Kolom Zaenal Abidin
Ahad pagi, 10 November 2024, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) mengundang penulis untuk menjadi salah satu nara sumber dalam acara Dialog Minggu Pagi Hukum Kesehatan (Dampak) secara online. Dialog publik ini merupakan rangkaian HUT MHKI yang ke-16 (9 November 2024), sekaligus kegiatan rutin untuk menyambut penyelenggaran Konas VI MHKI, 5-7 Desember 2024 di Palembang.
Dialog publik di atas menarik karena mengangkat tema, “Program Kesehatan Presiden Baru dalam Perpektif Hak Sehat Warga Negara serta Kewajiban Konstitusional Pemerintah.” Menjadi lebih menarik lagi sebab menjadi kesempatan bagi MHKI untuk memberi masukan kritis atas program kesehatan Presiden Prabowo Subianto pada saat kampanye, sebelum dituangkan menjadi program Presiden dalam Perpres RPJMN 2025-2029.
Program Kesehatan Presiden Baru
Dalam Asta Cita 4, Presiden Prabowo berjanji akan memperkuat pembangunan kesehatan. Pun, di dalam 17 program prioritasnya, pada Program ke-7, berjanji akan menjamin tersedianya pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Beliau juga menjanjikan, semua pasien mendapatkan pelayanan yang terbaik di rumah sakit.
Di dalam sistem kesehatan, janji-janji di atas lebih dikenal sebagai upaya pelayanan perorangan (UKP) atau pelayanan medis. Selanjutnya, terdapat pula janji atau program yang merupakan upaya pelayanan kesehatan masyarakat (UKM). Contoh program UKM, tertuang pada Program Prioritas 1, terkait swasembada pangan dan air. Karena itu jangan dikirira hanya UKP yang merupakan urusan kesehatan. UKM pun adalah urusan kesehatan. Karena itu, menteri kesehatan perlu mengoodinasikan dan memastikan ketersediaannya.
Keduanya program UKM di atas merupakan kebutuhan pokok rakyat warga negara untuk hidup dan sehat. Dalam penanganan stunting keduanya merupakan intervensi sensitif yang amat penting, karena berkaitan dengan ketahahan pangan dan kesehatan lingkungan.
Program kesehatan lain dapat ditemukan pada Program 10, terkait: perlindungan hak perempuan, anak, serta penyandang disabilitas. Program ini tentu juga sangat berhubungan dengan kesehatan sebagai hak asasi manusia (HAM), yang sudah tercantum di dalam UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Pelayanan kesehatan kepada perempuan, anak, penyandang disabilitias dan berkebutuhan khusus ini dapat dikatakan masih jauh dari memadai, sehingga sangat membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.
Juga dapat ditemukan pada Program 11, terkait menjamin kelestarian lingkungan. Tanpa lingkungan hidup yang lestari maka manusia pun tidak akan dapat hidup sehat dan sejahtera. Sebaliknya, setiap terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan pasti mengakibatkan kesakitan, kecacatan, dan kematian rakyat.
Demikian halnya pada Program 13, terkait: menjamin rumah murah serta sanitasi masyarakat desa dan rakyat yang membutuhkan. Sebetulnya bukan hanya masyarakat pedesaan yang perlu dijamin perumahan dan sanitasinya, masyarakat perkotaan pun demikian. Apalagi masyarakat kumuh perkotaan. Perumahan dan satitasi sangat penting dalam bidang kesehatan, sebab keduanya merupakan kebutuhan dasar kesehatan rakyat.
Selanjutnya, berita www.liputan6.com/health, 20 Oktober 2024, berjudul, “Mengingat Kembali Janji Prabowo di Sektor Kesehatan Ketika Sah Jadi Presiden ke-8 Indonesia.” Disebutkan, saat berkampanye, Prabowo antara lain menjanjikan: (a) membangun rumah sakit modern di setiap kabupaten dan kota; serta (b) membangun puskesmas modern di setiap desa.
Saat ini boleh dikatakan semua kabupaten telah memiliki RSUD. Jadi, demi efisiensi tidak perlu membangun rumah sakit baru. Hanya perlu memperbarui, melengkapi SDM, dan alat kesehatannya sesuai kebutuhan kesehatan rakyat di kabupaten tersebut. Juga diperlukan mekanisme rujukan horizontal ke rumsah sakit terdekat yang memiliki SDM dan faslitas sesuai kebutuhan pelayanan bila ada pasien tertentu yang tidak mampu ditangani di RSUD tersebut atau mekanisme rujukan secara vertikal.
Sedangkan untuk puskesmas, saat ini memang terbilang masih kurang. Tapi sudah tahu kurang tetap saja tidak dimaksimalkan untuk mengerjakan fungsi dan tugas utamanya di bidang Public Health (UKM). Karena itu, wajar saja bila program upaya keseahatan masyarakat sering terbengkali.
Di kota-kota besar, puskemas pun selalu dibebani pekerjaan yang bukan fungsi dan tugas utamanya, yaitu mengobati orang sakit (UKP), padahal di sekelilingnya sudah bertumbuh banyak klinik dan praktik dokter umum (FKTP). Lain halnya di daerah pedalaman, di mana tidak ada ada klinik atau praktik dokter umum yang berfungsi sebagai FKTP, maka wajar bila puskesmas masih melaksanakan fungsi dan tugas ganda, yang penting ditunaikan secara berimbang.
Selanjutnya, Presiden pun pernah berjanji untuk mengatasi kekurangan dokter dengan menambah jumlah fakultas kedokteran, dari yang saat ini 92 menjadi 300. Untuk program mengatasi kekurangan dokter dengan menambah jumlah fakultas kedokteran ini, penulis memberi catatan agar pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan sebagai pengguna lulusan dokter dan dokter spesialis mengoordinasikannya dengan kementerian pendidikan tinggi, Assosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), maupun dengan organisasi profesi, sebab merekalah yang lebih tahu.
Dan, tentu saja dengan Adinkes yang lebih tahu dokter dan dokter spesialis untuk masing-masing sepesialisasi pada masing-masing daerah. Setelah itu baru dirumuskan cara mengatasi kekurangannya, apakah perlu menambah jumlah fakultas kedokteran atau cukup memperbaiki distribusi tidak? Bila mau menambah butuh berapa?
Berikutnya, program makan siang gratis dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil. Program ini tentu saja sangat baik, asalkan dananya negara cukup dan tepat sasaran. Tapi, bila dana terbatas, hemat penulis harus ada prioritas. Penulis mengusulkan untuk memberi kepada dua kelompok: (a) orang miskin atau tidak mampu dan, (b) orang yang paling membutuhkan.
Lalu, siapa kelompok yang paling membutuhkan itu? Kelompok yang paling membutuhkan itu, yakni: (a) anak sekolah, santri, dan ibu hamil yang berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu dan; (b) anak balita dengan gizi buruk dan stunting yang jumlahnya cukup banyak.
Program lain adalah pemeriksaan kesehatan gratis untuk 52 juta penduduk. Hemat penulis, janji-janji manis kesehatan gratis dalam kampanye seharusnya sudah selesai (behenti) sejak diterapkannya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di mana salah satu program BPJS adalah Jaminan Sosial Kesehatan (JKN) dengan “cakupan kesehatan universal” (UHC).
Kehadiran UU SJSN dan UU BPJS dengan Program JKN-nya, menunjukkan Negara menghadirkan dan mewajibkan dirinya untuk merawat kesehatan setiap penduduk yang menjadi pesertanya. Tinggal datang ke FKTP, tanpa perlu membayar. Bila membutuhkan perwatan lebih lanjut, FKTP akan merujuknya ke FKRTL. Program JKN ini mengajarkan kepada kita semua untuk bekerja dalam kesisteman, bukan bekerja serabutan. Dan, lagi pula data kesehatan penduduk sudah ada di masing-masing FKTP.
Apakah Program Prioritas Presiden Sudah Cukup
Pertanyaan yang sering muncul di dalam berbagai diskusi publik, apakah program prioritas Presiden pada saat kampenye sudah cukup untuk memenuhi hak dasar kesehatan rakyat warga negara dan kewajiban konstitusional pemerintah? Jawabannya, belum cukup.
Mengapa belum cukup? Sebab, hingga saat ini, sektor kesehatan Indonesia masih mengalami dua “beban tiga kali lipat” (a) Penyakit (triple burden disease) termasuk gangguan jiwa dan; (b) Masalah gizi (triple burden of malnutrition). Sementara program kesehatan yang disampaikan Presiden pada saat kampanye, belum menjawab secara keseluruhan “dua beban tiga kali lipat” masalah kesehatan tersebut.
“Beban tiga kali lipat masalah penyakit” dikenal dengan sebutan triple burden disease, meliputi: adanya penyakit Infeksi New Emerging, Re- Emerging, penyakit tidak menular (PTM) yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Termasuk pula di dalamnya Gangguan Jiwa. Dan, masih ada penyakit Skabies (peringkat pertama dunia); TB (Global TB Report Tahun 2023, peringkat kedua); Kusta (Peringkat ketiga dunia).
Sedang “beban tiga kali lipat masalah gizi” yang dikenal dengan sebutan triple burden of malnutrition, meliputi: kekurangan gizi (stunting dan gizi buruk), kelebihan berat badan (obesitas), dan kekurangan zat gizi mikro.
Untuk kekurangan gizi (stunting dan gizi buruk) saat ini sudah banyak regulasi mengaturnya. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan obesitas, terutama obesitas anak yang sangat minim regulasi. Bahkan UU Kesehatan N0.17 Tahun 2024 sekalipun tidak menyentuhnya. Di sini pun MHKI perlu mengambil bagian untuk perumusan regulasi yang tepat.
Selain itu, Presiden baru pun masih terbebani oleh “bengkalai” RPJMN (2020-2024) yang dinilai Bapak Suharso Monoarfa (Menteri Bappenas) tidak mencapai target 2024. Saat itu Menteri Bappenas yang mangatakan, “Sembilan dari sepuluh target pembangunan kesehatan pada era Jokowi terancam gagal”. Hanya satu target pembangunan di bidang kesehatan yang sudah tercapai yakni tingkat obesitas penduduk de- wasa yang sudah turun hingga 21,8%. (katadata.co.id, 5 Juni 2023).
Catatan Akhir
Dalam perpektif hak sehat warga negara dan pelaksanaan kewajiban konstitusional pemerintah, hemat saya, program presiden baru belumlah komprehensif. Bahkan terlihat redundant, seperti pemeriksaan kesehatan gratis. Ada pula yang menyerupai program mercusuar, karena tidak berkaitan langsung dengan hak dasar kesehatan rakyat warga negara. Ada pula yang tidak pantas dikategorikan sebagai program bidang kesehatan, sebab tidak selalu yang mengunakan kata “kedokteran” dan “kesehatan” dalam penulisannya sudah pasti wilayah bidang kesehatan.
Karena itu, saran saya agar dalam penyusunan RPJMN 2025-2029 nanti hendaknya program prioritas yang dijanjikan Presiden saat kampanye dapat dirumuskan dengan sebaik-baiknya, sehingga betul-betul mencerminkan pelaksanaan kewajiban konstitusional pemerintah di bidang kesehatan, sebelum menjadi Perpres RPJMN 2025-2029. Di sini peran MHKI untuk melakukan kajian kritis sangat dibutuhkan.
Pemerintah dapat dikatakan melaksanakan kewajiban konstitusionalnya di bidang kesehatan bila program yang dijalankan memang mempu menjawab, mengatasi, serta memenuhi hak kesehatan dasar rakyat warga negaranya. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, pemerintah terutama menteri yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan membutuhkan banyak sekali aktivitas koordinasi dan kolaborasi.
Diperlukan koordinasi lintas sektor karena tidak semua akar masalah kesehatan yang dialami rakyat warga negara itu terletak di bidang kesehatan. Ada kalanya atau bahkan lebih banyak berada di sektor lain. Karena itu menteri yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan wajib mengambil inisiatif untuk mengoordinasikannya, bahkan sebagai pihak terdampak pun wajib menjadi pemimpin dalam penyelesaiannya.
Diperlukan kolaborasi karena masalah kesehatan itu sangat kompleks, tidak cukup untuk diselesaikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan sendirian. Penyelesaiaan masalahan kesehatan memerlukan dukungan pemikiran, ilmu dan keterampilan (kompetensi), juga memerlukan dukungan dana, tenaga, keikut-sertaan rakyat warga negara, dan seterusnya. Wallahu a’lam bishawab.
Jatiasih, 11 November 2024
Penulis, Anggota pendiri Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia/MHKI)