Kolom Ruslan Ismail Mage
“Setiap karya buku akan menarik penulisnya bertahta di puncak intelektualitas publik” (Ruslan Ismail Mage)
Quotes ini muncul sebagai keyakinan bahwa, “Menulis buku adalah kerja intelektual dan kerja cerdas”. Disebut kerja intelektual karena menulis buku adalah kerja orang berilmu bukan sekedar berpengetahuan. Memiliki keberanian mental dan kepercayaan diri berbagi gagasanya ke ruang publik untuk dibaca, ditelaah, sekaligus dikritisi.
Disebut kerja cerdas bukan sekedar kerja pintar. Terlalu banyak orang pintar tetapi belum bisa menulis buku. Sesungguhnya cerdas dan pintar punya selisih harga relatif jauh. Orang pintar hanya menggunakan “logika” berpikir menyelesaikan masalah dan menangkap peluang. Sementara orang cerdas disamping menggunakan logika berpikir juga menggunakan seluruh pancaindranya untuk menyelesaikan masalah dan menangkap peluang.
Menulis buku disamping menggunakan logika berpikir juga butuh daya jelajah imajinasi, daya kepekaan rasa, daya sorot pandangan, daya serap ingatan, dan daya deteksi pendegaran. Butuh kepercayaan diri menyebar gagasan dan keberanian mental dikritik di ruang publik.
Itulah yang sering didiskusikan di komunitas menulis Bengkel Narasi (BN) bahwa, “Tulislah apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan, lalu biarkan tulisannya berjalan sendiri menemui pembacanya di ruang-ruang publik”.
Sebagai pendiri Bengkel Narasi yang menghimpun manusia pembelajar rendah hati yang ingin belajar menulis, saya tersenyum bahagia dan bangga melihat dan merasakan semangat menulis para BNERS yang saling memotivasi menulis dan menerbitkan buku.
Memasuki usianya yang baru setahun 23 April 2022 nanti, Bengkel Narasi sudah menerbitkan 20 buku anggotanya. Itu berarti kalau di rata-ratakan BN menerbitkan buku anggotanya satu setiap bulan. Sangat fantastis untuk suatu komunitas menulis yang hanya berbasis idealisme melahirkan penulis-penulis muda kreatif.
Untuk melukiskan atmosfir menulis di lingkungan BN saya menyebutnya, “Menulis buku semudah mengatakan cinta, tetapi tidak sesukar mencari jarum dalam tumpukan jerami”. Sesungguhnya mengatakan cinta tidak mudah, bahkan waktu mahasiswa dulu sering katakan, “Saya lebih memilih berorasi di depan ribuan demonstran dibanding mengungkapkan rasa cinta kepada seseorang”. Artinya menulis buku itu tidak mudah, tetapi juga tidak susah seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Bengkel narasi telah membuktikannya. Selama ada kemauan belajar menulis, memulainya, memahami sumpah pena, dan bertanya kepada mentornya, selama itu terbuka peluang menjadi penulis buku andal. Sekitar 80% anggota BN awalnya tidak memahami dunia tulisan, tetapi karena punya kemauan belajar, perlahan menjelma menjadi penulis buku. Para BNERS sejati kalian hebat, para mentor keren, dan adinda Iyan super sekali. Tetap bergandengan tangan muncul kepermukaan.
Penulis : Akademisi dan penggerak, founder Bengkel Narasi dan Pena Anak Indonesia