Kolom Abdi Satria Aspar
Bangunan dan tribune Stadion Mattoangin yang diresmikan pada 6 Juli 1957 kini sudah rata dengan tanah. Tak ada lagi yang tersisa. Tapi, kenangan pahit dan manis tetap tersimpan di hati pecinta sepak bola Makassar.
Stadion ini jadi tempat para pemain hebat Kota Daeng beraksi dan unjuk kemampuan di depan suporter yang haus hiburan dan kemenangan.
Di era Perserikatan dan Galatama, Stadion Mattoangin lebih sering jadi ajang pesta kemenangan mulai era 1950 sampai awal 1990-an. Dua tim asal Kota Daeng, PSM Makassar dan Makassar jadi momok menakutkan buat tim tamu.
Mereka tak hanya membuat lawan gentar dengan permainan lugas dan tanpa kompromi. Tapi juga terpesona dengan skill tinggi anak Makassar yang kemudian menjadi pilar tim nasional Indonesia.
Cerita tentang kehebatan Andi Ramang dan kawan-kawan dengan empat gelar Perserikatan (1956–1957, 1957–1959, 1964–1965 dan 1965–1966) melekat kental di benak saya. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, saya hanya bisa berimajinasi membayangkan aksi para legenda sepak bola Makassar karena minimnya dokumentasi.
Apalagi cerita tentang kehebatan mereka kerap dibumbui dengan hal-hal berbau mistis. Mata dan hati saya mulai terbuka setelah menyaksikan langsung aksi pesepak bola Makassar saat duduk di bangku SMP pada awal 1980-an. Kala itu, Makassar Utama yang bermaterikan bintang PSM yang meraih trofi juara Jusuf Cup 1980 berkompetisi di Liga Sepak Bola Utama (Galatama).
Melihat langsung Syamsuddin Umar, Ronny Pattisarani, Karman Kamaluddin, Pieter Fernandez, Hamid Ahmad, Hafied Ali, Jhoni Kamban, Albert Kaperek, Rohandi Yusuf, Abdi Tunggal, Rijal Mappa dan Musdan Latandang saat uji lapangan di Stadion Mattoangin jadi tontonan yang paling dinantikan saya.
Bisa menyaksikan aksi dan wajah mereka dari dekat menjadi kebanggaan tersendiri. Rumah saya yang tak jauh dari Stadion Mattoangin jadi ‘keuntungan’ tersendiri.
Era Perserikatan
PSM Makassar pada saat era perserikatan 1960, di mana Andi Ramang dan Suwardi Arlan menjadi pemain andalan.
Saya sangat akrab dengan sudut dan ruang stadion. Alhasil, hampir di setiap partai yang dimainkan Makassar Utama, saya selalu menonton secara gratis. Caranya, tiga jam sebelum pertandingan yang berlangsung pada malam hari, saya sudah bersembunyi di atap stadion atau toilet bersama pedagang asongan.
Setelah aparat keamanan melakukan apel, saya dan pedagang asongan ‘menyerbu’ VIP Utama. Menikmati aksi trengginas Syamsuddin dan kawan-kawan. Kala itu, pamor Perserikatan memang sempat ditenggelamkan oleh Galatama yang disebut-sebut sebagai ‘universitas’ kompetisi sepak bola Indonesia.
Prestasi tertinggi Makassar Utama di kompetisi Galatama hanya peringkat tiga pada musim 1984 dan juara Piala Liga pada 1986. Di pengujung 1980, pemilik Makassar Utama, Jusuf Kalla membubarkan klubnya.
Meski kecewa, kecintaan saya sebagai suporter tak lekang sejalan dengan kembalinya pamor Perserikatan yang otomatis kembai mencuatkan PSM.
Keinginan untuk selalu dekat dengan pemain kala bertanding di Stadion Mattoangin jadi motivasi tersendiri buat saya untuk menggeluti dunia jurnalistik. Kebetulan saya menempuh pendidikan komunikasi di Universitas Hasanuddin. Status yang menjadi pembuka jalan buat saya untuk bergabung degan Harian Fajar, sebuah koran lokal di Makassar pada akhir 1991.
Kebetulan saat itu, PSM sedang berjuang di penyisihan wilayah Timur Perserikatan musim 1991-1992. saya pun ditugaskan oleh kantor untuk meliput kiprah PSM sampai meraih trofi juara setelah mengalahkan PSMS Medan dengan skor 2-1 pada laga puncak di Stadion Gelora Bung Karno, 27 Februari 1992.
Saat itu, saya ‘melupakan’ status sebagai jurnalis dengan ikut mengelilingi lapangan menemami para pemain menyapa suporter Juku Eja yang bersuka cita di tribune penonton.
Sayangnya, pada musim berikutnya, PSM gagal mengulang sukses. Saya yang saat itu sudah hijrah ke Jakarta, hanya bisa tersenyum kecut melihat pemain Persib Bandung berpesta kemenangan usai mengalahkan PSM dengan skor 2-0 di laga final.
Era Liga Indonenesia
Jelang musim 1994-1995, PSSI memutuskan menyatukan kompetisi Perserikatan dan Galatama menjadi Liga Indonesia. PSM yang bermaterikan pemain lokal tak bisa berbuat banyak.
PSM hanya bertengger di papan tengah Wilayah Timur. Juku Eja tertolong oleh ‘keangkeran’ Stadion Mattoangin, tempat mereka meraup poin untuk terhindar dari dari ancaman degradasi karena kerap kesulitan mendapatkan angka bila menjalani laga tandang.
Julukan stadion ‘neraka’ kian melekat pada Mattoangin ketika manajemen PSM dikendalikan Nurdin Halid pada musim 1995-1996.
Stadion Mattoangin jadi arena PSM menyapu poin sepanjang penyisihan wilayah dan akhirnya menembus putaran final di Gelora Bung Karno. Sayang langkah mulus Juku Eja dihentikan Mastrans Bandung Raya pada laga final yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno.
Tuah dan keangkeran Stadion Mattoangin akhirnya ‘menemani’ langkah PSM meraih trofi juara pada musim 1999-2000. Apalagi pada musim itu, PSM bermaterikan pemain bintang lokal dan asing. Di antaranya Bima Sakti, Kurniawan Dwi Yulianto, Aji Santoso, Hendro Kartiko, Miro Baldo Bento plus bintang lokal seperti Yusrifar Djafar, Ansar Abdullah, Ronny Ririn, Yuniarto Budi dan Syamsuddin Batola.
Juku Eja juga diperkuat Carlos de Mello, gelandang asing terbaik yang pernah beredar di Liga Indonesia.PSM meraih juara setelah menekuk PKT Bontang 3-2 pada laga final di Stadion Gelora Bung Karo.
“Pesta kemenangan di Senayan hanya pelengkap. Karena sepanjang musim kami sudah berpesta setiap PSM menjamu lawan di Stadion Mattoangin,” kenang Karaeng Iskandar, pentolan suporter PSM yang bersama penulis kembali merayakan kesuksesan meraih juara di Stadion Gelora Bung Karno.
Piala Indonesia
Meski dua kali menyaksikan langsung PSM meraih trofi juara di Stadion Gelora Bung Karno, sejatinya saya ingin merasakan pesta juara di Stadion Mattoangin.
Tapi, impian itu selalu terganjal. Apalagi Liga Indonesia menerapkan aturan putaran final berlangsung di Jakarta. Sejatinya, saya nyaris menggapai impian itu pada Liga Indonesia musim 2004 yang memakai sistem kompetisi penuh. Kala itu, saya ditugaskan oleh kantor meliput laga akhir PSM di Stadion Mattoangin saat menjamu PSMS Medan.
Saat itu, tiga eks Perserikatan, Persebaya Surabaya, PSM Makassar dan Persija Jakarta sama-sama berpeluang meraih trofi juara. Persija memimpin klasemen dengan poin 60. Sementara PSM dan Persebaya menguntit di belakang dengan poin 58. Persebaya yang memiliki selisih gol lebih baik diuntungkan dengan status tuan rumah dengan menjamu Persija.
Sesuai prediksi, Persebaya akhirnya keluar sebagai juara setelah mengalahkan Persija 2-1 lewat gol Danilo Fernando dan Luciano da Silva. Sementara, balasan Persija berkat gol bunuh diri Mat Halil.
Di Makassar, PSM yang berada dalam situasi sulit, hanya mampu 2-1 atas PSMS berkat gol Ponaryo Astaman dan Ronald Fagundezm sedangkan gol tunggal PSMS dicetak striker asal Cile, Christian Gonzales. saya akhirnya gagal menyaksikan pesta juara karena PSM hanya bertengger diperingkat kedua meski memiliki poin sama dengan Persebaya.
Kesempatan berikutnya terjadi pada era Liga 1. Pada musim 2018, PSM bersaing ketat dengan Persija. Sampai pekan ke-33, Persija hanya unggul satu poin dari PSM. Pada laga akhir, PSM menjamu PSMS Medan di Stadion Mattoangin. Sedang Persija ditantang Mitra Kukar di Stadion Gelora Bung Karno.
Sayang, kemenangan telak 5-1 PSM atas PSM jadi percuma karena pada saat bersamaan Persija menang 2-1 atas Mitra. Impian saya menyaksikan PSM meraih trofi juara akhirnya terwujud di Piala Indonesia 2019. Meski levelnya dibawah kompetisi Liga 1, sukses itu tetap menjadi kebanggaan tersendiri buat saya bisa menyaksikan langsung PSM meraih trofi di Stadion Mattoangin.
PSM juara setelah unggul agregat 2-1 dalam dua laga. Kini, sejalan dengan langkah Pemprov Sulawesi Selatan melakukan renovasi total Stadion Mattoangin, otomatis PSM harus berstatus sebagai tim musafir minimal dalam dua musim sesuai pembangunan stadion yang diprediksi selesai pada 2022.
Itu artinya, saya harus menyimpan keinginan kembali menyaksikan PSM meraih sukses trofi juara di Stadion Mattoangin.
Sumber: bola.com