Kolom Muchlis Patahna
Demokrasi akan terus bergulir di negara kita. Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024 menghapus ambang batas 20% pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Mahkamah Konstitusi (MK) melihat Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat dan sekaligus melanggar moralitas.
Dengan penghapusan ambang batas 20 % pencalonan presiden dan wakilnya tersebut maka pada pilpres 2029 nanti setiap partai politik berhak mengajukan calon presiden dan wakilnya. Termasuk partai-partai yang tidak mempunyai kursi di parlemen juga bisa mengusung jagonya untuk berlaga di pilpres.
Keuntungan pasca dihapusnya ambang batas ini adalah setiap partai politik bisa mengusung calonnya dalam pilpres. Jika misalnya ada 20 partai peserta pemilu maka akan ada 20 pasang calon presiden. Itu kalau semuanya mengusung calon. Dengan demikian rakyat juga punya banyak pilihan figur capres dan cawapres yang bisa dinilai dan dipilih oleh rakyat. Calon presiden tunggal atau adanya calon penggembira saja jelas akan berakhir dengan dihapuskannya ambang batas 20% ini.
Perubahan yang paling fundamental dari penghapusan presidential threshold ini adalah tokoh-tokoh yang populer dan punya elektabilitas tinggi di masyarakat yang tidak diakomodir oleh partai politik, kini punya peluang untuk maju. Pada sistem politik yang longgar seperti ini dalam pencalonan presiden dan wakilnya partai jelas akan membutuhkan figur untuk dicalonkan sebagai capres dan cawapres.
Dalam kondisi seperti ini boleh dikatakan partai tidak selamanya punya kader yang bisa diandalkan untuk tampil dalam bursa pemilihan presiden dan wakilnya. Jadi sebuah kenyataan bisa dikatakan, bahwa dalam sistem dimana tidak ada lagi ambang batas maka partailah yang akan membutuhkan figur, bukan figur yang mencari partai atau kendaraan untuk tampil di pilpres. Figur-figur popular yang menjadi aspirasi dan harapan masyarakat untuk diusung jadi presiden dan wakilnya akan menjadi incaran partai politik.
Sistem ini juga diprediksi bakal sulit menciptakan koalisi atau gabungan beberapa partai untuk menjagokan satu pasang calon. Sebab, partai akan sukar menciptakan kesepakatan siapa yang bakal diusung sebagai capres dan cawapres. Masing-masing partai akan bersikukuh mengusung calonnya sendiri untuk ditampilkan dalam kontestasi pilpres.
Dengan keputusan MK yang sifatnya final dan mengikat maka dipastikan pemilihan presiden dengan ambang batas nol persen ini akan mulai berlaku pada pilpres 2029. Maka, tidak ada jalan lain mulai saat ini setiap partai mulai melakukan ancang-ancang dan persiapan diri menghadapi pesta demokrasi pemilihan RI 1 dan RI 2 tersebut.
Partai Politik sudah harus mengelus-elus jago-jagonya dari sekarang. Kandidat partai tersebut bisa berasal dari kader internalnya apakah itu ketua umumnya langsung maju sebagai calon presiden atau berasal dari luar partai.
Di Indonesia tampaknya seorang calon terpilih menjadi presiden tidak selalu atau mutlak ditentukan oleh kualitas atau kemampuan diri. Faktor popularitas dan elektabilitas yang terkadang sangat menentukan. Seberapa besar ia popular dan dikenal luas di masyarakat. Karena itu kemunculan dan seringnya ia diberitakan oleh media bisa menjadi penentu untuk dipilih oleh rakyat. Karena itu membangun pencitraan seorang figur menjadi sangat menentukan untuk dipilih oleh rakyat, meski itu terkadang bukan sosok diri sejati yang sesungguhnya.
Mungkin sudah saatnya rakyat kita mendapatkan pendidikan politik agar lebih selektif memilih pemimpin, yaitu dengan melihat track record atau jejak rekam, prestasi, kualitas diri,integritas, dan program atau konsep yang ditawarkan untuk dilaksanakan. Dengan begitu kesalahan dan kekecewaan dalam memilih pemimpin bisa dihindari.