Kolom Fiam Mustamin
Kenapa mesti bangkit, adakah yang mandek tidak berkesinambungan dari yang pernah ada.
Inilah yang akan dibicarakan.
Saya terlibat dalam suatu pembicaraan santai dengan saudara Agusalim Alwi Direktur Fajar Media di tenda halaman kantor Fajar Grup dan Institut Lembang Sembilan, Rabu siang 18 November 2020 Jakarta.
Agusalim menceritakan tentang kebijakan inovasi Nurdin Adullah, Gubernur Sulsel dalam pembangunan sejumlah infrastrukur strategis untuk kemajuan daerah.
Begitupun dengan apa yang dilakukan okeh Walikota Makassar, Dany Pamanto selama kepemimpinannya yang membanggakan memimpin dengan inovasi konsepsi apa yang menjadi kebutuhan masyakarat kota saat kini dan akan datang secara berkesinambungan.
Kita yang bermukin di luar Sulsel tentu ikut merasa bangga dengan pencapaian itu.
Tapi bagaimana dengan kehidupan berkebudayaan dan berkesenian, apakah juga termasuk dalam cakupan kebijaksanaan pembangunan itu. Yang seyogianya mendapatkan perhatian yang paralel dan berimbang.
Dari itu saya memberikan ilustrasi dan orientasii bahwa 51 lalu, tepatnya 25 Juli 1969 ada 11 Budayawan dan Seniman di Makassar mendeklarasikan berdirinya Dewan Kesenian Makassar (DKM) untuk menghidupkan sejumlah kegiatan pembicaraan kebudayaan dan pertunjukan/pagelaran kesenian.
Kegiatan itu meliputi ; pembicaraan sastera, pembacaan puisi/ syair, pementasan teater, pagelaran tari dan musik serta pameran seni rupa. Secara berkala ditampilkan dalam arena festival dan temu budaya.
Dalam situasi kurun waktu 1970 dan 1992 an itu dengan fasilitas apa adanya
seniman Makassar melahirkan karya -karya kreatif mereka yang dipanggungkan di tingkat Kota Makassar dan Festival/Temu Tester antar kota di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Tersebut beberapa pementasan teater yang menarik perhatian penonton antara lalin Monserat saduran budayawan Asrul Sani tahun 1970 yang mengumpulkan rekor sekitar 10 ribu penonton dalam tujuh malam pertunjukan.
Setelah itu dipentaskan pula : Jerik Tangis Di Malam Buta disutradarai Ali Walangadi, Di Pintu Alternatip disutradarai oleh Husni Djamaluddin dan Perang dan Pahlawan yang disutradarai oleh Muh Saleh Mallombassi.
Pementasan tersebut dilakukan di gedung DKM jalan Irian yang berfungsi sebagai. bioskop rakyat di malam hari bila tidak ada scara kesenian dan di siang harinya jadi tempat latihan karate/olah tubuh.
Begitulah diinamikanya memanfaatkan sarana apa yang ada.
Beberapa karya teater Rahman Arge yang Ketua DKM dipentaskan di Taman
Ismail Marzuki Jakarta antaranya : Pembenci Matahari dan OPA disutradarai langsung oleh Rahman Arge. Kemudian ITolok 1979.
Kemudian karya dan sutradara Aspar Paturusi dengan Samindara. Lalu Jihadunnafsi 1992 produksi Parfi dan Teater Saja dan Perahu Nuh 2 dipentaskan di TIM pada 1985 dan tahun 1995 sekaitan Festival Istiqlal pada 1995.
Lalu ada Karaeng Pattingaloan Teater Makassar disutradarai oleh Yacob Marala.
Untuk semua itu menjadi motivasi kepada generasi berikutnya untuk lebih terangsang termotivasi betkarya dengan fasilitas yang labih baik serta dukungan Pemerintah Daerah yang apresiatif terhadap budaya dan seni.
Ungkapan terimakasih dan doa kepada sebelas perintis dan pendiri Dewan Kesenian Makasssr yaitu 1. HD Mangemba
- Mattulada
- Ali Walangadi 4. Rahman Arge 5. Arsal Alhabsy 6. Husni Djamaluddin
- Aspar Paturusi
- SA Yatimayu 9. Muh Saleh Mallòmbassi
- Hisbuldin Patunru dan
- Djamaluddin Latif.
Tersisa satu orang pendiri DKM yang dirahmati panjang umur, Aspar Paturusi dapat menyaksikan 51 tahun DKM dan harapannya semoga insan seniman lebih produktif berkarya, selamat.
Beranda Inspirasi Ciliwung, 18 November 2020