Kolom Mubha Kahar Muang
Sebagian kita sangat antusias mendorong calon untuk maju sebagai capres tetapi abai tentang keberadaan parpol.
Hal ini menunjukkan kekurang pahaman tentang peran partai politik
dalam kehidupan berdemokrasi di negeri ini sesuai aturan per undang undangan yang berlaku? Atau kurang paham tentang peran partai politik dalam kehidupan bernegara?
Seperti kita ketahui bahwa hampir semua negara di dunia yang berjuang untuk memperoleh kemerdekaan diawali dengan membuat wadah perjuangan yaitu membentuk partai.
Kemudian dalam pengelolaan negara setelah kemerdekaan, partai menjadi alat untuk menseleksi calon pemimpin.
Partai menjadi wadah untuk menciptakan kader kader pemimpin baik di tingkat pusat maupun lokal termasuk legislatif.
Mengapa sering muncul komentar tentang peran dewan yang dianggap kurang memadai begitu juga pejabat pusat, maupun lokal? Salah satunya karena kaderisasi partai tampaknya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Salah satu masalah besar dari keputusan kita mengubah UUD 1945 adalah pemilu langsung, dimana cara menseleksi calon-calon dari partai yang akan maju dalam pemilu kita memilih menggunakan presidential threshold (PT) bukan membuat Pemilu Pendahuluan seperti halnya di AS.
Presidential threshold (PT) adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden.
AS menyelenggarakan pemilu dua tahap yaitu Pemilihan Pendahuluan dan Pemilihan Umum. Pemilihan Pendahuluan untuk memilih calon-calon dari partai yang akan maju dalam Pemilihan Umum.
Yang menarik, sebagian kita yang ingin maju dalam pemilu tetapi terhalang oleh PT yang dituntut adalah menjadikan PT tersebut nol persen, karena menganggap bahwa PT tidak demokratis, berpandangan bahwa seharusnya semua warga negara berhak maju sebagai capres. Pandangan tersebut ideal tetapi kurang tepat karena tidak mudah mewujudkannya?
Kalau seandainya kita memilih tidak ada pembatasan bagi setiap warga negara untuk maju sebagai calon presiden dalam pemilu, dapat dibayangkan betapa banyak warga yang berminat maju.
Mulai dari yang memang berniat memimpin dengan sejumlah gagasan untuk memajukan negeri ini, sampai kepada yang sekedar ingin mencoba bagaimana tantangannya mengikuti pemilihan langsung, termasuk juga yang hanya ingin dicatat sebagai pernah mengikuti pemilihan capres yang bergengsi yang kemudian
disebut mantan capres.
Karenanya dapat diperkirakan yang akan mendaftar capres bisa puluhan bahkan ratusan orang disetiap provinsi, sehingga yang ikut pemilu pada putaran pertama katakanlah rata rata 50 orang saja setiap provinsi berarti capres putaran pertama pesertanya sekitar 1700 an, mungkin kita perlu waktu 3 bulan untuk pendaftaran dan setahun untuk kampanye, setelah itu untuk tahap perhitungan suara 1700 an calon dihitung dari TPS, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, pusat diperkirakan perlu waktu tiga bulan? Bagaimana jika ada calon keberatan karena tidak lolos putaran pertama? Bagaimana proses penyelesaian sengketa nya dan berapa lama? Apakah setiap putaran sengketa hasil diproses?
Berapa putaran untuk sampai mendapatkan seorang terpilih sebagai pemimpin? Katakanlah tiga putaran itu berarti kita perlu waktu minimal delapan belas bulan, setelah itu kita masuk lagi masa penyelesaian sengketa. Dengan demikian penyelenggaraan pemilu diperkirakan perlu waktu minimal dua tahun, apakah itu realistis? Tidak.
Mengapa kita tidak belajar dari AS yang dikenal sebagai negara penganjur demokrasi dunia. Sejak presiden kedua AS Jhon Adams yang mulai menjabat 4 Maret 1797 hingga presiden ke 46 saat ini, semuanya berasal dari partai. AS juga membuat pembatasan warganya untuk maju sebagai capres dalam pemilu dengan terlebih dahulu mengikuti seleksi pemilihan utusan partai melalui Pemilu Pendahuluan. Calon yang lolos di Pemilu Pendahuluan yang mewakili partainya dalam Pemilihan Umum.
Perbedaannya, kita menggunakan PT atau ambang batas perolehan suara partai karena selain lebih hemat waktu juga hemat biaya.
Mengapa kita tidak mengikuti aturan per undang undangan yang berlaku karena ketentuan PT sudah diatur sejak tahun 2003 ? Sehingga yang berniat maju sebagai capres terlebih dahulu mempersiapkan diri menjadi kader partai sehingga seseorang yang ingin maju capres telah siap partai pengusung kalaupun perlu koalisi yang menjadi fokus perhatian seorang calon adalah bagaimana membangun koalisi partai.
Kemampuan membangun koalisi juga dapat menjadi penilaian kekuatan dan ketokohan seorang calon. Jadi sang calon yang membangun koalisi partai, bukan dibuatkan koalisi oleh pihak lain untuk menghindari kesan calon sebagai objek saja bukan subjek, sekaligus menghindarkan keterlibatan pemilik modal yang dapat menyandera sang pemimpin kelak dan berpeluang menjadi oligarki.
Disamping itu sang calon juga harus mampu membedakan partai yang lahir dari gagasan sekelompok orang yang biasanya diawali dengan membentuk sekertariat bersama, dan partai yang lahir dan digagas oleh seorang tokoh.
Partai yang lahir dari gagasan sekelompok orang karena memiliki kesamaan pandang dan kepedulian bersama, pemimpin partai cenderung lebih longgar dalam bernegosiasi tergantung kesamaan visi dan misi, dibanding dengan partai yang berdiri atas gagasan seorang tokoh karena lazimnya sang pendiri pun memiliki visi besar yang ingin diwujudkan sendiri sehingga dapat dipastikan juga memiliki keinginan untuk maju sebagai calon.
Upaya sang calon membangun koalisi membutuhkan kemampuan bernegosiasi dan kekuatan sumber daya untuk dinegosiasikan. Karenanya hasilnya bisa sukses atau gagal, tergantung kemampuan bernegosiasi dan kekuatan sumber daya yang dapat dinegosiasikan.
Atau kembali ke UUD 1945 sehingga yang memilih presiden dan wakil presiden adalah Anggota MPR RI. Anggota MPR RI terdiri dari Anggota DPR RI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang ditetapkan dengan undang-undang. Artinya kita harus berjuang mendorong semua pihak untuk terselenggaranya Sidang MPR RI untuk mengembalikan UUD 1945.