(Ketika Kekuasaan Kehilangan Arah dan Nurani)
Kolom Stef Yurzal E. Wondiwoy
“Pikiranku… jatuh ke bawah kolong meja,” ujar seorang pemimpin dalam sepi ruang sidang. Tak ada tawa. Tak ada protes. Hanya diam yang menggantung. Karena mungkin, yang ia katakan… benar adanya.
Di negeri ini, kekuasaan sering kali duduk di balik meja kayu besar:
tempat proposal disetujui, anggaran disahkan, dan kebijakan dilahirkan.
Namun tak jarang, di balik kemegahan meja itu, tersembunyi kolong gelap—
tempat nurani dan logika terselip diam-diam.
Bukan karena lupa,
tetapi karena sengaja dibuang.
Meja Kekuasaan, Kolong Kepalsuan
Meja kekuasaan sering tampak rapi dari luar: tumpukan kertas, laptop mengilap, grafik pertumbuhan ekonomi.
Tapi di bawahnya, di kolong yang tak tersorot kamera, tersimpan sesuatu yang lebih jujur: amplop-amplop licin,
daftar nama yang dihapus dari bantuan sosial, hingga janji-janji politik yang berubah menjadi dokumen legal tak bermakna.
Sang pemimpin bicara tentang pertumbuhan, tapi rakyat tak tumbuh.
Ia bicara tentang pembangunan,
tapi jalan ke rumah warga masih becek,
anak-anak masih sekolah di bangunan yang nyaris rubuh.
Jika ada yang bertanya kenapa keputusan-keputusan itu begitu jauh dari nalar rakyat, mungkin jawabannya sederhana: pikirannya memang tidak lagi berada di atas meja—
ia telah hilang di bawah kolongnya.
Kekuasaan yang Kehilangan Pikiran
Pemimpin yang baik tak harus tahu segalanya,.tapi ia harus tahu ke mana harus berpikir. Ia harus peka pada realitas, bukan sibuk membangun citra.
Sayangnya, banyak yang naik ke tampuk kekuasaan membawa janji,
tapi tak membawa pikiran jernih.
Visi politik menjadi ilusi,
dan keberpihakan hanya formalitas dalam dokumen negara.
Kehilangan pikiran bukan hanya soal kurang cerdas. Ini tentang kehilangan arah, kehilangan empati, kehilangan keberanian untuk berkata, “Aku salah.”
Dan yang menyedihkan,
banyak pemimpin justru merasa paling benar— ketika pikirannya sudah lama hilang.
Apakah Pikiran Itu Bisa Ditemukan Kembali?
Bisa. Tapi tak mudah.
Butuh keberanian untuk membongkar meja kekuasaan, menyingkap kolongnya, dan mengakui bahwa selama ini kita terlalu sibuk bersolek, terlalu asyik merayakan pencitraan,
hingga lupa bahwa rakyat sedang bertahan hidup dengan harga sembako yang kian menggila.
Pikiran yang sehat hanya bisa tumbuh di ruang yang jujur..Dan ruang jujur hanya bisa lahir dari hati yang bersedia mendengar,.bukan hanya berbicara.
Kita Semua Punya Meja
Pada akhirnya, “kolong meja” bukan hanya milik para pemimpin. Ia bisa muncul dalam bentuk apa pun:
meja redaksi yang menyensor kebenaran, meja guru yang tak punya kebebasan mengajar, meja birokrasi yang memberatkan rakyat kecil.
Dan jika kita tidak hati-hati,
kita pun bisa kehilangan pikiran kita sendiri— lupa bahwa hidup bukan hanya tentang aman, tapi tentang benar serta jujur dalam pribadi kita masing-masing.
Maka, sebelum semuanya tenggelam makin dalam,.mari kita tunduk sejenak.
Lihat ke bawah meja kita masing-masing. Siapa tahu, ada sesuatu yang tertinggal di sana. Dan siapa tahu, itu adalah pikiran kita yang dulu pernah jernih.