Remaja, Ibu Hamil, dan Lanjut Usia

0
74
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Ketua Himpunan Fasyankes Dokter Indonesia (HIFDI)

“Gizi Remaja, Ibu Hamil, dan Lanjut Usia” merupakan sub tema webintar HIFDI menjelang HUT Kemerdekaan ke-80, 15 Agustus lalu. Tema umumnya, “Gizi, HAM, dan Kemerdekaan.” Gizi dalam perpektif HAM dan kemerdekaan adalah hal mutlak, yang tidak boleh ditawar. Karena itu, pemenuhan gizi seimbang harus dipandang sebagai wujud nyata penghormatan terhadap martabat manusia.

Terkait sub tema, ada peserta yang bertanya mengapa memilih, “Gizi Remaja, Ibu Hamil, dan Lanjut Usia?“ Kami menjawab karena gizi kelompok remaja, ibu hamil, dan lansia masih kurang diidiskusikan. Setidaknya HIFDI sendiri belum banyak mengangkatnya sebagai tema diskusi.

Gizi remaja dan ibu hamil perlu mendapat perhatian karena terkait upaya kita menyiapkan lahirnya generasi bangsa masa depan dengan kualitas yang lebih baik. Sedang gizi lanjut usia (lansia) perlu diperhatikan karena mereka sudah berjasa banyak kepada kita. Dan, kemandiriannya terhadap asupan gizi semakin berkurang, namun kini jumlah populasinya makin meningkat.

Populasi lansia di Indonesia mencapai 12% dengan rasio ketergantungan sebesar 17,76% (BPS, 2024). Dan, diperkirakan tahun 2045, proyeksi piramida penduduk Indonesia menunjukkan pertumbuhan penduduk lansia yang lebih besar, yakni 65,82 juta jiwa atau mencapai 20,31% dari total penduduk (BPS, 2023).

Lansia membutuhkan layanan terintegrasi dan berkelanjutan atau long term care (LTC), guna mempertahankan atau meningkatkan kemampuan dalam melakukan aktivitas hidup kesehariannya. Di dalamnya terdapat layanan gizi seimbang khusus lansia. Sebagai wujud perhatian terhadap gizi lansia maka penulis membuat jargon: “Lansia adalah saya dan in syaa Allah masa depan saya.”

Gizi bukan saja soal pangan atau soal sehat dan sakit, melainkan soal hidup dan mati dan soal damai dan perang. Perebutan sumber-sumber gizi bisa memicu konflik sosial dan konflik bersenjata. Semua tentu bahwa perang berkepanjangan, sekalin karena memperebutkan wilayah kekuasan politik dan ekonomi, sebagian pula karena mempersebutkan sumber-sember gizi. Memperrebutkan tanah yang subur dan memperebutkan sumber-sumber air bersih untuk pemenuhan gizi dan kehidupan lain.

Masih segar dalam ingatan, tiga tahun lalu (2022), HIFDI mendiskusikan tentang air sebagai zat gizi yang sejak zaman kuno memicu konflik dan perang, sumber-sumber zat gizi lain pun demikian. Sumber gizi makro: kabohidrat, protein, dan lemak, sejak zaman kuno pun sering menjadi sumber konflik dan perang. Perang yang berkepanjangan dapat berakibat terjadinya krisis gizi dan malnutrisi atau malagizi.

Setiap terjadi konflik sosial, ekonomi, politik, dan bersenjata (perang), yang pertama kali menjadi korban adalah kelompok rentan, seperti anak, remaja, ibu hamil, dan lansia. Tidak jarang kelompok ini terlihat kurus kering, tinggal kulit dan tulang. Mengalami masalah kesehatan dan gizi yang sangat serius, baik dimensi fisik, jiwa, sosial dan spiritualnya.

Hingga saat ini masalah gizi ini Indonesia dapat dikatakan masih cukup serius. Dikenal dengan sebutan “beban rangkap tiga malnutrisi” atau “triple burden malnutrition”, yang mencakup kurang gizi, kekurangan zat mikro, dan obesitas, dengan sebab dan akibatnya masing-masing. Hal ini berbeda dengan “beban rangkap tiga penyakit” atau triple burden disease.” Belum lagi sebagian masyarakat Indonesia ditengarai mengalami kelaparan tersembunyi (hidden hunger).

Gizi itu memiliki masalahnya sendiri, tidak sekadar terkait masalah kesehatan dan pangan. Dari uraian di atas tampak bahwa gizi sangat terkait dengan masalah sosial, ekonomi, politik, dan tingkat pendidikan suatu bangsa. Sangat terpengaruh oleh konflik sosial, ekonomi, politik dan perang.

Pemenuhan gizi pada kelompok rentan seperti anak, remaja, ibu hamil, dan lansia perlu mendapatkan perhatian khusus. Atau yang lebih khusus lagi adalah intervensi kepada anak, remaja, ibu hamil, dan lansia pada mereka yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu (Pasal 34 ayat (1) UUD Negara RI 1954.

Intervensi gizi yang tepat, edukasi keluarga dan masyarakat, serta peran pemerintah dalam menjamin ketersediaan pangan yang sehat dan terjangkau sangat penting. Dengan adanya intervensi tersebut, barulah kita berharap dapat merdeka dan berdaulat atas pemenuhan gizi yang seimbang.

Intervensi pemerintah sangat penting sebab, masalah gizi sanga kompleks. Gizi terkait dengan politik kebijakan dan sosial ekonomi terutama kemiskinan. Gizi juga terkait dengan sanitasi, tingkat pendidikan, dan perilaku keluarga dan masyarakat.

Harapan ke depan, masalah gizi penduduk Indonesia dapat menjadi agenda diskusi dan perdebatan penting oleh para cerdik pandai maupun para elit politik, sehingga bangsa Indonesia dapat terbebas dari “beban rangkap tiga malnutrisi.”

Indonesia pun perlu memiliki UU khusus terkait Pemenuhan Gizi Seimbang. Pemenuhan gizi seimbang tidak cukup hanya diselipkan di dalam UU Kesehatan dan UU Pangan saja. Billahit Taufiq Walhidayah.

Artikel ini dibuat dalam rangka HUT HIFDI ke-3, 22 Oktober 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here