Kolom Imran Duse
“Tanpa cinta kecerdasan itu berbahaya,
dan tanpa kecerdasan cinta itu tidak cukup”
(B.J. Habibie)
KASUS dugaan ujaran kebencian yang dipicu postingan status facebook Rektor ITK Prof. Budi Santosa Purwokartiko (BSP) kini memasuki babak baru. Setelah KAMMI Kaltimtara melaporkan BSP ke Polda Kalimantan Timur, Jumat (6/5/2022).
Sebelumnya, Kemendikbud-Ristek telah memberhentikan BSP sebagai reviewer program Dikti maupun LPDP. Kendati bersifat sementara, karena menunggu hasil sidang etik pihak kampus ITK. Atas sanksi itu, Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menilainya masih terlalu ringan (cnnindonesia.com, 8/5/2022).
Pekan lalu, Ketua Komisi VIII DPR-RI Yandri Susanto meminta BSP mencabut pernyataannya dan menyampaikan permintaan maaf. Sementara Guru Besar UPI Prof. Cecep Darmawan mendesak BSP meminta maaf kepada umat Islam.
Terbaru adalah Prof. Mohammad Nuh, mantan Mendikbud RI, yang menyesalkan mengapa BSP belum minta maaf. Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) ITS itu telah mengimbau Rektor ITS agar meminta penjelasan BSP, mengingat yang bersangkutan adalah dosen ITS yang ditugaskan menjadi rektor di ITK (news.detik.com, 7/5/2022).
Namun, hingga tulisan ini dibuat, permintaan maaf itu tak kunjung terbit. BSP justeru terkesan defensif dan tetap bersikukuh bahwa tulisannya telah disalahpahami. “Saya tidak seperti yang dituduhkan,” katanya (kaltim.procal.com, 7/5/2022).
Konsisten
Di berbagai tulisan BSP yang diunggah netizen, sebenarnya nampak suatu konsistensi yang nyaris sempurna. Misalnya, BSP menyoroti perilaku mahasiswi yang tak mau bersalaman dengan bukan muhrim dan menyebutnya “ajaran manusia ganas” (suarabogor.id, 3/5/2022).
BSP juga menyinggung kebiasaan mengaji sebagai hal tidak bagus karena tidak tahu artinya. BSP menyatakan kebanyakan kitab suci “isinya hanyalah dongeng zaman dulu.” Karena itu, ia “lebih suka baca sains dan berita terkini” (makassar.terkini.id, 2/5/2022).
Kanal YouTube InPrime juga memposting sejumlah status facebook BSP. Di antaranya, “Saya muslim tapi saya menggunakan akal sehat untuk bertindak. Saya muslim tapi saya nggak mau bayar mahal dan antri bertahun2 sekedar untuk berkomunikasi dengan Tuhan” (https://www.youtube.com/watch?v=9hYCLesv2gQ).
Jika yang dimaksud adalah berhaji (salah satu rukun Islam), bukankah itu kerinduan terbesar seorang muslim?
Tentu saja kita menghargai hak setiap orang berpendapat. Namun ketika dinyataan di ruang publik, maka ia terikat dengan hukum publik. Karena itu, penting untuk memantaskan narasi agar tidak menabrak keadaban publik dan ketertiban umum.
Lebih-lebih lagi status facebook. Di mana ada keleluasan waktu dan ruang bagi penulis. Berbeda dengan platform Twitter (yang dibatasi jumlah karakter). Atau acara debat, di mana mungkin ada tekanan audiens. Atau saat berpidato, di mana kadang terjadi ‘keseleo lidah’.
Maka, saya coba mengakses tulisan BSP di google cendekia. Dengan harapan menemukan ‘jalan pikiran’ yang lebih utuh (dan ilmiah), dengan silogisme dan kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Anehnya, tidak ada satu pun publikasi ilmiah yang muncul dalam pencarian atas nama BSP (accessed 9/5/2022, pukul 14.10 WITA). Indeks google cendekia sendiri diluncurkan sejak tahun 2004 dan merupakan layanan menemukan topik teks dalam beragam format publikasi akademis.
Batu Bata Peradaban
Dari google cendekia, selain sumber rujukan literatur ilmiah, kita juga melihat cara ilmu bertumbuh. Yakni melalui percakapan panjang yang melangkaui berlapis generasi di sepanjang tepian zaman.
Percakapan itu ditandai oleh jutaan sitasi –yang sambung-menyambung dan saling menyempurnakan–, dari waktu ke waktu. Dan setiap sitasi adalah batu bata peradaban: rahim bagi sebuah teori baru. Isaac Newton menyebutnya ‘pundak raksasa’.
Dalam sebuah surat yang ia tulis di tahun 1676, pemikir besar Revolusi Ilmiah abad ke-17 itu bersaksi: “Jika aku dapat melihat lebih jauh, hal itu lantaran aku berdiri di atas pundak para raksasa.”
Newton mengakui, semua pencapaiannya dimungkinkan karena berpijak pada timbangan dan penemuan (para) ilmuwan terdahulu. Mereka adalah “raksasa-raksasa” ilmu pengetahuan yang telah meletakkan postulat dan diktum konsekuensial dalam bidang keilmuan tertentu.
Di antara raksasa itu adalah Muhammad ibn Musa Al Khwarizmi (780-850 M), ilmuwan dan cendekiawan muslim yang cukup disegani di Barat. Selain ahli aqidah dan syariat, ia juga dikenal luas dalam bidang filsafat, aritmatika, logika, musik, geometri, ilmu hitung, kimia dan astronomi.
Pemikiran Al Khwarizmi tiba di Eropa tiga abad kemudian, setelah Robert Chester menerjemahkannya ke dalam bahasa latin pada tahun 1141 M. Usahanya itu kemudian memengaruhi transformasi Barat serta perkembangan ilmu dan sains modern kelak.
Berkat kontribusi Al Khwarizmi, terutama penggunaan angka nol dalam matematika (algoritma), dunia kini bisa menikmati keluasan akibat kemajuan teknologi digital dan artificial intellegence (AI).
Sangat beralasan bila Mark Zuckerberg, CEO Facebook, begitu terpesona dan takzim padanya. Mark justeru menampik ketika banyak orang mengidolakannya. Sebab, menurutnya kehormatan itu lebih patut dilekatkan pada Al Khwarizmi.
Dalam tulisannya yang beredar luas di media sosial, Mark berkata, “Saya heran ada orang-orang yang terlalu mengidolakan saya, padahal saya sangat mengidolakan ilmuwan Muslim Al-Khwarizmi karena tanpa Algoritma dan Aljabar, maka jangan pernah bermimpi ada Facebook, WhatsApp, BBM, Line, games bahkan computer.”
Mark benar (dan jujur). Bahwa berguru bukanlah tentang Barat dan Timur, menutup kepala atau tidak. Sebab pantulan cahaya kebenaran bisa datang dari tempat mana saja; bahkan yang tak terduga.
LPDP dan GII
Kendati tulisan BSP merupakan opini pribadi, namun dikhawatirkan mengganggu reputasi LPDP. Sebab tulisan itu terkait tugas bersangkutan sebagai interviewer.
Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto, sebagaimana ditulis di laman LPDP, memastikan lembaganya menjunjung tinggi etika, adab kepatutan dan toleransi. LPDP juga tidak memperkenankan ujaran kebencian dan menolak sikap diskriminasi, termasuk sentimen berdasarkan SARA.
Penegasan tersebut penting, agar LPDP tidak terganggu dalam misi mendorong inovasi dan mempersiapkan pemimpin bangsa di masa depan.
Apalagi jika melihat posisi Indonesia dalam Global Innovation Index (GII) tahun 2021 yang masih di peringkat ke-87 dari 132 negara. Bahkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur dan Oseania saja kita masih di urutan ke-14 dari 17 negara (detik.com, 2/3/2022).
Pemeringkatan itu menunjukkan kita masih di bawah Malaysia, negara yang pada tahun 1960-an justeru mengimpor tenaga pengajar dari Indonesia. Kita juga jauh di bawah Singapura. Negara-kota seluas 728,6 km2 dan berpenduduk 5,6 juta jiwa itu bahkan termasuk dalam peringkat 10 besar dunia.
Kita mengetahui, Malaysia pernah dipimpin Wan Azizah Wan Ismail sebagai Wakil Perdana Menteri (2018-2020). Sementara Singapura saat ini dipimpin Presiden Halimah Yacob (2017-2023).
Keduanya, kita pun tahu, tercatat sebagai pemimpin wanita pertama di negaranya. Dan meski berkedudukan tinggi, keduanya ajek dalam kerendahan hati, penuh kehangatan, dan tetap menutup kepala (maksud saya, berjilbab). Barangkali itu!
Imran Duse Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam UINSI Samarinda dan Mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI KKSS