Potret Ironi Anak Bangsa Dua Jalan Kecil Menuju Masa Depan

0
66
- Advertisement -

Kolom MUSLIMIN MAWI

Di suatu sudut kota, pagi meneteskan embun seperti doa yang jatuh pelan. Jalanan masih basah, aroma aspal bercampur debu yang belum sepenuhnya diam. Di sanalah dua kisah berjalan beriring, namun dengan jejak yang berbeda arah.

Lima anak kecil, tubuh mungil diselimuti baju lusuh dan mata yang tak lagi mengenal riang, memanggul karung besar yang nyaris lebih berat daripada tubuhnya. Mereka menapaki trotoar dengan langkah pasti, seolah telah paham bahwa rezeki tidak menunggu, bahwa hari hanya akan panjang bila perut tetap kosong. Di karung itu, terkumpul serpihan yang bagi orang lain tak berarti, botol plastik, kertas basah, rongsokan logam berkarat, namun bagi mereka adalah harapan yang dapat ditukar menjadi beberapa lembar rupiah.

Tak jauh dari mereka, dua anak lain berjalan santai, membawa tas rapi di punggung, berisi buku dan mimpi. Seragam sekolah mereka masih harum deterjen, wajahnya bersih oleh sentuhan pagi. Mereka melangkah menuju gerbang ilmu, ke ruang kelas yang hangat, ke meja-meja yang menyiapkan masa depan. Mereka pun berhak menikmati program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah kebijakan mulia untuk memastikan setiap pelajar tumbuh sehat dan cerdas.

Lalu, siapa yang akan mengingat lima anak dengan karung lusuh itu? Bukankah mereka juga warga negara yang sama, pemilik hak pendidikan dan gizi yang setara?

Fenomena ini bukan sekadar potret muram, ia adalah cermin ketimpangan struktural. Dalam perspektif akademis, kita menyaksikan bagaimana kebijakan sosial yang berorientasi pada sekolah formal seringkali menutup mata terhadap anak-anak pekerja jalanan. Program Makan Bergizi Gratis memang penting, tetapi hanya menyentuh mereka yang sudah berada di bangku sekolah. Padahal, data UNICEF dan BPS menunjukkan bahwa kemiskinan struktural dan keterbatasan akses pendidikan mendorong ribuan anak untuk bekerja di usia dini, menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.

Di sinilah kebijakan publik diuji, adakah keberanian untuk meluaskan cakupan program gizi hingga menjangkau anak-anak marjinal? Adakah kemauan untuk tidak hanya memberi makan, tetapi juga membuka pintu sekolah yang ramah bagi mereka?

Di ujung hari, kita dihadapkan pada dua jalan kecil yang mengguncang nurani, satu jalan menuju kelas yang terang, satu jalan menembus rimba kota dengan karung lusuh. Kedua jalan itu sesungguhnya milik anak bangsa yang sama.

Maka, ketika kita menyaksikan mereka yang lima dan yang dua, marilah kita bertanya kepada diri sendiri: apakah kita akan terus membiarkan kebijakan sosial hanya menatap yang tampak dan lupa pada mereka yang menunduk mencari rezeki di balik tumpukan sampah?

Sebab, masa depan bangsa tak hanya ditentukan oleh anak-anak yang menimba ilmu di sekolah, tetapi juga oleh mereka yang kini berjalan di jalanan, menanti secercah kebijakan yang lebih adil dan hati yang mau peduli.

Eramas 2000, 30 September 2025.

Penulis, Aktivis dan Pemerhati Organisasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here