Kolom Muchlis Patahna
Soal penegakkan hukum yang adil yang menciptakan rasa aman dan nyaman masih dirasakan timpang oleh masyarakat. Ada perlakuan bahwa penegakkan hukum itu tidak mencerminkan rasa keadilan untuk semua orang. Hukum yang sejatinya bersikap objektif dan tidak mengenal status dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, terkadang tidak mampu ditegakkan secara adil dan merata (equality before the law) oleh penegak hukum.
Beberapa peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan betapa hukum terkadang sudah jauh dari fungsinya untuk menegakkan keadilan yang menjadi dambaan masyarakat. Hukum dalam fungsinya dilihat telah menyimpang dan digunakan bukan semata untuk penegakkan keadilan, tapi untuk kepentingan lain, melindungi kepentingan diri, kelompok atau untuk membungkam lawan yang tidak sepaham.
Masyarakat bisa merasakan keadilannya terusik ketika membaca putusan hakim yang jauh dari harapan, misalnya, pembunuhan seorang wanita yang berasal dari latar belakang diduga anak anggota DPR bisa bebas dari tuntutan hukum. Hakim memvonis bebas. Dan, putusannya menimbulkan banyak tanda tanya dalam masyarakat.
Dalam kasus korupsi yang didakwakan kepada Syahrul Yasin Limpo (SYL), oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Syahrul divonis 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsidar 4 bulan kurungan, selain itu Syahrul juga dikenai pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti Rp 44.269.777.204 dan 30 ribu dollar Amerika Serikat subsidar 5 tahun penjara.
Sementara itu dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah 2015-2022 yang merugikan negara Rp271 triliun, terdakwa Toni Tamsil alias Akhi hanya divonis 3 tahun penjara dalam kasus obstruction of justice oleh Pengadilan Negeri Pangkalpinang.
Demikianlah, persoalan hukum akan selalu dilihat oleh masyarakat sejauh mana rasa keadilan itu dirasakan mencederai jika dilihat ada putusan yang berbeda, padahal kerugian mungkin sama besarnya, tapi vonisnya ada yang berat dan yang ringan.
Terkadang masyarakat juga bertanya, penegak hukum begitu cepat dan tanggap memproses hukum seseorang yang dianggap atau diduga melakukan tindak pidana kejahatan, tapi pada sisi yang lain ada orang tertentu yang diperkarakan, proses penanganannya lambat atau bahkan tidak diproses. Sehingga timbul pertanyaan hukum pilih kasih,hukum tebang pilih, ada yang kebal hukum, dan juga anggapan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Salah satu kunci dari kepercayaan masyarakat terhadap hukum adalah kalau adanya kepercayaan (trustfulness) yang baik terhadap peradilan. Dan peradilan yang dipercaya itu kalau memiliki beberapa ciri, yakni independensi, ketidakberpihakan (imparsialitas), professional dan berintegitas. Ciri ini tentu bukan hanya pada para hakim dan aparat penegak hukum, tapi juga insitusi atau lembaganya.
Namun, kunci dan putusan terakhir dari kepercayaan terhadap peradilan tergantung di pundak hakim. Hakim yang jujur, berintegritas, adil dan tidak mempan diajak kompromi untuk berbuat yang melanggar etika dan moral akan mejadikan suatu peradilan dan pengadilan yang bersih dan sehat. Aparat dan penegak hukum lainnya tidak akan berani berbuat yang menjatuhkan wibawa peradilan, kalau hakimnya bersih, tidak mempan diiming-iming. Jika pengadilan diisi oleh hakim-hakim yang moralnya kuat, bagaimanapun orang memanfaatkan polisi, jaksa dan pengacara untuk berbuat tidak jujur, tidak akan ada gunanya jika hakimnya memiliki benteng akhlak yang kokoh.
Dari sini kita bisa mengambil sebuah kesimpulan untuk memperbaiki dan mengembalikan kepercayaan terhadap penegakan hukum dan juga terhadap aparat, aparatur atau institusi penegakkan hukum, maka harus dimulai dengan meningkatkan dan memperbaiki kepercayaan terhadap para hakim.
Semoga semua kekurangan kita dalam upaya penegakkan hukum yang adil dan sama untuk semua orang menjadi perenungan dan perhatian kita semua.
Negara dengan penerapan hukum yang adil akan menjadi faktor pendukung utama terbentuknya masyarakat yang sejahtera, bahagia dan meraih kemajuan.
Sesuai dengan dasar negara kita Pancasila yang menyebutkan kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang harus kita laksanakan dengan konsekuen. Bukan hanya slogan dan lip service.
Penulis adalah Ketua Umum BPP KKSS