Oleh Zainal Bintang
Hari ini di Indonesia, di Jakarta dan di ibukota republik, tiga perwira tinggi polri, PU, NB dan NSW, pengacara ADK serta seorang Jaksa PSM, rontok , dijebloskan ke dalam tahanan. Terseret kasus penyuapan dan pemalsuan dokumen untuk buronan Djoko Tjandro, tersangka kasus cessie Bank Bali.
Buronan sebelas tahun lalu itu, diringkus sehari sebelum Hari Raya Idul Adha (30/07/20) bertepatan malam takbiran menyambut hari raya Idul Qurban, dimana umat Islam diwajibkan menyembelih hewan kurban. Dia diringkus oleh tim Polri di Kuala Lumpur, bekerja sama dengan Kepolisian Diraja Malaysia.
Memperingati ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang ketujuh puluh lima, bangsa ini dilanda duka dan luka yang dalam. Terkoyak oleh penangkapan pejabat penegak hukum yang terjerumus ke dalam lembah kenistaan pelanggaran hukum. Lantas, pada saat ulang tahun bangsa ini, hadiah dan tanda kesyukuran apakah yang akan diberikan kepadanya?
Noda hitam penyuapan dan penyalahgunaan jabatan yang melanggar sumpah sangat memukul hati dan melukai perasaan rakyat sebagai bangsa yang beradab.
Kasus Djoko Tjandra yang menghebohkan itu mendorong saya membaca ulang novel yang berjudul “Rogue Lawyer” atau “Pengacara Bajingan” karya John Grisham. Novelis, kelahiran Jonesboro, Arkansas, AS, 8 Februari 1955. Novel itu dirilis Oktober 2015 di Amerika.
Di Indonesia sudah diterjemahkan dan diterbitkan grup penerbit Gramedia (2017). Sang novelis itu mantan politikus dan pensiunan pengacara Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai penulis novel bertema hukum. Telah melahirkan puluhan novel yang semuanya boleh dikata best seller seantero dunia.
Novel “Pengacara Bajingan” menceritakan tentang pengacara jalanan yang bernama Sebastian Rudd. Tidak punya kantor tetap. Bekerja sesuai dengan waktunya. Kegiatannya berlangsung di dalam mobil van kargo besar merk Ford yang dilengkapi oleh jendela anti peluru. Ada Wi-Fi. Kulkas kecil. Bar untuk minuman keras. Kasur dan perlengkapan senjata lainnya.
Selain itu dia juga tidak memiliki perusahaan, mitra kerja, karyawan maupun petugas lainnya. Hanya sendirian tinggal di sebuah apartemen kecil. Sehari – hari didampingi seorang yang disebut Partner penunjukan Negara Bagian.
Grisham memulai ceritanya dengan mengatakan : Namaku Sebastian Rudd. Meskipun aku pengacara jalanan terkenal, kau tak akan melihat namaku di papan iklan, di bangku – bangku halte bus atau meneriakimu dari buku telepon. Aku tak sudi mengeluarkan uang untuk dilihat orang di TV, meskipun sering menjadi berita di TV. Namaku tak ada di buku telepon. Aku tak punya kantor konvensional. Secara resmi aku membawa pistol. Soalnya nama dan wajahku cenderung menarik perhatian orang – orang yang juga membawa senjata dan tidak keberatan menggunakannya.
Sebastian juga membenci asosiasi pengacara. Gemar memberi bocoran kepada wartawan secara cuma-cuma. Grisham menjelaskan pada sebuah wawancara, kisahnya bukan terinspirasi dari pengalaman pribadi. “Aku diam-diam mengagumi pengacara yang memiliki sedikit waktu di kantor, dibandingkan mereka yang bertempur di depan juri atau klien”.
Dia pun tidak pernah menawarkan diri mengambil kasus pria yang akan dihukum mati. Memiliki profesi sebagai pengacara selama sepuluh tahun membuatnya benar-benar ingin menjadi pengacara nakal.
Sebagai anggota Badan Pembuat Undang-Undang di Mississippi, Grisham memiliki pengetahuan yang luas mengenai lika liku “lorong gelap” permainan hukum di Amerika.
Hal itu sangat membantunya menciptakan karakter setiap tokoh dalam banyak novel yang bertema hukum. Dia kenyang dengan permainan intrik dan berbagai kebusukan, penjungkirbalikan kejahatan menjadi kebenaran.
Grisham tidak segan – segan mengkritik sistem hukum di negaranya. Hal ini dapat ditemui dalam novelnya yang mengecam sikap seorang jaksa yang menutup mata dan hatinya terhadap kebenaran, meskipun sesungguhnya adalah fakta. “Sistem yang gila dan sangat tidak adil. Saksi – saksi yang dipersiapkan pihak kejaksaan yang bersaksi untuk Negara Bagian ditutup – tutupi dengan legitimasi, seolah –olah mereka disucikan oleh otoritas”.
Grisham melalui Sebastian Rudd berucap, “Polisi, ahli, bahkan informan yang dimandikan dan dibersihkan dan disuruh memakai pakaian rapi, semua bersaksi dan berbohong dalam upaya terkordinasi untuk mengkesekusi klienku.
Tapi saksi – saksi yang tahu kebenarannya, dan memberitahu yang sebenarnya, langsung diabaikan dan dibuat agar terlihat bodoh”. Dengan nada lirih Rudd mengatakan, “Seperti banyak sidang lain, ini bukan demi kebenaran : melainkan kemenangan”.
Mayoritas klien yang ditangani oleh Rudd adalah para kriminal di kotanya yang kecil. Dan mayoritas berumur rata – rata dibawah duapuluh tahun. Bahkan ada yang baru berumur duabelas tahun.
Dan di dalam memperjuangkan penyelamatan klien kecilnya, Rudd benar – benar berjibaku menggunakan semua insting, ketajaman feeling dan juga sering berupa nasib baik. Melalui tokoh “ciptaannya” yang bernama Sebastian Rudd, Grisham memiliki pijakan yang kuat membuka kebobrokan sistem hukum di negaranya.
Rudd menjelaskan kasusnya dengan menuliskan, “aku sedang membela pemuda putus sekolah delapan belas tahun yang menderita kerusakan otak dan dituduh membunuh dua gadis kecil dalam salah satu kejahatan paling keji yang pernah kutemui”.
Ruud mengakui, “pekerjaanku berlapis – lapis dan rumit. Aku dibayar oleh Negara Bagian untuk penyediaan pembelaan kelas satu bagi seorang terdakwa pembunuhan, dan ini mengharuskanku berupaya mati – matian di ruang sidang tempat tak seorangpun mendengarkan. Gardy sudah dianggap bersalah pada hari dia ditangkap, dan sidangnya hanya formalitas”.
Yang menarik dari karya – karyanya yang bertemakan hukum, Grisham selalu memadukan duet pengacara dengan wartawan. Pemberitaan media yang kredibel yang mewakili luka hati masyarakat akibat merebaknya praktik “mafia” hukum, diyakininya masih dapat menjadi rem tangan kelajuan praktik pagar makan tanaman yang dilakukan aparat penegak hukum. Namun demikian, ada yang membedakan posisi Sebastian Rudd sebagai pengacara bajingan dengan pengacara salon.
Rudd hanya menangani klien – klien manusia terbuang yang tidak punya status sosial dan eknomi yang jelas. Dianalogikan sebagai “bajingan” yang ongkos persidangannya ditanggung oleh negara.
Akan tetapi dengan menggunakan kehidupan liar para “bajingan” itu sebagai latar belakang novelnya, Grisham menemukan ruang terbuka untuk membeberkan secara dramatis berbagai ketimpangan, kecurangan dan praktik kongkalikong pejabat hukum, justru oleh mereka hukum itu dikoyak – koyak.
Novel kedua Grisham berjudul “The Firm” adalah yang pertama dibikin film dengan judul yang sama dibintangi oleh Tom Cruise. Menjadi salah satu film box office di 1993. Berkisah tentang keluarga Joey Morolto Mafia Chicago. Mitra perusahaan hukum tempat Mitch (Tom Cruise) bekerja serta sebagian besar rekan, semua terlibat dalam skema penipuan pajak dan pencucian uang besar-besaran yang bermarkas di Cayman Island yang dikenal dengan Tax Haven Island (Pulau Surga Pajak).
Novel Grisham yang lain yang sukses ketika diangkat ke layar lebar (1994) adalah The Pelican Brief (Catatan Kasus Pelikan), dibintangi Julia Robert dan Denzel Whasington yang berperan sebagai wartawan.
Berkisah tentang keuletan seorang mahasiswi fakultas hukum bersama sang wartawan membongkar kebusukan kolusi politisi dan pengusaha. Bahkan ada benang merah yang menghubungkan kasus ini dengan presiden dan seorang pengusaha kaya kerabat Istana.
Ketika digalakkan kampanye Tax Amnesty (pengampunan pajak) di Indonesia ( 2016 – 2017), pemerintah pernah menyebut dan tersebar di media, bahwa ada sejumlah pengusaha kakap Indonesia menyimpan uangnya di Tax Haven Island dalam jumlah fantastis : 11 ribu triliun.
Seperti biasa, sebuah pesan masuk di WhatsApp : Mempersoalkan sampai dimana implementasinya di Indonesia motto dunia hukum yang berbunyi :
Fiat Justitia Ruat Caelum (Hendaklah Keadilan Ditegakkan, Walaupun Langit Akan Runtuh), sebagaimna diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM).
Dibawah bayang – bayang hitam kasus brutal Djoko Tjandra. Di langit Indonesia saat ini mendung gelap bergelantungan. Di tengah nafas kemerdekaan yang terasa menyesakkan dada, saya hampir saja tidak sanggup membaca pesan yang lain via WhatsApp :
“Selamat Menyambut HUT Kemerdekaan RI. 17 – 08 – 45 yang ke – 75. Dirgahayu Bangsa Indonesia”.
Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.-