Catatan Tammasse Balla
Ketika musim pemilu tiba, pemandangan yang sama selalu terulang. Wajah-wajah tersenyum terpampang di baliho, lengkap dengan janji manis yang dijahit dalam kalimat berbunga-bunga. “Pilihlah aku,” katanya. Lalu mereka datang ke Dapil (Daerah Pemilihan), mengenakan pakaian sederhana yang seakan-akan sengaja dipilih untuk mencerminkan kerendahhatian. Mereka rela menunduk, menggendong anak kecil, mencium tangan nenek-nenek, dan bahkan makan bersama rakyat jelata di gubuk reot. Semuanya demi pencitraan. Demi suara. Demi kekuasaan.
Namun setelah terpilih, wajah-wajah itu berubah. Senyum yang dulu lebar kini mulai pudar, berganti dengan raut angkuh dan pandangan penuh gengsi. Nomor HP-nya dulu dibagi-bagi, kini telah diganti nomor baru. Ada kemungkinan karena tidak mau dihubungi via telepon; takut ditagih janjinya. Mereka yang dulu berlari-lari ke lapangan becek demi menjabat tangan rakyat, kini mengunci diri di ruangan ber-AC. Sopan santun yang dulu seperti tak berbatas, sekarang ditahan oleh protokol ketat. “Jaga imej,” begitu katanya. Rakyat yang dulu mereka puja-puja kini hanya menjadi angka statistik. Entah suara rakyat yang hilang, atau telinga mereka yang kini tuli.
Tentu saja, tidak semua politisi seperti ini. Ada yang tetap menjaga janji dan prinsip, bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat. Namun, yang seperti itu terasa seperti mencari berlian di tengah pasir—langka dan sulit ditemukan. Kebanyakan lebih sibuk mempertahankan kursi daripada memperjuangkan nasib rakyat. Mereka yang dulu berkata “Aku wakilmu,” sekarang lebih mirip wakil dari kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Ironi yang menyakitkan, tapi sudah menjadi realita yang kita terima begitu saja.
Mengapa kita masih terus memilih mereka? Apa yang membuat kita percaya pada wajah-wajah yang berubah-ubah ini? Mungkin karena kita lelah berharap, atau mungkin karena kita terlalu takut untuk mencoba sesuatu yang baru. Ketika pemilu berikutnya tiba, kita kembali menjadi sasaran rayuan manis. Namun, rasa kecewa yang sama sudah siap menunggu di ujung cerita. Siklus ini terus berulang seperti lingkaran setan tanpa ujung.
Salahkah rakyat sepenuhnya? Bukankah mereka hanya ingin seseorang yang benar-benar peduli? Rakyat rela memberikan kepercayaan, meski sering kali kecewa. Mereka berharap, walau tahu harapan itu kerap kandas. Ada yang mengeluh, ada yang apatis, namun sebagian besar hanya diam. Tidak banyak yang berani menggugat, apalagi menjitak seperti judul tulisan ini. Jitakan hanya tinggal di dalam mimpi, menjadi simbol frustrasi yang tertahan.
Untuk para politisi, ingatlah: rakyat bukan angka, bukan batu loncatan menuju kekuasaan. Mereka manusia yang hidupnya bergantung pada kebijakanmu. Jika kau rela merendah di awal, mengapa tidak melanjutkannya hingga akhir? Jika kau menggendong anak kecil saat kampanye, mengapa tidak menggendong beban rakyat ketika kau sudah duduk di kursimu? Jabatan adalah amanah, bukan medali. Ingatlah itu sebelum rakyat benar-benar muak dan mengganti jitakan imajinasi dengan tindakan nyata.
Wahai rakyat, jangan takut untuk menuntut hakmu. Jangan hanya puas dengan janji-janji kosong. Politisi adalah pelayan, bukan tuan. Kau yang memilih, kau yang berhak menuntut. Jika mereka melenceng, panggil mereka kembali ke jalan yang benar. Jika mereka lupa, ingatkan. Jika mereka terus mengkhianati, mungkin sudah saatnya jitakan yang kau impikan menjadi kenyataan. Pilihlah aku, kalau aku mengkhianatimu, kau berhak menjitakku.
————————————————-
Makassar, 12 Januari 2025
Pk. 04.37 WITA