Kolom Fiam Mustamin
Manna ja sesa’ mingka bea puluk … itu tulisan terjemahan bahasa Makassar dari judul di atas.
Bagaimana ceritanya?
Alvin Nur bernama asli Muhamad Nasir Munir, adalah Sarjana Sosial Politik, putra asal dari Desa Kohala Buki Selayar.
Suatu masa di desanya, didatangi seorang pemuda sepantaran usianya, meminta pandangan Alvin tentang seorang janda yang dikenal rupawan di kampung itu.
Alvin yang anak gaul (banna’) di kampung itu tanpa berpikir langsung
mengomentari pertanyaan pemuda tadi seperti bahasa Makassar diatas.
Menekankan bahwa jangan melihatnya itu sebagai barang sisa karena ia statusnya janda, akan tetapi lihatlah dia dengan kualitas perilaku dan keturunannya.
Sejak itulah, saya selalu tertawa gembira bila mengingat cerita itu atau menyebut dan melihat yang menyerupai wanita yang berkualitas beras pulut itu hehaha …
Beras pulut adalah beras jagung pulut yang digiling untuk menjadi beras makanan sandindingan selingan yang di zaman sulit dulu, sekitar tahun 1950 dan 1960-an di pedalaman Sulawesi Selatan.
Perlente Bergaya Banyak Cerita
Kehadiran Alfin membawa kesenangan dengan cerita-cerita pengalaman hidupnya yang beraneka, pernah hanyut terbawa arus laut di selat Selayar yang menyeramkan itu (gurita laut).
Akvin adalah generasi yang masih seketurunan pemangku wilayah Buki, titisan dari raja Gowa Lakipadada yang mempermaisurikan Bissukati Daeng Raunna. Karena itu, Alvin bisa bercerita tetang apa yang dibaca dari lontaran yang disimpannya.
Alvin juga dapat menuturkan naskah sinrilik yang mengisahkan patriotisme keperkasaan to’barania Maddukeleng Daeng Silasa tiga bersaudara yaitu Marese Daeng Situju dan Mappa Daeng Siratang.
Ketiganya berperang menghadapi 17 buah perahu besar pasukan armada Kapitang Mursadik. Sekitar ribuan pasukan itu dapat ditaklukkan dengan keris yang dikenal dengan nama Lamba Limaiya purusu allo allona.
Ketiga bersaudara itu bertarungtiga hari tiga malam yang dimenangkan untuk kehormatan harga diri dan kedaulatan butta toa tana doang Tanete Silaja.
Peristiwa itu diabadikan dalam naskah lontara Selayar, kejadian sebelum masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16.
Sebelum ketiganya gugur karena kelelahan/mate poso, Maddukelleng Daeng Silasa mencabut kerisnya dan menyapa penuh hormat kepada musuhnya sebagai berikut; Gilingko mae saribattang Kapitang Musadik.
“Inakkemi enne karengna burannea, pallakinna pallakia, bulaengna parangia paramata namuntea, intan tonjo, jamnarunna kassabumbu,
sauluna bone lohe, sedona rara, patolana tana toa …
Penyebutan itu sebagai bentuk internalisasi semua gelar kelaki-lakian itu yang tak tertandingi.
Setelah itu Maddukalang bersama dengan tunggangan kudanya (kamummu rappo tono) mengamuk (ajjallo) menghabisi semua pasukan musuhnya.
Mengungkap ini untuk mengenang pengorbanan leluhur kita itu, Alfatiha.
Selain itu sebuah cerita yang begitu mengesankan dari seorang Kepala Desa Kohala namanya Bolong Karaeng Lolo.
Kepala desa ini berada di zaman orde baru Presiden Soeharto. Kades ini dipilih semur hidup oleh warganya karena kebaikan hatinya mensedekahkan hartanya apa menjadi kebutuhan warganya semisal pajak bumi, beaya sekokah, pesta perkawiinan dan lain lain. Meski buta huruf aksara/ tepo pulpennya, tapi Kade ini tak buta hati dan selalu ikhlas berbagi apa yang menjadi kebutuhan warganya. Jabatannya menjadi amanah untuk melayani dan berbagi bukan yang sebaliknya.
Ssosok Alvin bisa menjadi sebuah buku cerita berjalan, bagus diikuti cerita-ceritanya.
Alvin punya dua putra, seorang perwira polisi bernama Muh. Khadafi dan Rengger, pegawai bank dan seorang putri Siti Nurlaila, ibu rumah tangga, semuanya bermukim di Kendari, Sulawesei Tenggara.
Pendekar Banten
Alvin dilantik menjadi Panglima Pendekar serba guna Banten 16 Januari 2005 selama lima tahun. Maulana Syech Yusuf, panglima pendekar Banten yang pertama.
Syech Yusuf sebelum meninggalkan tanah Banten berpesan bahwa tidak akan jadi panglima kalau bukan keturunanku.