Kolom Syahrir
Merasionalisasi Keindonesiaan, fokusnya di Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Konstruksi berpikir tersebut, dibuktikan sejumlah parameter. Salah satunya, Musyawarah Besar (Mubes) KKSS Ke 11 terlaksana di Solo, dihadiri sejumlah peserta dari seluruh Indonesia, dari perwakilan “kesukuan, etnis dan budaya,” atau terbaca sebagai peradaban, Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar, di sejumlah provinsi, kabupaten dan kota, bahkan hingga desa, juga RW dan RT. Fenomena kehadiran sejumlah peserta Mubes KKSS tersebut, interaksinya, jelas melahirkan kerekatan, keterkaitan, persatuan dan kerukunan.
Perkumpulan sosial, berbasis budaya seperti di KKSS, dikorelasi akademik, diprediksi mampu meluluhkan pemikiran ilmuan terkemuka Amerika Serikat, Samuel P. Huntington, dalam tesisnya, “The Clash of Civilitazion” atau Benturan antar Peradaban.
Ketika pertama kali Huntington, melahirkan pemikiran benturan antarperadaban, tahun 1992 di Enterprise Institute, oleh Huntington terindikasi hanya merotasi sampelnya pada masyarakat Eropa, Amerika dan Timur Tengah, atau sebagian negara negara di Arab. Lalu kemudian melahirkan kesimpulan, bahwa akan terjadi “perang besar” pada perbedaan budaya, agama dan peradaban. Simulasinya menurut Huntington, konflik terjadi ketika agama, budaya dan peradaban saling memperbesar pengaruhnya terhadap agama dan budaya lain yang berbeda. Di momen itu, menurut Huntington, masyarakat memiliki keretakan serta mudah terjadi konflik, ketika membersarnya perbedaan agama, sekalipun memiliki kesamaan budaya, etnis dan peradaban.
Pemikiran Huntington, memiliki kontraksi non paralel dengan masyarakat di Asia, seperti Indonesia, Malaysia, Korea, Jepang termasuk Tiongkok. Terdapat empat negara seperti Indonesia, Malaysia, Korea dan Jepang, memiliki kehidupan dan aktivitas kehidupan masyarakat dalam berbeda agama, tapi kemudian tidak terjadi konflik besar seperti teori Huntington.
Pada sisi itu kemudian, melahirkan argumentasi sangat kuat, yakni masyarakat Asia, memiliki persatuan dan kerukunan cukup tinggi, sekalipun berbeda dalam anutan agama. Setelah dianalisis, tidak terjadinya benturan, maka faktor paling berpengaruh, terdapat pada kesamaan peradaban. Logisnya, persatuan dan kerukunan serta toleransi terealisasi, itu karena kekuatan peradaban. Bukan karena kesamaan agama. Validitas realitanya, adalah masyarakat Indonesia. Sampel akurasi empirisnya pada masyarakat Sulawesi Selatan, “dihuni dan diturunankan” empat etnis, budaya, dan suku serta di anut agama berbeda, akan tetapi masyarakatnya tetap rukun dan interaksi alternatifnya sangat toleran . Dan organisasi KKSS telah membuktikan itu.
Di arena Mubes KKSS di Solo, suguhannya, warga “perantau” Sulawesi Selatan dari berbagai tanah air di Indonesia, telah merepresentasikan kerukunan berbasis toleransi tinggi untuk “Keabadian Sosial.”
Penulis, warga KKSS, pemerhati sosial budaya