Oleh Ilham Bintang
“Saya kasihan sama Krisdayanti,” ujar Akbar Faizal saat dihubungi Senin (20/9) pagi dari Bandung. Setiba di Kota Kembang dalam rangka mau menengok cucu, Sabtu (19/89) siang, saya tiba-tiba teringat Krisdayanti yang dibully habis netizen karena membahas pendapatannya selama menjadi anggota parlemen. KD — nama akrab artis terkenal itu — secara terbuka membuka penghasilannya sebagai anggota Fraksi PDP-P DPR-RI. Ia mendapatkan kurang lebih 4 Miliar rupiah pertahun. Dahsyat. Merespons itu, publik riuh, mereka kembali mengenang perilaku politisi yang berebut kursi masuk Senayan. Sampai hari ini paparan KD mengenai besaran gajinya menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Menurut Akbar, ia mewawancarai KD dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR-RI di Channel YouTube “Akbar Faizal Uncencored” miliknya.
” Padahal wawancara itu berisi pandangan KD sebagai artis dan anggota DPR mengenai kehidupan berbangsa. Sangat menarik sebenarnya. Tapi, itulah. Yang diviralkan oleh entah siapa, justru bagian yang mengungkap penghasilannya sebagai anggota parlemen,” ungkap Akbar.
Wawancara dengan KD diupload di YouTube seminggu lalu. Hingga Senin ( 20/9) yang menonton 116 ribu viewers. Tapi, versi Tik Toknya yang bikin geger itu, mencapai jutaan viewers.
“TV-TV News juga hanya membahas versi Tik Tok itu. Mereka meminta izin ke saya untuk menyiarkan versi itu. Saya bilang, silahkan saja. Sebab, itu kan sudah dipublish, sudah milik publik,” cerita Akbar Faizal mantan anggota DPR-RI priode lalu.
Kenalan Lama
Masuk akal jika Akbar Faizal merasa tak enak dengan KD. Akbar dan KD sudah puluhan tahun saling mengenal. Akbar sejak dulu sudah tertarik mengamati KD. Saya ingat, semasa Akbar menjadi wartawan di Majalah SWA, pada tahun 2000, ia pernah menurunkan cover story tentang kiprah KD di dunia hiburan. Untuk mendukung cover storynya, Akbar pun bikin FGD. Saya dan Helmy Yahya waktu itu diminta sebagai nara sumber dalam FGD Majalah Swa.
Saya meyakinkan Tim Akbar, bahwa KD memang bintang yang sedang bersinar. KD, seperti halnya kebanyakan karakter orang Jawa Timur, hangat, familiar, dan terbuka. Hampir tidak ada hal yang dia sembunyikan. Saya katakan, KD salah satu dari hanya sedikit artis yang berani mengumumkan pernikahannya di saat berada di puncak popularitas. Padahal, masa itu kebanyakan artis takhayul : menganggap tabu mengpublish perkawinan atau rumah tangganya. Artis yang sudah menikah / berumahtangga dianggap bo-shio ( tidak laku/ seret rezekinya). Menurut pemahaman mereka : masyarakat tidak menggemari artis yang sudah berkeluarga. Atas anggapan itulah produser film maupun rekaman musik bersikap sama. Tapi, KD berhasil membalikkan anggapan klasik tersebut. Dia buktikan, sampai belasan tahun setelah menikah, kariernya tetap moncer. Malah, sekarang menjadi anggota terhormat di parlemen.
Lalu, benarkah sebesar itu pendapatan anggota DPR-RI? Ini semacam buah simalakama. Menyatakan KD kurang paham mengenai apa yang diucapkan mengandung konsekwensi. Apa kita tega mengatakan KD asal bunyi, tidak berkompeten? Pernyataan itu jelas memukul partai pengusungnya. Pertanyaan berikutnya : seperti apa pola rekrutmen calon legislatif di PDI-P? Kenapa sampai hal- hal elementer, seperti soal gaji, tunjangan-tunjangan lain bisa tak dipahami anggotanya? Sedangkan KD sudah dua tahun menikmati fasilitas negara itu.
Saya masih berusaha menganggap KD tidak salah, tetap menganggapnya sebagai orang terbuka dan jujur. Tidak ada yang disembunyikan. Jika ini benar, bukan cuma menampar partai pengusungnya, tetapi juga citra parlemen dan pemerintah sendiri.
KD merinci penghasilannya sebagai berikut.
- Gaji Pokok Rp. 16 juta ( diterima setiap tanggal 1)
- Tunjangan Rp. 59 juta ( diterima setiap tanggal 5)
- Dana aspirasi Rp.450 juta ( 5 kali dalam setahun)
- Kunjungan Daerah Pemilihan ( Kundapil ) sebesar 140 juta (delapan kali setahun)
Memang ketika membeberkan soal penghasilan itu, KD berkali- kali menyebut anggota DPR “tidak punya uang lah” Sambil tertawa-tawa ia menyatakan penghasilannya banyak potongan.
Dari pernyataan KD total penghasilan anggota DPR-RI adalah 12 x 65 juta = 780 juta + 5 X Rp. 450 juta = 2.250 M + 8 x Rp. 140 juta = 1.120 M sehingga menjadi 4.150 M / tahun. Dikali 5 tahun atau satu priode anggota DPR-RI lebih kurang Rp. 20 M.
Eko Patrio dari Fraksi PAN, membenarkan pendapatan itu. Namun, di luar gaji, semua yang disebut penghasilan oleh KD, adalah hak masyarakat. Para anggota DPR -RI yang mengantarkan itu ke daerah pemilihannya masing-masing harus mempertanggungjawabkan semua dana tersebut. Tidak hanya dilengkapi berita acara, tetapi juga terutama pengeluaran itu harus diaudit.
Ini perkara besar. Angka sekitar Rp 20 M pernah muncul di tahun 2015. Saat itu Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan / memasukkan dana aspirasi ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Namun, usulan dana yang dikemas dalam Program Pembangunan Daerah Pemilihan itu ditolak pemerintah. Dianggap bertentangan dengan Nawa Cita atau sembilan program prioritas yang menjadi visi dan misi pemerintah Presiden Joko Widodo.
Dana Aspirasi Total 11,2 T
Penolakan pemerintah disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof A. Chaniago ( waktu itu) setelah menghadap Presiden di Istana Negara, Rabu 24 Juni 2015. “Program pembangunan DPR itu diambil dari visi dan misi Presiden. Jadi, kalau pakai dana aspirasi, bisa bertabrakan,” kata Andrinof, menirukan pernyataan Jokowi.
Tak hanya itu, kata Andrinof, penolakan Presiden karena tidak sesuai dengan kewenangan Dewan dalam penentuan anggaran. Dewan, kata dia, hanya berwenang melakukan pengawasan, sementara penentuan anggaran menjadi kewenangan eksekutif.
Dana aspirasi tersebut diketuk fraksi-fraksi di DPR dalam rapat paripurna sehari sebelumnya. Total dana yang diajukan Rp 11,2 triliun dengan alokasi Rp 20 miliar tiap anggota Dewan.
DPR berdalih anggaran tersebut diperlukan untuk membangun daerah pemilihannya. Waktu itu tak semua fraksi mendukung usul ini. Tiga fraksi menolak karena menganggap usul itu cuma siasat anggota Dewan mempertahankan suara di daerah pemilihannya. Ketiga fraksi itu adalah Fraksi PDI Perjuangan, Hanura, dan Partai NasDem. Suara mereka kalah dari tujuh fraksi, yakni Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Demokrat.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mendukung penolakan. Selain menyalahi Undang-Undang Keuangan Negara yang mengatur kewenangan penentuan anggaran di tangan pemerintah, menurut Sekretaris Jenderal Fitra Yenny Sucipto, ”Dana ini bisa jadi bancakan elite.”
Dana aspirasi juga akan menimbulkan ketimpangan wilayah karena disalurkan berdasarkan anggota DPR. Sistem perwakilan akan menguntungkan wilayah padat penduduk karena akan mendapat dana aspirasi lebih besar dibanding daerah yang sedikit pemilihnya.
Dalam praktiknya, dana aspirasi memang rentan untuk diselewengkan. Menurut catatan, tahun 2016 ada dua anggota DPR yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) lantaran menyelewengkan dana aspirasi, yaitu I Putu Sudiartana anggota DPR dari Demokrat dan Damayanti anggota DPR juga dari fraksi PDI-P.
Dalam kasus Damayanti, proyek yang diurus adalah pelebaran pembangunan Jalan Tehoru-Laimu Maluku Utara senilai Rp 41 miliar, fee yang diberikan oleh pengusaha yang akan melaksanakan sebesar Rp 3,2 miliar. Sedangkan, I Putu Sudiartana mengurus proyek senilai Rp.300 miliar untuk pembangunan jalan di Sumatera.
Perkara teramat penting menyangkut kodrat anggota DPR yang punya tupoksi : legislasi, budgeting, dan pengawasan. Dengan dana aspirasi ala KD itu anggota DPR-RI seperti menentang kodratnya. Mestinya mengawasi pemerintah, eh malah menjadi petugas distribusi — mengantarkan anggaran pemerintah ke masyarakat. Tapi, saya setuju : terima kasih kepada Krisdayanti yang membuka perkara penghasilan anggota terhormat kita.
Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat