Perdebatan Filosofis Jari-jari

0
471
- Advertisement -


Kolom Ruslan Ismail Mage

Mungkin sahabat pembelajar pernah membaca tulisan sejenis ini. Kalau sudah pernah, tidak ada salahnya kita ulangi baca lagi. Jika belum mari kita membacanya, karena mengandung pembelajaran apa dan bagaimana posisi kita dalam menjalani kehidupan. Lebih jelasnya berikut narasi.

Ketika cincin kawin hendak dipasang atau dimasukkan ke salah satu jari-jari, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Terjadi perdebatan filosofis jari-jari memperebutkan dimana “cincin kawin sebagai simbol ikatan cinta” harus diletakkan. Perdebatan ini menjadi menarik dan penting. Menarik karena bernuansa filosofis, penting karena masing-masing memiliki alasan pembenar yang bisa dilogikan.

Jari kelingking sebagai anak jari mengatakan, aku kan paling kecil yang harus disayangi, jadi biarkanlah cincin kawin itu diletakkan padaku. Jari manis disampingnya hanya diam, yang menimpali justru jari tengah dengan mengatakan, itu tidak bisa karena masih kecil belum punya pengalaman menyimpan barang berharga, jadi lebih baik cincin kawin itu sama aku, kata jari tengah.

Nampaknya sang Jari telunjuk sangat berminat juga diletakkan mahkota cinta padanya, ia kemudian mengatakan, kalau mau jujur semestinya cincin kawin itu dipasangkan sama aku, karena aku paling tua, paling kuat dan sudah berpengalaman.

- Advertisement -

Mendengar perdebatan antara jari kelingking, jari tengah, dan jari telunjuk itu, ibu jari ikut bicara mencoba memberi solusii. Katanya, “Supaya adil biarlah cincin kawin itu dimasukkan ke dalam diriku sebagai ibu jari, sehingga bisa aman karena aku sudah berpengalaman”.

Berhentikah perdebatan itu setelah ibu jari mengambil alih? Ternyata belum! Jari manis yang selama ini diam, tiba-tiba buka suara. Katanya tidak adil kalau cincin kawin itu dipasangkan sama ibu jari, karena sudah tua dan energinya mulai melemah, dikhawatirkan tidak bisa menjaga keamananya. Jadi sebaiknya mengalah dan memberi kesempatan kepada yang muda. Begitu pula jari telunjuk yang kerjanya hanya mampu nunjuk-nunjuk memerintah tidak pantas cincin kawin itu dikenakan padanya. Ada egoisme dan keangkuhan menyertainya.

Sementara jari tengah yang kerjanya hanya suka nyolek-nyolek lebih tidak layak cincin kawin itu disematkan padanya. Dikhawatirkan ada amoralitas mengikutinya. Apalgi anak jari yang masih muda dan tentu juga masih miskin pengalaman ini, jelas belum layak menjaganya. Supaya aman, adil, dan tidak ada kecemburuan biarlah cincin kawin itu aku yang pakai, kata jari manis.

Alasan pembenarnya, namaku masih bersih tidak suka mengusik orang lain. Beda dengan jari kelingking yang hobbi ngupil, jari tengah gemar nyolek, jari telunjuk yang angkuh hanya nunjuk-nunjuk saja. Sementara ibu jari sudah berumur, pergerakannya sudah kaku, dan saatnya istirahat, kata jari manis disambut membisu yang lainnya.

Karena argumen jari manis bisa diterima logika, maka cincin kawin sebagai simbol ikatan cinta suci akhirnya dikenakan di jari manis. Kalau kemudian dialog atau perdebatan filosofis jari-jari ini mau dipakai untuk memaknai kehidupan, pesannya adalah, “Berbicaralah apa adanya sesuai data dan fakta. Jangan menambah untuk mencari sensasi, mengurangi untuk mengadu domba. Jangan sok tahu seperti karakter telunjuk, jangan suka usil sebagaimana watak jari tengah, jagan mengeluh selalu mau dikasihani seperti diperlihatkan anak jari, dan jangan gengsi mengalah untuk kepentingan bersama sebagaimana yang dicontohkan ibu jari.

Sahabat, dimana pun berada, hidup ini indah ketika setiap orang saling memahami posisi untuk bekerja sesuai tupoksinya. (Salam damai tanpa batas, salam bahagia tiada kahir).

RIM : Sang inspirator dan penggerak

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here