Kolom Imran Duse
Di pagi hari yang cerah, Jum’at, 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta menyapa dunia. Melalui sebuah pidato singkat nan maha penting, Bung Karno melantangkan sejumput maklumat yang membelokkan jalan sejarah: Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia…
Dunia terkesiap mendengarnya, namun dengan rona yang muram dan tepuk tangan yang malas. Tak ada sahutan suka cita, apatah lagi konfirmasi dan sokongan diplomatik. Yang muncul justru keraguan dan sepotong sikap tak acuh: mampukah “Kami” itu menekel nafas proklamasi dan mengasuh kemerdekaan Indonesia, kelak?
Kita tahu, memang tak banyak waktu merencanakan apa yang terjadi di pagi itu. Bahkan, penentuan tanggal 17 hanya berlangsung kurang dari 48 jam. Dimulai ketika sekelompok pemuda-pelajar-pejuang mafhum ada bom atom yang jatuh Hiroshima-Nagasaki dan memaksa Jepang “angkat tangan” pada Sekutu, 14 Agustus 1945.
Kaum muda jadi tak sabar. Mereka pun bergeges menemui Bung Karno agar menyegerakan proklamasi. Ketergesaan itu rupanya mengganggu “kalangan tua” yang bersiap menjemput hari yang dijanjikan: 24 Agustus 1945. Hari di mana Jepang berbaik hati untuk –konon– akan menyerahkan kemerdekaan.
Tapi kaum muda, sekali lagi, kepingin bersicepat. Mereka resah dan tak sudi kemerdekaan hadir sebagai hadiah. Maka menjelang imsak, 16 Agustus 1945, mereka –dimotori Sukarni dan Khairul Saleh– “menculik” Bung Karno-Bung Hatta menuju Rengasdengklok (sekitar 80 kilometer dari Jakarta) –menjauh dari amatan tentara Jepang.
Di sana mereka mendesakkan pendapat: senyampang ada kesempatan, proklamasi seyogianya disegerakan. Ide dan tanggapan berkelindan. Namun mufakat akhirnya terbit: besok, 17 Agustus 1945, proklamasi akan dinyatakan.
Dukungan Mesir
Setelah hari itu, peta bumi pun bersulih. Sebuah gugusan pulau di garis khatulistiwa kini telah menjelma sebagai Republik Indonesia. Belanda terguncang. Lalu mengaktifkan berbagai propaganda di fora internasional, antara lain, proklamasi hanyalah siasat kolaboratif Soekarno dan Jepang.
Tapi sebuah kabar baik datang pada 13 Maret 1947, saat Muhammad Abdul Mun’im tiba di Yogyakarta, ibukota sementara republik. Dua hari kemudian ia menyerahkan warkat penugasannya sebagai Duta Besar Mesir kepada Presiden Soekarno.
Mun’im juga menyampaikan keputusan sidang Liga Arab pada 18 November 1946: menganjurkan seluruh anggotanya mengakui kedaultan Republik Indonesia berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan dan kekeluargaan.
Mendengar itu, alangkah riangnya hati Bung Karno (dan “Kami”). Dalam sambutannya, Putra Sang Fajar itu membentangkan hubungan yang sudah lama terjalin antara anggota Liga Arab dan bangsa Indonesia dikarenakan “di antara kita timbal balik terdapat pertalian agama.”
Bung Karno lantas mengutus delegasi menjemput pengakuan formal Mesir dan menggalang dukungan negara lain. Tim dipimpin Haji Agus Salim (Menlu RI), beranggotakan Abdurrahman Baswedan (Menteri Muda Penerangan), Haji Rasjidi (Sekjen Kemenag), dan Nazir Datuk Pamoentjak (diplomat).
Tentu tak mudah. Sebab pihak Belanda masih menabur hoaks, membuat blokade dan penjagaan ketat di setiap pintu imigrasi. Upaya itu bahkan tersingkap hingga detik-detik akhir menjelang penandatanganan kerjasama persahabatan dan dukungan Mesir.
Abdurrahman (AR) Baswedan menceritakannya dalam buku Seratus Tahun Agus Salim (1984). Pagi itu, delegasi sudah tiba sebelum waktu yang dijanjikan: pukul 09.00. Namun, entah kenapa, Perdana Menteri Mesir masih di dalam ruangan. Mereka pun menunggu hingga 30 menit.
Apa gerangan yang terjadi?
Rupanya, Dubes Belanda ada di sana. Tapi wajahnya tertunduk-kecut saat meninggalkan ruangan itu, menandakan
upayanya merayu Norakshi Pasha tak berhasil.
Dukungan formal dan perjanjian kerjasama Mesir-Indonesia akhirnya ditandatangani Haji Agus Salim bersama Perdana Menteri Mesir Nokrashi Pasha, 10 Juni 1947. Mesir pun tercatat sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan juncto kedaulatan bangsa Indonesia.
Leiden is Lijden
Haji Agus Salim menugaskan AR Baswedan membawa pulang dokumen istimewa tersebut, sementara ia melanjutkan misi diplomatik. “Tak penting apakah saudara sampai di tanah air atau tidak. Tapi pastikan dokumen ini tiba di tangan Bung Karno”, kurang lebih demikian pinta Agus Salim, sang the grand old man.
Dalam perjalanan pulang, AR Baswedan memperoleh dukungan moril dan materil dari para kerabat dan mereka yang bersimpati atas perjuangan kemerdekaan. Ini terjadi di setiap kota transit yang dilalui: Bahrain, Karachi, Kalkuta, Rangoon, dan Singapura.
Di Singapura, ia disokong Ibrahim Assegaf –keluarga ibu mertuanya— yang menyiapkan tiket dan membawanya hingga pintu pesawat KLM, 13 Juli 1947. Tapi sebuah aral masih membayanginya: bagaimana melewati penjagaan ketat Belanda setelah mendarat di Kemayoran?
Tepat sebelum meninggalkan pesawat, ia menemukan solusi: dokumen istimewa tadi ia lipat, lalu menyembunyikan dalam kaos kakinya. Dengan tasbih ditangan dan mulut yang berzikir, AR Baswedan berhasil melewati pos pemeriksaan. Dengan cara itulah dokumen pengakuan dan dukungan formal Mesir sampai ke tangan Bung Karno.
Karena itu pula (tentu bukan cuma itu), kita kini merayakan kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia –dengan sepenuh rasa syukur. Bukan saja karena kemerdekaan telah diraih, tapi juga –seperti diungkapkan Menkopolhukam Mahfud MD— Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang Merdeka karena mengusir penjajah.
Barangkali, ini juga bisa menjelaskan kenyataan akan daya hidup bangsa ini yang selalu mampu keluar dari berbagai krisis politik (dan ekonomi) yang menderanya di masa pasca-kemerdekaan. Dimulai dari krisis 1966 (yang melahirkan Angkatan 66), peristiwa Malari (akronim Malapetaka 15 Januari 1974), gerakan Reformasi 1998 (yang menuntun Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran diri), ….
Apa yang dapat dipetik dari rangkaian kegentingan itu?
Bahwa kemerdekaan, pada akhirnya, bukanlah perkara sekali jadi. Ia mesti selalu diperjuangkan, dirawat, diaktualisasikan, untuk tak lelah memahat makna dan inkarnasi janji kemerdekaan: “Melindungi segenap bangsa Indonesia…… Mencerdaskan kehidupan bangsa ….”
Bung Karno menyadari bahaya itu, dan mengingatkan saat berpidato di Hari Pahlawan 10 November 1961: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Pada wasiat Singa Podium itu, tersirat bahwa kesewenangan dan otoritarianisme bukan hanya milik penjajah. Ia juga bisa nongol di sekitar kita, dengan berbagai macam rupa. Bila penjajahan bangsa asing hadir dalam kolonialisme dan imperialisme, maka penjajahan bangsa sendiri dapat mengambil bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Sungguh, reformasi 1998 sejatinya berhasrat menerabas habis aneka-rupa-bentuk KKN itu. Tapi, entah kenapa, ia tetap menyembul. Mungkin karena kita abai dengan wasiat Bung Karno. Atau, mungkin juga karena kita (maksud saya, para pemimpin kita) tak ingat lagi amanat Haji Agus Salim: Leiden is lijden (memimpin itu menderita).
Dirgahayu Bangsaku!
Penulis, Wakil Ketua Komisi Informasi Kaltim dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI BPP KKSS