Kolom Hamka Haq
Silakan Pendukung Jokowi dan Anti Jokowi, baca sampai habis agar tdk salah paham.
Untuk menggambarkan situasi bernegara kita dewasa ini pasca reformasi, penulis meminjam judul orasi Dr. Syahrul Yasin Limpo ketika masih menjabat Wakil Gubuernur Sul-Sel, yaitu Jangan Marah di Muara.
Saat ini, telah masuk tiga tahun Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3-MPR RI) melakukan diskusinya secara regular minimal dua kali sebulan, mengkaji kehidupan bernegara pasca reformasi. Selama tiga tahun, anggota K3 MPR melakukan evaluasi terhadap reformasi, apakah sudah betul arahnya untuk memperkuat demokrasi, dengan sub kajian rencana menghidupkan kembali GBHN, dengan istilah baru Pokok2 Haluan Negara (PPHN). Hasil kajian selama dua tahun sudah diserahkan ke Badan Pengkajian MPR RI untuk diusulkan masuk dalam perolegnas.
Pada diskusi terakhir, tgl 1 September yang lalu, jalannya diskusi agak panas tapi tetap terkendali. Anggota dari kalangan akademisi, seingat penulis, Prof. Dr. Kamis Margarito terang-terangan menyebut reformasi sebagai pengkhianatan terhadap UUD 1945. Karuan saja anggota MPR yang pernah terlibat mengamandemen UUD 1945 di awal reformasi tersinggung dan marah.
Penulis kemudian berusaha mendinginkan suasana dengan mengatakan bahwa mungkin bukan pengkhianatan, tetapi memang reformasi agaknya salah jalan. Alasannya ialah, bahwa dengan sistem pemilihan langsung, tujuan reformasi untuk meningkatkan kedaulatan rakyat, tidak tercapai secara benar.
Maksudnya bahwa dengan sistem pemilihan langsung, sepintas rakyat memang berdaulat penuh pada saat Pilpres, tetapi kedauatan itu hanya berlangsung 5 (lima) menit di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sesudah itu, selama lima tahun berikutnya, kedaulatan rakyat untuk mengontrol pemerintah (Predisen) hilang, dengan hilangnya kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang berfungsi menyusun GBHN sebagai alat kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan pembagunan nasional. Dengan kondisi seperti itu, otomatis pula Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, karena arah pemerintahan dan pembangunan sepenuhnya di tangani Presiden sendiri sesuai Visi-Misi yang disusunnya bersama konsultan politiknya.
Bandingkan dengan Kedudukan dan kewenangan MPR menurut UUD 45 sebelum reformasi, sangat kuat secara kelembagaan, meskipun secara keanggotaan mungkin lemah di mata pemerintah. Misalnya, anggota MPRS sepakat mengangkat Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup, karena kharisma Bung Karno sangat luar biasa kuat di mata mereka. Tetapi ketika MPRS menuduh Sukarno tidak sejalan dengan haluan negara, maka MPRS melengserkan Sukarno. Ini bukti bahwa lembaga MPR sangat kuat dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Demikian juga di era Suharto, meskipun keanggotaan MPR lemah, dan diatur seenaknya Suharto sampai beliau dapat berkuasa 32 tahun; tetapi saat tuntutan reformasi dari rakyat menguat,maka lembaga MPR dapat melengserkan Suharto. Seterusnya lembaga MPR menolak pertanggungjawaban Habibi, sampai Habibi mundur dari pencalonan Presiden. Kemudian MPR juga berhasil melengserkan Gus Dur, itu semua membuktikan bahwa MPR secara kelembagaan sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat sangat kuat menurut konstitusi.
Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebelum Reformasi, MPR menyusun GBHN dan memilih Pressiden. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi, pentolan reformasi mengamandemen UUD 1945, mengubah pilpres menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Putusan itu memang sangat tepat. Namun dengan dihapusnya GBHN, maka Presiden dibebaskan menjalankan pemerintahan dan pembangunan berdasarkan Visi-Misinya sendiri. Dengan demikian, Presiden tidak lagi dalam pengawasan MPR dan otomatis tidak pula bertanggung jawab kepada MPR, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat.
Masalahnya ialah Visi-Misi itu bukan produk hukum, beda dengan GBHN, maka jika Presiden menyalahi Visi-Misi yang dijanjikan dalam Pilpres, tidak ada lembaga yang dapat mengawasi dan memberikan sanksi atas nama rakyat. Di sinilah letak salah jalannya reformasi, karena hilangnya kewenangan menyusun GBHN berdampak pada hilangnya kewenangan MPR mengontrol Presiden.
Dalam kondisi seperti itu, Presiden berkuasa sepenuhnya sebagai Kepala Negara tanpa kontrol, kecuali hanya pengawasan APBN oleh DPR. Presiden bebas melakukan apa saja keinginannya di luar Visi-Misinya, sepanjang tidak melanggar UUD, insya Allah bebas dari impeachmen (tidak dapat dilengserkan). Rakyat pun tidak berdaya mengoreksi Presiden di tengah jalan, karena MPDR, lembaga kedaulatan rakyat itu sendiri kehilangan fungsi mengontrol Presiden. Apalagi, memang Vsi-Misi Presiden bukanlah produk hukum yang harus dipertanggung-jawabkannya.
Lebih dari itu, tanpa GBHN, jalannya pemerintahan dan pembangunan semakin tidak karuan, karena tidak ada kewajiban Presiden yang menjabat utk melanjutkan Visi-Misi Presiden sebelumnya. Contohnya, sejumlah program pembangunan di era SBY mangkrak, sementara Jokowi tidak wajib meneruskannya, karena sifatnya hanyalah visi-misi SBY sendiri, bukan haluan negara yang wajib dilaksanakan secara berkelanjutan.
Dan karena Visi-Misi Presiden bukan pula pedoman bagi Visi-Misi setiap Kepala Daerah, maka sinkronisasi pembangunan nasional dan daerah sulit dilaksanakan. Maka menurut K3-MPR, demi kelanjutan dan sinkronisasi jalannya pemerintahan dan pembangunan, kita harus mengembalikan fungsi MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang menyusun GBHN sebagai Visi-Misi Negara, walaupun seterusnya Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR. Sebenarnya gagasan ini untuk pertama kalinya adalah disuarakan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Prof.Dr.Hj. Megawati Sukarnoputri sejak MPR periode 2014-2019. Kata beliau tanpa GBHN, pembangunan berjalan maju mundur seperti tarian poco-poco.
Jadi jangan heran jika jalannya pemerintahan dan pembangunan dewasa ini banyak terjadi di luar nalar, itu adalah akibat reformasi kita salah jalan, kalau tidak mau mengatakannya sebagai pengkhianatan atas UUD 1945.
Akhirnya, rakyat seharusnya Jangan Marah di Muara, karena kondisi bernegara kekinian ibarat banjir dari hulu yang melimpah ke muara. Semuanya dampak dari reformasi yang kebablasan. Terimakasih wassalam.
.