Kolom Amsal Bakhtiar
Ibadah adalah inti dalam kehidupan beragama. Ibadah menjadi kunci untuk meraih kehidupan yang berbahagia akhirat setelah kematian manusia. Kehidupan di dunia ini merupakan fase ujian bagi manusia agar menjalani ibadah dengan baik untuk syarat memperoleh kehidupan yang menyenangkan sebagai balasan dari Allah. Hal inilah yang dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Mulk ayat 2.
“Yang telah menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Dalam surat az-Zariyat ayat 56 Allah juga menyatakan,” Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.
Hakekat atau tujuan dari ibadah kepada Allah, selain berharap balasan kehidupan yang baik di akhirat, juga agar manusia bisa dekat dengan Allah. Sebab, dekat dengan Allah itu merupakan puncak kebahagiaan, yang di kalangan orang-orang yang khusyu dalam beribadah sangat didambakan dan dirasakan kenikmatannya. Dan, tujuan utama dari dekat dengan Allah yaitu karena dorongan hati yang sangat kuat disebabkan cintanya kepada Allah.
Seorang hamba yang menggerakkan batinnya untuk beribadah kepada Allah karena dorongan cintanya kepada Allah adalah suatu keistimewaan yang luar biasa. Tidak semua orang mampu mencapai motivasi yang mulia dan agung ini. Dalam episode sejarah perkembangan keagamaan atau dunia tasawuf disebutkan hanya para sufi yang sampai pada taraf cinta ini dalam berkomunikasi dengan Allah.
Relasi atau komunikasi atas dasar cinta dalam hubungan Allah dan manusia begitu istimewa karena Allah adalah Khaliq (Pencipta) sedangkan manusia adalah Makhluq (yang diciptakan). Seorang makhluq atau hamba tentu akan berusaha mencintai Khaliqnya atau berusaha mendapat cinta dari Khaliqnya.
Bahwa cinta adalah relasi yang sangat diutamakan dalam hubungan Allah dan manusia dengan jelas diungkapkan dalam Al-Quran.
,
” Dan orang-orang yang beriman itu teramat sangat mencintai Allah” (al-Baqarah ayat 165). Kemudian dalam surat al-Maidah ayat 54 dijelaskan,” Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya”. Selanjutnya dalam surat Ali Imran ayat 31 dikatakan,” Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”.
Kemudian dalam hadist Nabi juga diungkapkan pentingnya mencintai Allah dan Rasul-Nya. Hadist riwayat Ahmad menyatakan, “ Wahai Rasulullah, apa yang disebut Iman? Beliau menjawab, yaitu menempatkan Allah dan Rasul-Nya dengan kecintaan yang lebih dari pada selain Allah dan Rasul-Nya”.
Hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas menyatakan pula,” Tidaklah beriman seorang kamu, kecuali menempatkan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari pada selain Allah dan Rasul-Nya”.
Dalam doanya Nabi Muhammad menyampaikan, “ Wahai Allah limpahkanlah kepadaku kekuatan mencintai-Mu dan mencintai perkara-perkara yang mendekatkan dirinya untuk mencintai-Mu dan jadikanlah kecintaan kepada-Mu lebih aku cintai dari pada air dan embun”.
Apakah untuk mencintai Allah atau mendapatkan cinta dari Allah itu berat persyaratannya? Memang diperlukan suatu kondisi dan sikap perilaku keagamaan tertentu atau khusus.
Untuk menjelaskannya saya melansir uraian Imam al-Ghazali dalam bukunya Cinta dan Bahagia (Jakarta, Tinta Mas,1962) susunan Abdullah bin Nuh. Imam al-Ghazali mengatakan, orang yang paling bahagia di akhirat adalah orang yang paling kuat cintanya kepada Allah. Sebab, akhirat merupakan kunjungan kepada-Nya. Alangkah besar nikmat si pecinta, setelah lama rindu, ia berjumpa dengan yang dicintainya. Makin kuat cinta, makin besar terasa nikmatnya.
Sebuah ilustrasi menarik diceritakan, ketika Nabi Ibrahim As didatangi Malakul Maut ( Izrail As) hendak mencabut rohnya ia mengatakan, “ Apakah engkau pernah lihat seorang kekasih dimatikan kekasihnya? Maka Allah SWT mengirim wahyu kepadanya (Malaikat) untuk memberi jawaban, “ Apakah engkau pernah melihat orang yang mencintai tidak suka berjumpa dengan kekasihnya? Maka Ibrahim berkata,” Hai malakul maut, sekarang cabutlah rohku”.
Menurut Imam al-Ghazali untuk meraih cinta Allah perlu dilakukan, Pertama, memutus segala rintangan dunia, membersihkan hati dari segala cinta yang bukan karena Allah. Perumpamaannya, hati itu seperti gelas, tidak mungkin diisi madu kalau di dalamnya berisi air. Tidak ada dua hati bagi satu orang. Cinta yang sempurna adalah yang memenuhi hati. Jika tidak, berarti masih ada sudut yang berisi lain dari pada cinta kepada-Nya.
Menurut Imam al-Ghazali, mula-mula seseorang beriman kepada Allah, hari kemudian, surga dan neraka. Kemudian timbullah takut dan harapan. Lalu tobat, tidak kembali berbuat dosa. Hal ini menimbulkan zuhud kepada dunia, artinya tidak gila kekayaan, kemegahan, pangkat dan lainnya. Hasil dari ini semua ialah kebersihan hati untuk diisi ma’rifat (mengenal Allah) dan cinta kepada-Nya.
Kedua, menurut Imam al-Ghazali, sesudah adanya pembersihan hati, merupakan penanaman benih di tanah yang sudah dibersihkan dari segala macam rumput yang jahat. Dari benih tersebut tumbuhlah pohon cinta dan ma’rifat (mengenal Allah).
Lezat itu datang setelah ada cinta. Cinta timbul dari ma’rifat. Ma’rifat timbul setelah hati bersih karena renungan pikiran yang murni, ingat terus menerus, memikirkan Allah, sifat-sifat-Nya, kerajaan basar-Nya dan seluruh makhluk-Nya.
Muslim yang mencintai Allah akan terdapat tanda-tanda dari perilakunya. Di antaranya ia siap meninggalkan kecintaannya pada kehidupan nafsu dunia ini demi ingin “berjumpa” dengan Allah yang dicintainya. Terutama yang ditinggalkannya adalah sesuatu yang disukainya tersebut bila bertentangan dengan perintah-Nya.
Kemudian ia juga mencintai Al-Qur’an kitab suci Allah dan Kalamullah, mencintai Rasulullah, mencintai makhluk-Nya.
Selanjutnya ia juga suka bermunajat atau “ berbisik-bisik” dengan Allah, melakukan shalat tahajjud di tengah malam, dan melakukan salat sunat. Ia juga sangat merasa kecewa, menyesal atau sayang bila dalam hidupnya meninggalkan dari zikir dan taat kepada-Nya.
Orang yang cinta kepada Allah merasakan bahwa ketaatan kepada-Nya merupakan suatu kenikmatan, bukan beban yang berat. Demikian juga ia rela dan senang menerima segala sesuatu yang datang dari pada-Nya.
Menyambut datangnya Ramadhan 1446 H ini alangkah baiknya ditumbuhkan semangat cinta kepada Allah. Di bulan yang disebut mengandung rahmat, magfirah (ampunan ) dan itqun minannar (merdeka dari siksa neraka) ini kita melatih diri beribadah untuk mendapatkan cinta dari Allah.
Sebenarnya Allah itu sangat membuka diri untuk dicintai makhluk-Nya. Hal ini terutama dinyatakan oleh Allah bahwa Dia sangat dekat dengan hambanya. Dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an hal ini tegas dinyatakan. Dalam surat Qaf ayat 16 Allah menjelaskan,” Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”.
Kemudian dalam surat al-Baqarah ayat 115 Allah mengingatkan, “ Dan milik Allah Timur dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui”. Masih dalam surat al-Baqarah ayat 186 Allah mengatakan,” Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku”.
Tampaknya begitu besar peluang untuk kita mencintai Allah dan Allah mencintai kita. Peluang itu terkadang ditambah faktor situasi, yang antara lain dalam bulan Ramadhan ini, dalam suasana religius dan agamis, seolah Allah hadir bersama kita dalam semaraknya kita beribadah, berdoa dan berpuasa berharap ridha-Nya.
Ikatan cinta itu sangat kuat, buktinya seseorang mau berkorban apa saja untuk yang dicintainya. Sepasang remaja yang sedang jatuh cinta akan memberikan yang terbaik bagi kekasihnya. Begitu juga ketika hamba jatuh cinta kepada Penciptanya maka apa saja akan diberikan kepada “kekasihnya” tanpa memperhitungkan untung rugi secara material. Seorang ibu akan memberikan yang terbaik untuk anaknya karena cinta yang mendalam kepada yang dicintai. Begitu juga beribadah yang dilandasi cinta tidak akan terasa berat karena tujuan utamanya adalah berdekatan dengan Pencipta. Ibadah puasa adalah bukti bagi hamba yang menjalankannya dengan penuh cinta atau hanya terpaksa karena perintah. Selamat menjalankan ibadah puasa dengan penuh cinta.
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,MA, Dosen dan Plt.Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Pengembangan Usaha Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Jawa Barat