Kolom Muchlis Patahna
Penegakan hukum Indonesia sedang mengalami krisis. Masyarakat dalam beberapa waktu terakhir ini dipertontonkan secara terang benderang peristiwa melawan hukum. Mirisnya hal itu dilakukan oleh oknum penegak hukum dan oknum pejabat yang seharusnya menjadi contoh teladan dalam membangun kesadaran dan kepatuhan pada hukum.
Kasus pertama, diungkapkan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung ,Abdul Qohar, yang menyebutkan pihaknya menyita uang tunai hampir Rp 1 triliun milik mantan pejabat Mahkamah Agung berinisial ZR (Zarof Ricar) yang menjadi tersangka dalam kasus suap. Jumlah persisnya adalah Rp 920,91 miliar. Uang yang ditemukan di rumahnya tersebut dalam bentuk berbagai mata uang asing. Dalam pengakuannnya, ZR menyebutkan uang tersebut berasal ketika yang bersangkutan menjadi makelar kasus pengurusan perkara di Mahkamah Agung antara tahun 2012-2022.
Selain uang, kejaksaan juga menyita logam mulia emas sebesar 51 kilogram, yang kalau diuangkan bernilai Rp 75 miliar. Kemudian di penginapannya di Hotel Le Meridian, Bali, penyidik juga menyita uang senilai Rp 20,41 juta milik ZR.
Kasus kedua yang menjadi perhatian publik yaitu kasus judi online yang melibatkan oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dalam kasus ini sebanyak 11 orang oknum ASN Komdigi telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Selain oknum pegawai ASN, terdapat pula 5 orang yang bukan pegawai Komdigi yang ditangkap dan juga jadi tersangka.
Modus kejahatannya, dari 5000 website yang harus diblokir, sisanya 1000 website tidak diblokir. Agar aman dari pemblokiran ,setiap situs judi online tersebut harus membayar sebesar Rp8,5 juta. Bisa dibayangkan berapa besar uang yang mengalir jika dikalikan 1000 situs judi online yang harus “dipelihara”. Pegawai Komdigi yang seharusnya bertugas memblokir, malah menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk keuntungan pribadi.
Pertanyaan besar dari kasus ini adalah sudah saatnya dilakukan suatu refomasi dan revolusi hukum yang mampu menutup celah terjadinya penyimpangan dan perbuatan melawan hukum. Sebab, jika hal ini terus berlangsung maka harapan masyarakat bahwa sistem hukum sebagai satu-satunya benteng keadilan putus sudah. Jika hukum tidak lagi dipercaya, lalu kepada siapa masyarakat berharap terwujudnya rasa keadilan.
Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali langkah cepat, keras, progresif dan berani harus dilakukan tanpa berlama-lama. Langkah tersebut yaitu keberanian untuk menindak para pejabat hukum yang terlibat dengan pelanggaran hukum yang mampu membuat mereka jera. Janganlah mereka dianggap kebal dari hukum. Justeru mereka yang telah diberi amanah sebagai penegak hukum dan tidak mampu menjalankan dengan baik, bahkan terlibat dalam persekongkolan jahat harus diberikan hukum yang maksimal dan berat supaya kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi.
Mumpung kasus ini sedang hangat dan aparat penegakkan hukum sedang menanganinya, harusnya dijadikan momentum yang serius untuk memberantas adanya mafia hukum dan mafia peradilan yang menyebabkan buruknya penegakan hukum di negara kita. Apalagi di pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto harus ditunjukkan ketegasasan penegakan hukum ini sehingga menimbulkan kepercayaan dan optimisme masyarakat terhadap pemerintah.
Dengan demikian reformasi hukum saat ini harus didorong dan ditunjukkan dengan makin ketat dan makin baiknya mekanisme pengawasan dalam bidang hukum, bukan hanya semata memperbanyak peraturan, yang kalau itu tidak berjalan dengan baik maka hanya akan menjadi hukum yang berlaku di atas kertas.
Pengawasan itu, misalnya, sangat penting ketika masyarakat berurusan dengan hukum dalam berperkara, antara lain, dalam soal mengajukan kasasi yang sering melibatkan aparat atau pejabat tinggi peradilan.
Dengan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas, maka kepercayaan rakyat dan publik terhadap hukum dan peradilan akan tumbuh dengan baik. Dalam hal ini kita juga membutuhkan aparat hukum yang memiliki integritas, jujur dan independen, sebagai syarat terwujudnya peradilan yang bersih, yang terhindar dari praktik-praktik yang mencederai peradilan dan menyebabkan kehilangan kepercayaan atau trust dari masyarakat.
Karena itu jika ada hakim agung yang sudah pernah digeledah ruangannya sebaiknya mundur, dan dia juga tidak pantas punya predikat mulia. Dengan pengawasan yang ketat dan sanksi yang berat terhadap penegak hukum yang melakukan perbuatan tidak terpuji kita berharap hukum sebagai benteng keadilan menjadi fakta yang nyata. Dan kita tidak lagi melihat adanya paradoks dalam penegakan hukum di negara kita tercinta ini!
Penulis, pemerhati hukum dan politik, Ketua Umum BPP KKSS