Sara’dasi, sebangsa hasutan, adu domba, tapi lebih ganas dari itu.
Kolom Ilham Bintang
Orang -orang tua Bugis Makassar zaman dulu punya “pappaseng”, amanah, atau pesan agar anak cucunya mewaspadai “Sara’dasi”.
Sara’dasi, sebangsa hasutan, adu domba, tapi lebih ganas dari itu. Pasangan pengantin yang memiliki banyak kecocokan satu sama lain saja sehingga berikrar di depan penghulu (ijab kabul) mengikat tali perkawinan, bisa buyar karena terpapar Sara’dasi.
Di malam pertama ada penyusup yang lolos membisiki pengantin pria bahwa istrinya memiliki ekor. Sedangkan kepada mempelai wanita, dibisiki suaminya suka main lewat “belakang”.
Malam pertama bulan madu sejoli itu pun gaduh. Mempelai pria penasaran ingin membuktikan ekor di bokong istri. Sebaliknya, sang istri ketakutan karena menemukan bukti nyata upaya keras sang suami “mengincar” bokongnya.
Kisah pengantin menjadi metafora untuk memudahkan orang tua menggambarkan kedahsyatan Sara’dasi. Tidak ada malam pertama lagi. Esok hari pasangan itu malah mendatangi kantor KUA untuk bercerai.
Subversif
Di masa Orde Baru, istilah dalam bahasa Bugis Makassar itu pernah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Subversi” atau Subversif.
Dalam KBBI, subversi / subversif adalah gerakan atau usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang.
Kata subversi diambil alih dari kata ‘hasutan’ sebagai nama untuk pemberontakan yang dilakukan secara tersembunyi atau terselubung, walaupun konotasi dari dua kata agak berbeda. Subversi dilakukan secara terbuka atau terang-terangan dengan menyatakan serangan kepada objek lembaga atau kekuasaan dasar hukum negara. Sementara hasutan lebih pada tindakan penghancuran target objek pada sasaran secara tersembunyi. Dalam peperangan Subversi adalah bagian penting dari propaganda.
Supaya mudah diterima anak cucu, maka orang-orang tua Bugis Makassar membuat metafora hubungan pernikahan yang sakral. Dalam tradisi Bugis Makassar zaman dulu, entah sekarang, masing – masing mempelai dikawal beberapa hari oleh orang kepercayaan keluarga sebelum dan beberapa hari setelah ijab kabul. Yang ditunjuk melaksanakan tugas itu orang sangat terpercaya. Istilahnya “Anrong Bunting” (Ibu pengantin).
Dalam konteks politik, kita kenal dengan nama Tim Sukses. Tugasnya, menjaga dan melayani segala kebutuhan mempelai termasuk menjaga pengamanannya. Sara’dasi memang kebanyakan dilakukan oleh orang terpercaya maka itu akibatnya sangat dahsyat.
Rasanya seperti itu yang terjadi pada peristiwa pecahnya koalisi antara Partai Demokrat dengan Partai Nasional Demokrat ( Nasdem). Koalisi itu pecah Kamis (31/8) lalu.
Pihak PD yang meradang saat mengumumkan perpecahan, kebetulan menggunakan juga istilah hubungan calon pengantin untuk Anies Baswedan (yang diusung Nasdem sebagai Calon Presiden) dengan Agus Harimurti Yudhoyono ( yang diusung PD untuk Calon Wakil Presiden). Mereka rencana maju untuk Pilpres 2024.
Andaikata pihak Partai Demokrat menerima permohonan Anies sebelumnya untuk bertemu, kejadiannya bisa lain. AHY kemungkinan bisa menerima sebagian alasan Anies seperti yang kelak kita ketahui lewat acara “Blak-Blakan Anies – Cak Imin ” di Mata Najwa. Acara yang dipandu wartawan senior Najwa Shihab tayang dua hari setelah deklarasi mereka sebagai pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Koalisi Perubahan untuk Persatuan ( KPP) di Surabaya.
Konferensi pers PD menambah runyam persoalan. PD mengumumkan secara resmi mencabut dukungan kepada Anies. Ketua Majelis Tinggi PD, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dalam dua tiga hari akan menjajaki kemungkinan koalisi dengan poros lain. Saat ini ditulis, ada dua poros koalisi yang tersisa, Gerindra dan PDI-P.
Sulit dibayangkan PD akan berlabuh di salah satu. Sebab keduanya telah dituduh oleh PD sebagai koalisi bentukan sebuah kekuatan yang dia sebut ” Master Mind”. Tidak dijelaskan siapa gerangan dimaksud, yang pasti mastermind itu hendak menggagalkan Anies -AHY.
Kita tinggal melihat parpol yang mau diajak koalisi PD. Seperti apa respons mereka setelah menyaksikan reaksi amat keras PD menanggapi duet Anies- Cak Imin hasil pengkhianatan. Mudah- mudahan tidak membekaskan pengalaman traumatis menghadapi karakter politisi PD yang ternyata pemberang. Berbanding terbalik dengan pencitraan politik santun Pak SBY selama ini.
Beruntung PKS tidak bereaksi serupa. Sebagai anggota KPP, PKS berhasil mempertunjukkan sosok sebagai partai para negarawan. Tidak terburu- buru bereaksi dan mengambil putusan dalam gegeran PD VS Nasdem. PKS juga jengkel, tapi lebih memilih tenang dan mengutamakan tabayyun.
PKS memang baru menetapkan Anies sebagai Capres. Sedangkan untuk Cak Imin yang baru dideklarasikan akan dimintakan lagi persetujuan dari Majelis Syuro untuk penetapannya. Begitu mekanisme di PKS.
Sikap PKS akan sama, siapapun yang dipilih jadi cawapres oleh Koalisi. Artinya, keliru besar kalau ada pihak menganggap Anies punya kewenangan menetapkan cawapres seperti dikesankan oleh PD.
Sesuai UU Pemilu, Capres dan Cawapres diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol. Anies hanya diberi mandat mencari cawapres yang bisa mengangkat elektabilitas koalisi. Jadi surat Anies yang seperti memo pribadi yang menyebar luas dijadikan bukti Anies ingkar mungkin telah salah ditafsirkan oleh PD dan AHY.
Capres dan Cawapres harus mengikuti mekanisme penetapan resmi dari parpol koalisi. Lagi pula isi surat Anies yang viral lebih bersifat pribadi. Tidak eksplisit menyebut penetapan AHY sebagai cawapres.
Peristiwa Kamis kelabu kemarin tentu sangat kita sayangkan terjadi. Peristiwa itu malah membuka tabir memang PD baru bersedia berkoalisi jika AHY cawapresnya. Berkoalisi bukan tentang perubahan Indonesia, tetap untuk kedudukan AHY.
Ada yang menarik di akhir ” Blak Blakan Anies – Cak Imin ” di Mata Najwa. Saya ingin mengutip mengakhiri tulisan ini. “Kami sudah menikah, rumah tangga itu harus dijaga dengan baik,” kata Cak Imin. Tapi harus selalu waspada terhadap Sara’dasi seperti pappaseng orang -orang tua Bugis Makassar. Apalagi di tahun politik, Sara’dasi tampak dominan.