Kolom Muchlis Patahna
Dalam debat capres dan cawapres sempat menyinggung soal Pertanahan dan Agraria. Tema ini menarik diulas mengingat hal ini merupakan isu yang krusial. Pasalnya, tanah merupakan hak yang paling mendasar bagi rakyat Indonesia.
Dalam debat tersebut, ketiga calon presiden tidak banyak mengeksplor persoalan tanah yang tengah dialami oleh masyarakat banyak. Padahal yang banyak menguat di publik adalah kepemilikan tanah yang berkelebihan. Bahkan salah satu capres memiliki ratusan ribu hektar tanah dan uniknya capres tersebut tidak tahu menahu status tanah yang dimiliki adalah tanah apa. Praktis, hampir tidak dapat membedakan antara HGU dan Tanah Negara.
Jadi wajar saja apabila masyarakat awam merasa bingung menyoal jenis- jenis tanah di Indonesia, karena para elitnya saja dilanda kebingungan.
Karena itu, penting kiranya penyederhanaan jenis-jenis hak atas tanah. Seperti diketahui terdapat jenis tanah yaitu: HM (hak milik), HGB(hak guna bangunan), HGU (hak guna usaha) HP (hak pakai), Hak Sewa, Hak Pengelolaan, Hak Memungut Hasil Hutan, dst.
Saking banyaknya jenis hak atas tanah, elit dibuat bingung, alih-alih rakyat kebanyakan. Maka momentum 2024 diperlukan reformasi sistem pertanahan di Indonesia.
Puluhan jenis hak atas tanah tersebut disederhanan menjadi 3 (tiga) jenis hak atas tanah ditambah tanah adat yang masih eksis saat ini, selain HM (hak milik) dan Hak Sewa.
Melalui riset di Perth dan Melbourne Australia, ternyata hanya ada jenis hak atas tanah yaitu Freehold (Hak Milik) dan Leasehold (hak sewa). Kedua hak tersebut punya kekuatan kepastian hukum yang kuat, misalnya Leasehod dijamin UU Australia sepajang masih mau menyewa dan tidak boleh diputus, serta si penyewa masih ingin memperpanjang dan tidak bisa menolak untuk diperpanjang.
(Melbourne Aussie, 8 Februari 2024)