Kolom Zainal Bintang
Wakil Presiden dua kali tidak berturut-turut JK (Jusuf Kalla) melakukan “perlawanan”. Begitu pesan yang saya terima melalui WhatsApp dari teman-teman aktifis “civil society” (masyarakat sipil). “Saya kira KPU harus membikin syarat-syarat berkumpul atau apa. Kalau terjadi pelanggaran syarat-syarat, katakanlah kampanye hanya 50 (orang), tapi terjadi 200 (orang). Kalau terjadi kecenderungan itu, ya lebih baik dipertimbangkan kembali waktunya,” kata JK di sela-sela acara donor darah di gedung BPMJ Polda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (19/09/20).
JK yang akrab dipanggil Daeng Ucu, hari ini, kini, mau merepresentasikan sosok dirinya sebagai tokoh bangsa yang “pedulian”, yang tidak kenal diam. “JK tidak ada matinya”, begitu tertulis di WhatsApp tentang diri Daeng Ucu. Seperti diketahui, JK meminta keselamatan dan kesehatan masyarakat lebih diutamakan pada kondisi saat ini. Berbekal “senjata” dobel lop, yakni sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) dan Dewan Mesjid Indonesia, JK memang tidak kenal istirahat. Dua jabatan pada lembaga sosial kemanusiaan dan religius itu merupakan sumber oksigen dan imunitasnya untuk terus menyuarakan “perlawanan” itu.
Dengan logat yang khas Bugisnya, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Presiden Gus Dur itu, mengimbau agar Pilkada Serentak ditunda dulu hingga vaksin virus Corona ditemukan. Kalau memang sulit dan ternyata susah untuk mencegah perkumpulan orang hanya 50 sesuai aturan yang dikeluarkan oleh masing-masing gubernur, lebih manfaat ke masyarakat itu bisa ditunda pilkada. “Saya sarankan ditunda dulu sampai beberapa bulan sampai vaksin ditemukan dan vaksin ditemukan nanti langsung menurun itu”, ujarnya.
JK tidak sendiri bersuara serupa. Ada Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, Titik Anggraeni (Perludem), Gubernur Banten Wahidin Halim, Wakil Ketua Komite I DPD RI Ir H Djafar Alkatiri, Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM, Hairansyah dan pakar Pemilu Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim dan belakangan menyusul Prof. K.H Said Aqil Siroj (PBNU). Pada umumnya tokoh – tokoh itu sepakat agar Pilkada 2020 ditunda! Setelah viral berita itu , jutaan orang yang mendukung saran JK itu meramaikan lalu lintas percakapan dunia maya di media sosial (medsos). Bagaimanapun gawe itu melibatkan 105 juta pemilih, dikhawatirkan akan timbul klaster baru, karena setiap TPS 500 orang pemilih.
“Perlawanan” JK menarik perhatian publik secara luas. Tepat ketika masyarakat saat ini merasa kurang sreg dengan berbagai kebijakan pemerintah yang, – kalau tidak tumpang tindih – malah saling tabrakan. Tepat waktu ketika masyarakat sedang memerlukan kepedulian “civil society” yang belakangan ini serasa menyusut. Kegesitan JK bergerak kesana kemari membuat keberadaan dan kiprah Wapres Maruf Amin dipertanyakan. “Yang menjabat malah pasif. Tapi yang mantan kok malah super aktif”, begitu isi pesan WhatsApp menyentil. Entah siapa.
Ada yang mempertanyakan kemana perginya kelincahan Maruf Amin yang sangat menonjol ketika menjabat sebagai Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia). Fatwa yang ditandatanganinya telah menyeret Ahok (Basuki Tjahaya Purnama) ke pengadilan dan berujung dalam penjara di Mako Brimob, dengan dakwaan penistaan agama.
Menarik menelusuri pernyataan JK yang dianggap “berhadap – hadapan” dengan negara. Muncul tepat di tengah banjir protes dan luapan kecemasan masyarakat. Pemandangan akhir – akhir ini menunjukkan tingginya angka korban pasien postif Covid 19. Masyarakat meminta pelaksanaan Pilkada serentak yang ditetapkan 9 Desember 2020 diutunda!
Kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia per Sabtu (19/09/20) bertambah 4.168 orang, sehingga total kasus positif di Indonesia mencapai 240.687 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 174.350 orang dinyatakan telah sembuh dan 9.448 meninggal dunia. Penambahan kasus positif itu merupakan rekor tertinggi harian sejak awal kasus Covid 19 muncul di Indonesia pada 02 Maret 2020. Sebelumnya, rekor tercipta pada 16 September 2020 dengan 3.963 kasus, memecahkan rekor sebelumnya pada 10 September dengan jumlah 3.861 kasus.
Sejak pertengahan Maret yang lalu, ketika itu wabah corona (Covid 9) masih kecil baru mencapai 172 orang dan meninggal dunia 7 orang, JK sudah mewanti-wanti pemerintah supaya lebih serius. Bukan tidak mungkin, jumlahnya jauh lebih besar di lapangan karena banyaknya yang belum terdeteksi. “Indonesia seharusnya lebih menggencarkan pendeteksian Covid 19 kepada masyarakat, agar angka yang tercatat lebih banyak lagi”, kata JK.
Jalan fikiran JK sebagai Ketua PMI kini, dibaca masyarakat lebih dominan berorientasi kepada faktor kesehatan alias keselamatan nyawa manusia. Menarik, karena darah saudagar yang kental dalam diri mantan Menko Kesra era Presiden Megawati itu bisa dikalahkan oleh tanggung jawab pada kemanusiaan. Lebih dari enam bulan sudah berlalu, negara ini gonjang ganjing mengurus penanggulangan kekacauan tatanan kehidupan ekonomi dan kesehatan akibat serangan wabah virus Covid 19. Pemerintah boleh dikata telah jatuh bangun bekerja keras mencari jalan terbaik.
Mungkinkah langkah “nekat” JK yang melakukan “perlawanan” dengan mengonsolidasi potensi internal di non negara akan berhasil? Paling tidak mampu memberi secercah harapan ketenangan kepada masyarakat plus mengurangi kegamangan dan kegugupan aparat negara yang terlihat terkadang seperti kebingungan dan terkesan hampir kehabisan akal. Tapi jangan salah disalahfahami, yang dimaknai dengan istilah “perlawanan” dalam konteks JK adalah terhadap progresifitas penyebaran wabah virus Covid 19.
Manuver JK memang menarik. Sebagai mantan Wakil Presiden yang belum cukup setahun meninggalkan Istana, dipastikan mempunyai jaringan informasi “bawah tanah” yang up to date tentang suasana kebatinan elite-elite Istana itu sekarang. Sebagai alumnus pemerintahan pertama kabinet Jokowi, sebaliknya diyakini memiliki sejumlah informasi yang akurat tentan “jeroan” Istana. Inilah yang membedakan JK secara kualitatif dengan pemimpin masyarakat sipil yang belum pernah punya pengalaman di pemerintahan selengkap JK.
Berdasarkan penelusuran media, teriakan JK nampaknya telah merebut perhatian publik maupun elite. Diperkirakan terdorong dua hal. Pertama, dipengaruhi rasa percaya diri JK yang bergerak secara independen tanpa sumber daya negara. Yang kedua, lantaran kepasifan Maruf Amin yang tidak terlihat ada geliatnya. Padahal sumber daya negara sangat besar dan banyak di tangannya. Ada juga yang berharap “perlawanan” JK mampu menggelinding menjadi faktor pemotivasi gerakan “civil society” agar mereka lebih percaya diri,- yang meskipun tanpa topangan sumber daya negara, – tetap konsisten menjalankan peran kritisnya. Mengontrol perjalanan pemerintahan agar tetap di atas koridor konstitusi sesuai dengan amanat proklamasi.
Kasus Covid 19 ini dapat dibaca dari perspektif yang lain, dapat menjadi panggung “perlawanan” JK terhadap adanya sejumlah tuduhan miring yang menganggapnya selama ia menjadi Wapres dua kali, ia lebih banyak membesarkan kerajaan bisnisnya dan keluarganya. Publik sedang menanti – nanti apakah “perlawanan” JK dapat menjadi pintu masuk terkonsolidasinya kekuatan masyarakat sipil yang masih berserak-serak tanpa sentral komando, dibawah sebuah komando “ideologi” kebangsaan yang konsisten berkomitmen kepada keutuhan NKRI.
Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya.