Kolom Zaenal Abidin
Kang Hadi Conscience (KHC), 19 Juli 2024 meminta penulis untuk memberi tanggapan atas penyajian dr. Iqbal Mochtar yang berjudul, “Kesehatan Indonesia; Antara Ambisi dan Realitas.” Judul yang diangkat dari artikel penyaji di harian Kompas, 17 Juli 2024.
Karena itu, penulis membuat tanggapan dengan judul, “Pelayanan Kesehatan dan Indonesia Kita.” Tanggapan ini bertolak pada bagian terakhir dari artikel penyaji, yang setidaknya memuat dua pesan penting. Pertama, tantangan utama dalam sektor kesehatan masih berkisar pada masalah-masalah kesehatan dasar.
Kedua, pembangunan kesehatan seharusnya difokuskan pada penyelesaiaan isu-isu mendasar. Bukan sakadar melaksanakan program yang menguntungkan secara finansial dan populis. Kalimat ini mengesankan bahwa menteri sedang mencari keuntungan finansial dan juga mencari popularitas sebagai pembantu Presiden.
Program Menteri Kesehatan
Dokter Iqbal mengatakan bahwa program yang dilaksanakan kurang membumi. Ini pun mengesankan bahwa kurang pas disebut pembangunan, karena pembangunan itu harus membumi. Pelaksanaan program kesehatan dapat disebut pembangunan karena tampak (membumi) sebagai suatu rangkaian kegiatan yang terencana dan dilaksanakan secara sadar oleh pemerintah guna memenuhi hak dasar rakyat, yaitu hak untuk sehat.
Bila dikaitkan dengan sistem kesehatan program menteri kesehatan juga tidak memperkuat sistem kesehatan. Kegiatan yang dilakukan hanya menyerupai “montir” yang berusaha memperbaiki mobil bila sudah terlanjur rusak. Tidak memperlihatkan upaya serius untuk melakukan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit kepada rakyatnya.
Dan juga tidak memperlihatkan adanya upaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan dasar. Seperti imunisasi dasar bayi, stunting dan wasting balita, tuberkulosis, kusta, skabies, malaria, rokok pada anak, obesitas, dan lainnya. Padahal masalah kesehatan dasar itu tertuang di dalam Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dan untuk diketahui masalah kesehatan dasar yang tercantum di dalam RPJMN 2020-2024 ini merupakan program utama Presiden di bidang kesehatan.
Berbicara kesehatan sebagai sistem, setidaknya kita akan bertemu dengan dua hal penting, yaitu pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Keduanya harus diperkuat dan dikelola secara berimbang. Pelayanan kesehatan pun perlu dikelola secara proporsional sesuai prioritasnya guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Mulai dari promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif, baik pada upaya kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat.
Bila pemerintah hanya sibuk menggenjot atau mengutamakan pelayanan kesehatan kuratif (pada upaya kesehatan perorangan) dan mengesampingkan pelayanan kesehatan promotif dan preventif (pada upaya kesehatan masyarakat) maka kita akan bertemu dengan banyaknya penduduk yang menderita sakit. Padahal derita sakit itu semacam itu masih bisa dicegah.
Bahkan penyakit yang berbiaya tinggi seperti katastropik pun bisa dicegah, asal menteri kesehatan mau menjadi terdepan dalam memimpin upaya pencegahan itu. Mencegah penduduk yang sehat agar tidak sakit dan mencegah orang yang sakit ringan agar tidak sakit berat. Menteri kesehatan harus menjadi pemegang tongkat komando dalam program promosi kesehatan di tengah masyarakat.
Mengapa promosi kesehatan? Karena promosi kesehatan adalah cara terbaik untuk mencegah penyakit. Lalu, mengapa harus menteri kesehatan? Karena prorgam pencegahan berupa promosi kesehatan gampang diucapkan tapi sulit dalam pelaksanaannya. Ia memerlukan dukungan kekuasaan dan dukungan anggaran dana yang cukup besar dari seorang menteri kesehatan.
Bila pemerintah gagal melakukan pencegahan penyakit, sehingga banyak penduduk yang sakit dan sakit berat, maka kita akan bertemu dengan pelayanan kuratif berbiaya tinggi. Seperti sakit jantung, gagal ginjal, stroke, DM, kanker, dan juga gangguan jiwa dengan berbagai macam jenisnya.
Paling celaka lagi bila semua pelayanan kuratif terhadap penyakit berbiaya tinggi itu dibebankan kepada Program JKN (BPJS Kesehatan). Sebab, dapat dipastikan dalam waktu singkat BPJS Kesehatan akan terkuras habis. BPJS Kesehatan kembali difist, kolaps, dan gagal bayar.
Suatu hal yang perlu diingat, program JKN itu dibiayai atas iuran individu penduduk yang menjadi pesertanya. Bukan bersumber dari dana ABPN atau APBD. Bahwa pemerintah menanggung warga negara yang miskin dan tidak mampu (dalam bentuk PBI), itu adalah wujud dari tanggung jawab pemerintah atas kegagalannya dalam menyejahterakan rakyat. Andai semua rakyat sudah sejahteran dan mampu membayar iurannya maka tidak perlu ada skema PBI.
Persoalan lain muncul bila BPJS Kesehatan defisit adalah tertuduhnya dokter Indonesia sebagai penyebabnya. Padahal aliran dana pelayanan kuratif yang berbiaya tinggi itu bukan kepada dokter Indonesia.
Dana besar itu masuk ke rumah sakit/fasyankes untuk membeli atau membayar obat, alat diagnostik canggih, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, ATK, listrik, SDM rumah sakit, dan sebagainya. Dan tentu juga menjadi keuntungan rumah sakit/fasyankes. Dokter hanya mendapat bagian sebagai salah satu SDM rumah sakit/fasyankes.
Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kuratif berbiaya tinggi ini juga bukan rumah sakit kecil, seperti tipe C dan D. Sebab rumah sakit kecil tidak mampu menyediakan peralatan canggih atau super canggih untuk melayani dan merawat pasien JKN berbiaya tinggi.
Sistem Kesehatan Kita
Selama ini kita sering mendengar wacana dan harapan bahwa pelayanan kesehatan akan memperkuat ketahanan ketahanan nasional. Tentu saja tidak salah berharap, karena itu sangat baik. Namun perlu diketahui, ketahanan nasional yang berintikan Pancasila itu memerlukan berbagai perisai seperti nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi untuk membentenginya. Persoalannya, kini nilai yang diharapkan menjadi benteng itu terkesan melemah.
Lalu kita berharap kepada sistem kesehatan nasional untuk dapat membentengi dan memperkuatnya. ini pun masih menyisakan persoalan. Pondasi sistem kesehatan kita juga belum kuat. Bahkan boleh jadi baru berupa konsep sistem. Belum berjalan dengan baik sebagaimana layaknya suatu kesisteman. Mungkin karena selama ini memang kita belum sungguh-sungguh membangun sistem itu secara berkesinambungan.
Dengan sistem kesehatan nasional yang lemah saat ini, sulit membayangkan seperti apa ketahanan negara kita bila kembali diterpa pandemi seperti Covid 19.
Bahkan tak perlu menunggu diterpa pandemi, cukup menteri kesehatan terus-menerus mengedepankan pelayanan kuratif populis berbiaya tinggi, tanpa memimpin program pencegahan, maka JKN yang merupakan salah subsistem pembiayaan dalam sistem kesehatan akan ambuk.
Mengapa JKN ambruk? Karena pemanfaatan dananya lebih besar pasak daripada tiang. Memang Pasal 56 UU No. 24 Tahun 2011 tetang BPJS, menyebutkan bahwa pemerintah dapat mengambil tindakan khusus untuk menjaga kelangsungan dan kesehatan keuangan program jaminan sosial, namun belum tentu mudah melaksanakannya. Apalagi anggaran negara kita juga tidak tak terbatas.
Sebagai dampaknya, pasien peserta JKN terancam tidak mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik sebagaimana yang menjadi haknya, sekalipun telah rutin membayar iuran. Rumah sakit juga gagal bayar. Harga obat, bahan medis habis pakai, alkes, honor tenaga kesehatan pun tidak terbayarkan. Dan lain-lain sebagainya. Semua menjadi kolaps, tidak dapat beroperasi. Ketahanan Indonesia kita menjadi terancam.
Catatan Akhir
Kita tentu sangat mengharapkan agar sistem kesehatan nasional kita mampu memperkuat ketahanan nasional atau ketahahan Indonesia kita. Terkait harapan tersebut, penulis memberikan enam catatan. Pertama, membuat laporan sebagai pertanggung-jawaban konstitusional dan moral kepada rakyat atas terget penyelesaiaan masalah-masalah kesehatan dasar dalam RPJMN 2020-2024 yang telah dicapai dan yang belum dicapai.
Kedua, pemerintah baru melanjutkan dan menyelesaikan menuntaskan masalah-masalah kesehatan dasar yang belum tuntas pada RPJMN 2020-2024. Ketiga, pemerintah memperkuat konstruksi sistem kesehatan nasional yang kuat di atas pondasi sistem kesehatan daerah yang kuat.
Keempat, melakukan program pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan. Kelima, bersungguh-sungguh menyelenggarakan upaya kesehatan promotif dan preventif. Keenam, menteri kesehatan memimpin langsung program promotif-preventif di tengah masyarakat. Semua ini demi ketahanan nasional dan Indonesia kita. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015