PINISI.co.id- Bertepatan 16 Ramadan 1441 Hijriah, Kamis malam, (9/5/20) Departemen Kerohanian Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPP KKSS) kembali mengadakan kuliah daring Ramadan, menghadirkan narasumber Prof. Hafid Abbas, mantan Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM dan Komisioner dan Ketua Komnas HAM RI.. Hafid adalah guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang kini dipercaya sebagai Ketua Senat UNJ.
Hafid mengawali tuturan Ramadannya dengan mengajak Pengurus dan Warga KKSS dari berbagai wilayah dari dalam dan luar negeri yang mengikuti kuliah daringnya. “Kita patut bersyukur karena malam ini bisa bertatap muka dan bersilaturahmi. Kita menyaksikan seluruh penduduk dunia menghadapi satu masalah besar bernama pandemi virus korona”.
“Karena itu, saya ingin berbagi tips menghadapi situasi krisis global saat ini dengan mengajak warga KKSS menengok ke bekalang, berefleksi melihat jejak orang-orang Bugis-Makassar di Republik ini. Sekitar 22 tahun lampau, ketika kita mengalami perubahan, dari era Orde Baru ke era Reformasi; atau dari sistem pemerintahan otoritarian ke demokrasi; atau dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi atau otonomi daerah,” lanjut Hafid.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa kelihatannya tidak ada negara di dunia yang selamat dengan perubahan yang amat ekstrim seperti itu. Uni Soviet saja sebagai negara adidaya secara ekonomi, militer dan politik, tapi dengan menerapkan glasnost (keterbukaan) dan perestorika (restrukturisasi) dari sistem politik dan ekonomi yang tersentralisasi ke sistem desentralisasi, negara ini mengalami disintegrasi dan akhirnya hilang dari peta dunia. Demikian juga Yugoslavia yang kini telah pecah menjadi enam keping negara karena melakukan perubahan seperti yang dilakukan Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa Indonesia selamat dari perubahan besar di 1998 itu. Kelihatannya, karena tiba-tiba yang menjadi penentu kebijakan dari perubahan besar di masa krisis luar biasa itu adalah para tokoh dari Bugis-Makassar. Lihatlah peran B.J. Habibie aebagai Presiden RI menggantikan Presiden Soeharto, lihatlah peran Tanri Abeng, yang menyelamatkan seluruh BUMN; Jenderal M. Yunus Yospiah, Menteri Penerangan, yang membuka kran kebebasan pers, Andi M. Ghalib yang memimpin Kejaksaan Agung, Prof Ryaas Rasyid yang telah meletakkan dasar sistem pemerintahan desentralistik dan lain-lain.
“Di awal reformasi kita juga melihat Jusuf Kalla sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian di era Presiden Gusdur, ada Baharuddin Lopa yang memimpin Kementerian Kehakiman, Alwi Shihab sebagai Menlu, dsb,” jelasnya.
Jika kita menilik, apa modal utama putra-putra Bugis Makassar sehingga sukses mengawal perubahan transisi politik dan kepemimpinan di negeri ini? Karena mereka memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni (macca); berani (warani), malempu (jujur), dan getteng (memiliki komitmen). “Kita ini perantau, ada dimana-mana, di berbagai belahan benua, dan memiliki komitmen untuk menjaga kebhinekaan dan membangun pangadereng (peradaban),” sahut Hafid menambahkan.
Selain itu, warga Bugis-Makassar yang dikenal sebagai pelaut ulung, mengembara ke berbagai belahan dunia, terikat nilai: tega sanre lopimmu, kosikotu taro sengereng“, di manapun perahumu bersandar, maka di situlah engkau menyimpan kenangan abadi (legacy). Mereka dimanapun berada tetap menjunjung tinggi dan menjaga pangadereng, dan bersikap: mantanre tenricongari; mapance’ tenricukuki; battua temmallinrungi; baiccu tenrilinrungi. “Prinsip-prinsip hidup seperti ini perlu terus dirawat. Itu adalah pegangan kita dalam menghadapi perubahan iklim seperti pandemi korona itu,” ungkap Hafid.
Hafid kemudian meringkas empat poin kuliahnya; (i) beberapa bangsa telah hancur ketika mengalami transisi politik dan pemerintahan tapi Indonesia selamat karena jasa putra-putra Bugis-Makassar; (ii) kita perlu menjaga nilai-nilai pengadereng kita yang terkenal empa’ sulapa (empat sudut pandang): macca, warani, magetteng, sugi (cerdas, berani, konsisten, dan kaya/mandiri); (iii) nilai-nilai warisan Bugis-Makassar itu selalu aktual dan dapat menjadi perekat emosi sosial (ukhuwah) di antara kita khususnya dan antar-sesama anak bangsa; dan (iv) seperangkat pangadereng itu selalu terjaga dan abadi, serta indah jika dihayati dan dipraktikkan dalam bermasyarakat.
Sebelum kuliah virtual dimulai, Ketua Umum BPP KKSS Muchlis Patahna, memberi pengantar dan ucapan terima kasih, terutama kepada. Hafid Abbas, salah satu cendekiawan (to accana) KKSS yang telah go internasional dan bersedia berbagi hasil pembacaan dan pengalaman kepada Pengurus dan Warga KKSS.
“Ini adalah berkah Ramadan,” kata Muchlis Patahna.
Kuliah ini juga diselingi dialog interaktif atau tanya jawab beberapa peserta dengan Prof. Hafid, dimoderatori oleh Prof. Dr. Awaluddin Tjalla dan sebagai host, Dr. Abdul Muid Nawawi.
[M. Saleh Mude]