Kolom Egy Massadiah
Mengeluh tidak bisa bermain golf gara-gara corona, mendadak menjadi persoalan saya. Padahal, saya bukan pemain golf.
Apa boleh buat, keluhan itu datang dari seorang teman. Saya tahu dia pegolf aktif. Bahkan saya bisa katakan, sahabat ini “kecanduan” bermain golf.
Jika sudah berbicara golf, dunia nyaris tak bertepi. Tak heran jika sering kita jumpai kenyataan, para pecandu golf ini bisa mengesampingkan banyak hal.
Contoh kecil, rapat di kantor boleh terlambat, tetapi hadir di lapangan golf tepat waktu adalah harga mati.
Bahkan ada kisah yang lebih lucu, kalau tak mau dibilang konyol. Dalam satu obrolan santai sambil ngopi, topik sampai ke hobby golf. Saya menikmati obrolan itu, karena memang sangat menarik.
Niatnya, ia memberi tips kepada sahabat lain, yang sama-sama golfer. Tips bagaimana meredam larangan istri, minimal meredam ocehannya setiap pulang golf.
Semula, ia nyaris tidak pernah tenang bermain golf. Baru saja menaruh barang-barang di locker room, telepon sudah berdering. Si penelepon adalah sang istri.
Diangkat salah, tidak diangkat salah. Seperti simalakama. Diangkat kena marah, tidak diangkat kena omelan juga. Protes istri, lebih tinggi volumenya kalau ia golf di hari libur.
Terkadang, bukan hanya istri, tetapi juga melibatkan anak-anak. Istri dan anak-anak bersekutu menentangnya golf, dan menuntut waktu untuk sekadar menemaninya jalan-jalan atau makan bersama.
Ide nyeleneh –yang entah dari mana sumbernya— datang. Ia pun pergi ke supermarket pusat elektronik. Diborongnya barang-barang elektronik, mulai dari microwave, blender, mixer, food processor, sampai handphone. Semua serba branded, yang lumayan mahal harganya.
Kesemua barang elektronik tadi lalu disimpannya di bagasi mobil. Lalu, sepulang dari golf, sambil bersiul-siul ia memanggil istri tercinta. Yang dipanggil, menyahut sambil bersungut-sungut.
Saat itulah, strategi dijalankan. “Nih, hadiah papah, ada door prize,” berkata begitu sambil menyerahkan salah satu barang elektronik yang sudah disimpannya di bagasi mobil.
Biasanya, suasana lekas cair.
Keesokan harinya, sepulang golf, ia kembali memberikan hadiah kepada istri, “Ini hadiah papah tadi main.” Begitu seterusnya….
Anda tahu hasilnya? Luar biasa. Ketika ia diam di rumah, maka istri yang akan datang menghampiri, dan bertanya, “Papah kok tidak golf?”
Begitulah, pernak-pernik dan suka duka pecandu golf yang saya tahu. Sedangkan, teman yang tempo hari curcol lewat WA karena golf club-nya tutup, sepertinya tidak lagi punya persoalan terhadap larangan istri atau anak-anak.
Karenanya, ia begitu stres ketika sudah beberapa minggu tidak bisa merumput.
Saya tahu, teman yang curhat ini adalah member di sejumlah golf club.
Masing-masing lapangan golf, bahkan setiap hole memiliki karakter berbeda, dengan tingkat tantangan yang juga beragam. Rintangan dapat berupa semak belukar, pohon, bunker (kubah pasir), kolam, jurang, fairway dengan kemiringan, dan sebagainya.
Pendek kata, “menaklukkan” sebuah hole seperti menjadi sebuah PR yang tidak pernah usai. Itu yang membuat para pegolf ingin kembali dan kembali lagi ke lapangan golf. Belum lagi kalau di sela-sela permainan, para pemain sudah bersepakat membuat “perda” (peraturan darurat).
Denda –bisa juga disebut taruhan—bahkan bisa terjadi di setiap stroke (pukulan).
Sungguh mengasyikkan jika membayangkan saya ada pada posisi dia.
Memahami begitu gundah dan gulana perasaan sahabat yang tidak bisa bermain golf, maka saya menjadi maklum ketika ia nge-share pengumuman pengelola Pondok Indah Golf Course, Jakarta Selatan.
Pointnya adalah “Bahwa Pondok Indah Golf Course, Senin 4 Mei 2020 kembali untuk tetap DITUTUP. Mohon maaf atas ketidaknyaman ini dan abaikan pengumuman kami sebelumnya.”
“Saya member di Pondok Indah Golf Club, sudah berminggu-minggu tidak olahraga, jadi tidak sehat juga kan? Padahal kan bisa tetap golf dengan tetap menjaga jarak, cuci tangan, dan periksa temperatur. Satu kereta hanya untuk satu orang caddy yang berdiri di belakang, dan player yang nyetir,” tulisanya melalui pesan WhatsApps.
Tidak cukup sampai di situ, ia juga usul agar setiap player yang datang, tidak berkumpul di locker room. Bahkan mandi pun di rumah.
Jadwalnya diatur, 50 player pagi dan 50 player sore dan tidak ada pertandingan yang ramai-ramai. “Mohon dipertimbangkan,” katanya lagi.
Belum selesai saya memberi tanggapan atas curhatannya, ia mengirim flyer image bertuliskan “Happy Ramadhan, Happy Golfing”.
Saya cermati flyer indah dengan latar belakang foto padang golf Klub Golf Bogor Raya dengan penawaran harga khusus Ramadhan setiap hari Minggu dan Senin. Di bawahnya, terdapat nomor telepon untuk reservasi.
Artinya, pada saat bersamaan, ia mendapatkan kabar baik dari Bogor. Kabar yang memungkinkan ia bisa kembali “merumput” dengan stik-stik andalannya.
Padahal, saya baru saja terpikir untuk memberinya solusi praktis yakni “virtual golf”. Sebuah alternatif untuk tetap bisa bermain golf, meski di dalam ruang tertutup.
Di Jabotabek, sependek pengetahuan saya, terdapat sejumlah spot virtual golf. Di tempat ini, para pegolf tetap bisa bermain golf, bahkan bisa menyetel driving range yang dikehendaki.
Kalau toh tidak bisa bermain beramai-ramai, sarana virtual golf setidaknya bisa tetap melatih pulukan. Bukan itu saja, yang terpenting adalah bisa sebagai sarana melepas hasrat dan kerinduan bermain golf. Itu artinya, kerinduan bermain golf terobati, olahraga tepenuhi.
Sekadar menyebut lokasi virtual golf, di Jakarta Selatan ada V-Golf Club (Lotte Shopping Avenua) dan di SG Golf Indonesia di Jl Prapanca, Kemang. Bahkan di Depok juga ada, Virtual Warehouse, Bukit Golf Cibubur Riverside di Leuwinanggung, Tapos. Atau jangan jangan ia sudah tahu hal ini, dan justru sayalah yang tidak tahu kalau semua tempat virtual yang saya sebutkan itu ikut ikutan tutup.
Tapi sudahlah. Mungkin sahabat saya lebih memilih pergi ke Bogor, dengan berbagai alasannya. Sebab, bagi sebagian pegolf, memang, bermain golf di lapangan terbuka dengan di indoor memiliki sensasi yang berbeda.
Sebab di lapangan golf asli itulah mereka bisa merasakan green area, yakni area pada hole yang memiliki jenis rumput yang relatif lebih lembut dan tipis dibanding area lain. Pada green area inilah terdapat target lubang untuk memasukkan bola.
Sensasi di area ini memang membuat para pegolf kecanduan.
Sedangkan, yang saya usulkan lebih bermakna, “tak ada akar, rotan pun jadi”. Tetap jaga jarak, tetap sehat, kawan…..