Filosofi sipakatau memandang manusia lain sebagai mana ia memandang dirinya sebagai sesama manusia.
Pada zaman modern yang ditandai dengan kemajuan teknologi serba digital ini, tak disangkal menjadi ancaman bagi nilai-nilai luhur suku bangsa karena kurangnya pengenalan dan penghayatan terhadap nilai–nilai budaya tersebut. Bahkan dampaknya adalah semakin mendekatkan pada merosotnya moralitas warga masyarakat, apapun suku bangsanya. Tingginya angka kriminalitas, merebaknya korupsi, kurangnya rasa hormat kepada sesama, sikap tidak ambil peduli, merupakan perilaku yang mudah kita temukan sehari-hari di lingkungan sekitar kita.
Hasilnya, nilai-nilai edukatif sudah bergeser dan digantikan oleh perilaku hidup yang korup, boros, materialistis, konsumtif, diskriminatif dan tidak menoleransi lagi perbedaan. Nilai-nilai adiluhung yang terkandung dalam tradisi dan budaya leluhur lebih sering menjadi pajangan belaka.
Dalam budaya Bugis Makassar dikenal sistem budaya yang dapat menjadi pegangan hidup baik untuk dirinya maupun dalam bermasyarakat. Jadi setiap orang diandaikan mampu mengamalkan nilai-nilai positif itu tadi menjadi arahan dan tuntunan sosialnya. Itulah sebabnya, salah satu pondasi terwujudnya struktur kekeluargaan antar individu ditentukan oleh sikap seseorang. Sikap yang diterapkan oleh leluhur Bugis di segala sektor kehidupan bisa diserap dari nilai-nilai sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge.
Setiap individu akan selalu berusaha menyempurnakan pribadinya sebagai pribadi yang baik dan bertanggung jawab. Sifat ini akan membuat kualitas seseorang secara individu menjadi sempurna dan diterima oleh lingkungan sosialnya. Namun dalam praktek manusia sebagai makhluk sosial, ia perlu bergaul dan dan berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Untuk itulah ketiga sifat di atas menjadi pedoman dalam berinteraksi sesama manusia.
Sejumlah hasil penelitian telah membuktikan bahwa nilai sipakatau, sipakalebbi, sipakainge tidak hanya sebatas nilai kultur yang diakui oleh masyarakatnya akan tetapi juga teraplikasi pada tindakannya. Artinya, dalam hidup dan kehidupan nilai-nilai tersebut senyatanya melekat dalam pergaulan masyarakat. Ketiga nilai-nilai ini menjadi perekat sosial, sehingga antara norma yang satu dengan norma lainnya saling mendukung dan melengkapi.
Sipakatau adalah konsep yang memandang setiap manusia sebagai manusia. Seorang manusia hendaklah memperlakukan siapapun sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidaklah pantas memperlakukan orang lain di luar perlakuan yang pantas bagi manusia. Konsep ini memandang manusia dengan segala penghargaannya. Siapa pun dia dengan kondisi sosial apapun dia, dengan kondisi fisik apapun dia, dia pantas diperlakukan selayaknya sebagai manusia. Seorang manusia sejatinya memperlakukan manusia lainnya dengan segala hak-hak yang melekat pada setiap manusia. Dia memandang manusia lain sebagai mana ia memandang dirinya sebagai sesama manusia.
Dalam kehidupan sosial kita selayaknya memang memandang manusia seperti manusia seutuhnya dalam kondisi apapun. Pada intinya kita seharusnya saling menghormati sesama manusia tanpa melihat dia miskin atau kaya atau dalam keadaan apapun. Kita tidak memandang jabatan, materi atau atribut sosial yang melekat pada diri seorang, sematamata akrena ia manusia maka ia harus dipakatau, diorangkan. Jadi bukan lantaran ia tukang becak, ia diperlakukan semena-mena dan tidak dimanusiakan.
Bahwa manusia itu memiliki kabutuhan dasar diantaranya rasa untuk tidak direndahkan atau dengan kata lain rasa ingin dihormati, dihargai dan disamakan. Kalau di agama, seseorang ditentukan oleh takwanya, bukan karena jabatan atau status sosialnya. Manusia sama di mata Tuhan.
Akan halnya sipakalebbi, adalah konsep yang memandang manusia sebagai makhluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan baik, diperlakukan dengan selayaknya. Karena itu manusia Bugis tidak akan memperlakukan manusia lain dengan seadanya, tetapi ia cenderung memandang manusia lain dengan segala kelebihannya. Setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan. Untuk setiap kelebihan manusia lainnya itulah ia akan diperlakukan. Saling memuji akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan, sehingga siapapun yang berada dalam kondisi tersebut akan senang dan bersemangat. Sifat sipakalebbi akan membuat siapapun akan menikmati hidup sebagai suatu keindahan. Hal ini pula sesuai dengan naluri manusia yang senang dipuji, tentu asalkan jangan kelewatan porsinya, atau memuji dengan suatu pamrih. Ini bukan lagi namanya sipakalebbi akan tetapi ‘menjilat’. Biasanya ini terjadi pada birokrasi di mana bawahan senang menjilat atasan. Yang penting bos senang (ABS). Ini pujian yang menyesatkan.
Adapun sipakainge, berarti setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Adakalanya kita terpeleset, terjerumus dan tergoda atas perbuatan-perbuatan yang melanggar norma. Korupsi atau maksiat misalnya. Karena itu diperlukan pengingatan. Yang mengingatkan entah itu dilakukan otangtua kepada anaknya, atau kepada kawannya. Bagaima bila sang ayah yang melenceng jalan hidupnya, tentu yang lebih pantas memberi pengingatan adalah kerabat, istrinya atau sahabatnya.
Dalam kondisi inilah kita akan saling mengingatkan. Akan saling memberi peringatan. Siapapun yang berbuat salah akan diperingatkan perbuatannya yang salah tersebut. Sehingga siapapun akan selalu diingatkan untuk berjalan di jalan yang lurus. Tidak ada orang yang bebas dari peraturan. Adat telah dibuat dan disepakati. Adatlah yang mengatur tata hubungan dan peran serta fungsi masing-masing komponen masyarakat. Siapapun yang melanggar akan mendapatkan sanksi. Bahkan seorang rajapun jika perbuatannya tidak melindungi dan menolong rakyatnya tidaklah pantas ia menjabat sebagai raja. Budaya kritik bukanlah budaya tabu bagi manusia Bugis. Bahkan ia menjadi kebutuhan. Budaya sipakainge menjamin siapapun yang mempunyai kuasa akan selalu diingatkan akan kekuasaannya.
Walhasil, sifat sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge menjadi modal dasar dalam tata hubungan manusia Bugis dengan manusia lainnya. Siri’ yang merupakan kehormatan diri setiap manusia Bugis akan selalu dijaga dan dipertahankan dengan konsep sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge tersebut.
Maknanya adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan untuk bisa menjadi lebih baik kita harus bersosialisasi dan membutuhkan peringatan, kritikan dan saran dari manusia lainya yang pada dasarnya menjadi bahan bagi kita untuk meningkatkan kaualitas diri.
Nah dapat disimpulkan sendiri bahwa membutuhkan pengingat dari orang lain dan inilah yang disebut sipakainge, merupakan sifat saling mengingatkan yang harus dimiliki oleh setiap manusia demi keseimbangan kehidupan di dunia ini dan untuk menuju kehidupan kekal yaitu di akhirat kelak.
Hal itu membuktikan bahwa manusia memiliki sifat untuk ingin dihargai dan inilah yang dikenal sifat sipakalebbi. Sifat yang melarang kita melihat manusia dengan segala kekurangannya. Seperti mengingat kebaikan orang dan melupakan keburukannya. Manusia memiliki naluri yang senang dipuji. Jadi saling memuji dapat menjernihkan suasana dan mengeratkan tali silaturahim.
Inilah falsafah kehidupan keseharian masyarakat Bugis. Hal ini memberikan bukti bahwa jauh sebelum munculnya manusia Bugis telah menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya sehingga ia dapat mengamalkan ketiga nilai-nilai itu dalam hidup bermasyarakat.
Daeng Lippo, dari berbagai sumber