PINISI.co.id-Indonesia telah berusia matang 76 tahun, namun tampaknya masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Paling tidak itulah yang dapat disarikan dari renungan dua Dewan Pakar KKSS Amir Syamsudin SH, dan Prof. Mochtar Pabottingi dalam ulasannya di Kompas.
Syamsudin menginginkan hukum yang menentukan eksistensi dari kekuasaan dan hukum dibuat untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat bukan kepentingan penguasa dan elite. Menteri Hukum dan HAM 2011-2014, ini menyororti UU KPK, UU Cipta Kerja dan perubahan Statuta UI yang ia nilai kontroversial.
Menurut Syamsudin, pembentukan UU di atas didahului dengan isu-isu terkait perilaku penguasa yang berpotensi terjadi penyalahgunaan keadaan, penyalahgunaan hak dan kewenangan yang menjurus kepada penumpukan kekuasaan yang otoritarian, sewenang-wenang, tidak adil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip negeri hukum.
“Problem di Indonesia, kekuasaan yang legal sering disalahgunakan menjadi sewenang-wenang, tak bermoral dan tak adil sehingga bermasalah dengan legitimasi,” tulis Syamsudin di Kompas, (13/8/2021).
Lebih lugas dan telanjang, Pabottingi menyoalkan apa yang disoroti Syamsudin. Profesor riset dari LIPI ini mengingatkan bahwa di negara yang lebih melecehkan keadilan, kemerdekaan akan lebih beregresi menuju kebiadaban dan rendahnya hukuman kepada koruptor.
Pabottingi memberi contoh kezaliman terhadap 75 pegawai KPK, dakwaan terhadap aktivis keadilan, perenggutan independensi, dan kebebasan, UU ITE, parahnya kesenjangan antara aspirasi rakyat akan keadilan dan laku khianat sebagian angota DPR hingga hakim yang miskin integritas.
“Aneka sifat buruk di dunia kepartaian terutama di era reformasi, itulah yang bermuara dalam bentuk perekrutan para pelaksana di setiap cabang pemerintahan dan merupakan booster utama dari apa yang kita sebut kemerdekaan pengkhianatan,” tulis Pabottingi yang dikenal sebagai penyair dan cendekiawan berdedikasi itu.
Menurut Pabottingi, parahnya kemiskinan integritas dan otoritas, minimnya deliberasi, serta tiadanya pengindahan pada prinsip keabsahan prosedural dan subtansial dalam penyiapan, penetapan dan revisi UU. Itulah yang dialami UU ITE, UU KPK, UU Minerba dan UU Cipta Kerja.
Dalam artikel Ke Mana Kita Merdeka, Rabu (18/8/21) Pabottingi menyoal korupsi yang merampas hak-hak banyak warga bangsa, memiskinkan rakyat, mengikis moralitas pemerintahan. “UU Minerba menggampangkan perusakan lingkungan hidup, adapun UU Cipta Kerja mengancam deforestasi, hak-hak buruh dan perempuan, dan berpotensi menjadi kontributor terbesar dalam pengkhianan terhadap kemerdekaan.”
Keempat UU itu, sebut Pabottingi, manifestasi dari menjauhnya negara dari bangsa dan sudah tentu sama-sama menjadi indikator utama dalam kemerdekaan pengkhianatan. “UU KPK paling sarat denan konten khianat terhadap keniscayaan pemerintahan yang bersih. Sementara UU Cipta Kerja merangkum wewenang perundang-undangan paling luas sekaligus paling rancu dan paling bermasalah dalam hitungan keabsahan dan keabsahan subtansial.
Dengan getir Pabottingi utarakan bahwa sudah 56 tahun, sejak Orde Baru, bangsa Indonesia tergiring ke dalam regresi kontinu dari ideal-ideal kemerdekaan sehingga sudah menjadi suatu tantangan yang menggunung.
Kini, sanggupkah kita membalikkan kemerdekaan pengkhianatan itu?
(Lip)