Spirit Perantau Sulawesi Selatan

0
319
- Advertisement -

Oleh M. Saleh Mude dan Mardi Adi Armin

Secara jamak diketahui (common sense) bahwa ada jutaan orang yang memiliki hubungan emosional dan kultural dengan Sulawesi Selatan dari minimal empat suku besar: Bugis, Makassar, Toraja, dan Luwu — setelah daerah mayoritas suku Mandar menjadi daerah otonom atau Provinsi Sulawesi Barat – kini tersebar di puluhan Provinsi di Indonesia dan sebagian lagi memilih bermigrasi (sompe’) ke negeri jauh, seperti Malaysia, Brunei, Singapura, bahkan hingga Saudi Arabia, Mesir, Afrika Selatan, Amerika, dll.

Ada berbagai alasan yang mendorong orang untuk merantau atau berdiaspora. Alasan berikut ini lebih sering dihubungkan dengan perantau gelombang pertama, misalnya, mereka mencari peluang ekonomi baru atau yang menantang untuk meningkatkan taraf hidup, yang tidak ditemukan di kampung halamannya. Alasan seperti ini sering dihubungkan dengan perantau asal Minangkabau, Sumatera Barat. Alasan kedua, mencari pendidikan yang lebih baik, misalnya belajar di Jakarta atau Yogyakarta, atau di luar negeri. Itu adalah pendorong pelajar menjinjing kopernya, meninggalkan kampung halaman dan handai-tolannya. Faktor ketiga adalah mencari suasana dan pengalaman hidup baru untuk memperluas wawasan. Ini adalah alasan perantau temporer atau sementara. Dua alasan lainnya, ingin hidup mandiri, ingin mengatasi tantangan hidup mereka. Alasan umum terakhir adalah mencari keamanan dan stabilitas hidup ketika kampung halaman dirasa tidak ada jaminan keamanan. Alasan terakhir ini menjadi penyebab perantau asal pulau Sulawesi Selatan di abad ke-17 hingga 19 ketika Sulawesi Selatan termasuk wilayah yang dikuasai dan dijajah oleh Belanda. Konon, ketika itu, ada puluhan ribu orang Sulawesi Selatan memilih merantau tiap tahun. Mereka merasa tidak nyaman dengan kehadiran kolonial Belanda dan antek-anteknya.

Gelombang Kedua

Berbeda halnya dengan perantau berikutnya atau gelombang kedua, periode ini setelah Indonesia merdeka. Mereka ini terdorong merantau karena sudah memiliki keluarga atau kerabat yang sudah duluan merantau dan sukses ke wilayah lain, termasuk di luar negeri. Sering kita mendengar alasan calon perantau, berangkat merantau karena mendengar atau diajak oleh saudaranya yang sudah duluan menetap dan mengalami kemajuan di tanah rantaunya. Mereka ini mudah mendapatkan dukungan sosial dan emosional ketika baru tiba di tempat merantaunya.

Hidup ini dinamis, selalu ada tantangan bagi orang-orang yang ingin berhasil di hari esok, termasuk perantau. Ada kisah lain bagi perantau, yakni ketika mereka menghadapi berbagai tantangan, mulai proses adaptasi dengan lingkungan barunya, termasuk memahami budaya, norma, dan kebiasaan setempat. Rasa rindu pada keluarga di kampung juga menjadi tantangan umum bagi perantau. Perubahan kebiasaan dan pola hidup bisa membuat mereka merasa kesepian. Faktor bahasa sering menjadi tantangan utama bagi perantau di luar negeri dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Tantangan lainnya adalah memiliki budaya kemandirian wajib dilewati oleh seorang perantau, misalnya mengurus diri sendiri, mulai soal belanja kebutuhan, mencuci-gosok pakaian sendiri, hingga mengurus dokumen pribadi. Tiga tantangan lainnya adalah menghadapi kejutan (culture shock), perbedaan pola hidup, makan, dan interaksi sosial); mengelola keuangan; dan pencarian identitas, agama dan budaya mereka di tempat barunya menjadi tantangan tersendiri, dan tidak semua perantau dapat melewati jenis-jenis tantangan ini. Dari sini, seorang perantau dituntut ketangguhan dan fleksibilitasnya, serta dukungan dari komunitas atau teman-teman barunya.

- Advertisement -

Tips dan Solusi

Dalam tulisan ini, beberapa tips dan solusi bagi calon perantau yang segera menyusul keluarga, sahabat, atau komunitasnya merantau, terutama di luar negeri. Pertama, teruslah membangun jaringan sosial dengan komunitas atau kelompok yang memiliki latar belakang serupa dengan Anda. Itu dapat memberikan dukungan emosional dan praktis, membantu Anda agar dapat terhubung dengan mereka.

Kedua, Anda sebaiknya mengambil kursus bahasa atau berlatih dengan penutur asli. Ini memudahkan Anda dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat di mana pun Anda merantau (sompe’). Ketiga, Anda harus bersiap beradaptasi dengan budaya baru. Memahami dan menghargai budaya setempat dapat membantu Anda menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Ini termasuk mempelajari kebiasaan, norma, dan tradisi setempat. Keempat, belajar bijak dalam mengelola keuangan Anda. Ini mengantisipasi kecukupan biaya hidup dan memiliki tabungan untuk dibawa atau dikirimkan keluarga Anda di kampung halaman. Kelima, Anda harus selalu menjaga kesehatan mental. Mengatasi homesick (rindu kampung halaman) dan stres dengan menjaga kesehatan mental melalui aktivitas seperti olahraga, meditasi, atau berkonsultasi dengan konselor atau perantau senior yang sudah puluhan tahun di tempat rantau Anda. Anda juga perlu mulai mencari dukungan jasa profesional, seperti konseling, pelatihan kerja, atau bantuan hukum. Itu semuanya dapat membantu Anda mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dan tetap terhubung dengan keluarga dan teman di kampung halaman untuk mengurangi rasa rindu dan memberikan dukungan emosional.

Tujuan Merantau

Jika Anda ingin mengetahui ke negara mana kebanyakan orang Indonesia, terutama orang Sulawesi Selatan, merantau, jawabannya adalah, mayoritas ke Malaysia, disusul Saudi Arabia, Singapura, Hongkong, Cina, Amerika, dll. Malaysia dipilih karena hanya membutuhkan 2 jam naik pesawat dan tersedia beberapa pilihan pekerjaaan di sana, seperti sektor perkebunan, konstruksi, dan jasa. Malaysia menjadi pilihan pertama karena kedekatan geografis dan kemiripan budaya. Johor dan Sabah adalah dua wilayah yang banyak dihuni oleh perantau asal Indonesia, terutama asal Sulawesi Selatan.

Arab Saudi adalah pilihan kedua karena mudah mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau menjadi sopir, atau belajar Islam. Beberapa orang Indonesia, awalnya ke Arab Saudi: Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji atau umroh, setelah itu, mereka tinggal beberapa bulan atau tahun, bahkan menetap di sana, setelah belajar atau menikah dengan orang Arab. Negara ketiga menjadi pilihan diaspora Indonesia adalah Singapura, terutama bagi mereka yang profesional di bidang jasa, teknologi, dan kesehatan, menyusul Hongkong dan Taiwan dipilih karena banyak perusahaan pengiriman tenaga kerja Indonesia, terutama di sektor manufaktur, pabrik, dan rumah tangga. Sisanya, memilih ke Australia, Amerika, dan Eropa. Alasannya, mereka mencari sistem pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik menuju peningkatan kualitas hidup dan ekonomi yang lebih baik di hari esok.

Pionir Perantau

Sebagai penyulut spirit sebelum merantau, telah dikenal beberapa perantau yang memiliki hubungan emosional Sulawesi Selatan. Mereka diketahui sebagai teladan perantau sukses atau berhasil. Kita sebut, misalnya Alm. Prof. Dr. B.J. Habibie, mantan Menteri era Orde Baru terlama, Wakil Presiden dua bulan, dan Presiden ketiga lebih setahun, dikenal sebagai perantau atau diaspora yang awalnya sekolah dan bekerja profesional di Jerman. Berikutnya, Bapak M. Jusuf Kalla (Pak JK), mantan Menteri dan Wakil Presiden Indonesia dua periode berbeda yang sukses di bisnis, terutama di sektor energi dan transportasi. Pak JK sukses merantau dan meniti karier politik dan bisnis di pulau Jawa, Jakarta dan sekitarnya.

Yang menarik adalah tiga tokoh berikut ini, dalam biografinya ditemukan memiliki hubungan kultural dan emosional dengan Sulawesi Selatan. Kendatipun mereka kini berkebangsaan Malaysia, yakni dua mantan Perdana Menteri Malaysia: Najib Razak dan Muhyiddin Yassin, serta Sultan Ibrahim, Raja Malaysia hari ini. Ketiganya adalah contoh keturunan Bugis-Makassar yang telah mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan di negara tetangga yang juga menjadi pilihan pertama perantau asal Indonesia.

Spirit Merantau

Ketika kami melacak penyebab atau spirit apa yang menyebabkan banyak perantau (passompe’) Sulawesi Selatan sukses di tanah rantaunya, ternyata, mereka memiliki: Pertama, prinsip pasompe’ (sompe’ berarti berlayar) atau merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Prinsip ini mendorong mereka untuk bekerja keras dan gigih di tanah rantau, yang pada gilirannya mengantar mereka meraih sukses. Penulis teringat kisah perantau versi M. Jusuf Kalla, “Perantau bujangan Bugis-Makassar itu, rajin dan suka bekerja keras karena ingin menikah, beli rumah, motor atau mobil, dan naik haji. Keunggulan lainnya perantau asal Sulawesi Selatan adalah ketika musim mudik atau pulang kampung tiba, menjelang lebaran Idul Fitri, mereka tidak pulang, tetap berlebaran di tanah rantaunya. Sepekan kemudian, lalu mereka pulang dan ketika sukses, mereka ikut membangun tanah rantaunya, di samping membantu keluarganya di kampung halamannya.”

Hari ini, perantau asal Sulawesi Selatan termasuk beruntung karena dimanapun mereka merantau, mereka dapat menemukan paguyuban mereka, Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Badan Pengurus Pusat KKSS sejak tahun 1994 hingga hari ini selalu menggelar acara Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) di kota Makassar, mengundang pulang para perantau asal Sulawesi Selatan seminggu setelah Idul Fitri.

Kedua, mereka memiliki budaya kerja keras. Di tanah rantau, mereka menerapkan prinsip ini untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan. Hal ini tidak hanya membantu mereka bertahan hidup tetapi juga berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan sosial di perantauannya. Selain itu, mereka juga dapat beradaptasi dan berinovasi dalam berbagai bidang, seperti perdagangan dan pertanian.

Di samping itu, perantau Sulawesi Selatan juga aktif berjejaring sosial dan komunitas. Mereka sering membentuk komunitas yang solid dan saling mendukung. Jaringan sosial ini memberikan dukungan emosional dan praktis, serta membantu mereka dalam mencapai kesuksesan bersama. Terakhir, karena pengaruh budaya. Kemana pun orang Bugis, Makassar, dan Luwu merantau, mereka membawa serta budaya dan tradisinya. Tradisi ini dapat memperkaya budaya lokal sekaligus membantu mereka mempertahankan identitas dan nilai-nilai mereka di tanah rantau.

Budaya Asli

Secara spesifik, perantau asal Sulawesi Selatan sering membawa beberapa komitmen ideal yang membantu mereka sukses di perantauannya, misalnya: (i) Siri’ na Pacce (Harga Diri dan Empati). Siri’ adalah konsep harga diri yang sangat penting bagi orang Bugis. Mereka berkomitmen untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga. Pacce, di sisi lain, adalah empati dan solidaritas terhadap sesama, yang mendorong mereka untuk saling membantu dan mendukung; (ii) kerja keras dan ketekunan adalah komitmen mencapai tujuan, baik dalam bidang perdagangan, pertanian, maupun profesi lainnya. Di samping itu, karena mereka dapat beradaptasi dan berinovasi karena memiliki pendidikan dan pengetahuan, komitmen berkomunitas, dan solidaritas. Termasuk menjaga kejujuran dan integritas. Komitmen untuk menjalani kehidupan dengan jujur dan berintegritas dapat membantu setiap perantau)untuk membangun reputasi baik dimanapun mereka merantau.

Tulisan ini dirujuk ke berbagai sumber online, “perantau Indonesia umumnya, dan orang Bugis-Makassar, khususnya” oleh M. Saleh Mude, Mahasiswa Ph.D di Hartford International University, Connecticut, Amerika, dan Dr. Mardi Adi Armin, Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Makassar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here