasaan dan demokrasi yang hanya melihat kepentingan keduniawian atau profan semata. Kekuasaan dilihat sebagai sebuah lapangan yang menguntungkan baik secara materiil duniawi maupun segi prestisius, kehormatan , kewibawaan dan kebanggaan maupun hak-hak istimewa atau prevelese.
Saat ini juga makin terlihat betapa kekuasaan juga makin mengalami krisis pertanggungjawaban. Jika konsep demokrasi mengatakan kekuasaan dan kedaulatan itu berada di tangan rakyat, namun makin terlihat partai dan elit partai lebih ditakuti dan memiliki wibawa ketimbang rakyat dan wakil rakyat. Pertanggungjawaban kepada rakyat makin rendah dan nampak makin terpinggirkan. Sementara posisi elit partai sekarang makin kokoh. Adanya istilah petugas partai untuk sebuah jabatan yang tertinggi di negara menunjukkan betapa kuatnya posisi ketua umum partai. Bahkan, tokoh partai juga berpengaruh dalam menyusun personil kabinet, menunjukkan kebenaran asumsi ini. Padahal, presiden punya hak prerogatif dalam menentukan siapa yang berhak jadi pembantu atau menterinya.Namun, hak prerogatif ini bisa saja tunduk pada ketua umum partai, karena presiden merasa terbebani karena sudah dicalonkan oleh partai bersangkutan sebagai capres atau wapres.
Proses politik yang memunculkan kekuatan partai dominan baik di eksekutif maupun legislatif akan menyebabkan kepentingan rakyat makin tidak terperhatikan. Partai lebih fokus dalam usaha mempertahankan kekuasaan, dan posisi rakyat hanya didekati menjelang pemilu dan masa kampanye ketika suaranya dibutuhkan. Setelah itu partai sibuk dengan jabatan dan posisi yang memiliki nilai strategis dan memiliki peluang untuk diisi. Selain jabatan menteri, maka sudah tidak asing lagi bahwa jika calon partai yang didukung berkuasa maka posisi-posisi staf ahli dan staf khusus dan lainnya biasanya berasal orang partai atau para timsesnya yang dinilai berjasa dan sepaham.
Jika pemerintahan dan legislatif dikuasai suatu kekuatan kecil orang atau partai hal ini akan dikhawatirkan menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (ebuse of power) berupa persekongkolan di antara mereka yang punya kepentingan misalnya untuk keuntungan bisnis,ekonomi dan lainnya.Kalau ini terjadi maka kepentingan yang lebih besar yaitu rakyat akan diacuhkan nasibnya.
Dengan demikian dalam sistem politik demokrasi pertanggungan jawab yang hanya disandarkan pada manusia memiliki potensi besar untuk menyimpang. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas dan ambisius. Karena kegilaan dan nafsu yang tidak terkontrol manusia bisa saja mengelola negara ini sesuka hatinya, berlaku zalim tanpa ada yang ditakuti. Manusia bukan saja bisa menuhankan harta dan kekayaan, bahkan menganggap dirinya sebagai tuhan. Jadi demokrasi berpotensi besar untuk munculnya ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Menurut saya kekuasaan dengan konsep demokrasi memerlukan penyempurnaan konsep lain yang sifatnya lebih tinggi, lebih superior dan bersifat transendence atau di luar jangkauan manusia.
Jika secara konsep demokrasi adalah kehidupan politik yang kekuasaan ada di tangan rakyat dan pertanggungan jawabnya juga kepada rakyat–yang cenderung disalahgunakan–maka dalam konsep ini kekuasaan adalah milik Allah yang dipinjamkan kepada manusia dan harus dijalankan sesuai kemauan sang pemilik kekuasaan.
Kekuasaan yang disandarkan kepada Tuhan sebagai institusi tertinggi dalam hidup manusia memberikan motivasi yang kuat pada manusia untuk bertanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan yang dipinjamkan tersebut. Keyakinan akan adanya Allah yang dipercaya oleh manusia dalam memanage kekuasaan menjadi moral obligation untuk selalu menggunakan kekuasaan itu pada jalan kebaikan bagi rakyat dan kepentingan orang banyak.
Manusia yang yakin pada
Allah dalam menjalankan kekuasaan akan bekerja sungguh-sungguh dan
bertanggungjawab, bekerja dengan amanah, dan takut melakukan penyimpangan.
Karena sebagai pemimpin ia akan ditanya dan diminta tanggung jawab dengan apa
yang dipimpinnya. Dan tentu ada sanksi, berupa pahala dan siksaan, tergantung
baik-buruknya perbuatan.
Penulis
pengamat hukum dan politik. Ketua Umum BPP KKSS.