Depresi Karena Pandemi? Begini Cara Cerdas Mengelola Stres dan Emosi

0
1214
- Advertisement -

“Stres perlu diarahkan pada hal-hal yang positif sehingga kita bisa tetap produktif. Jika salah kelola, masyarakat bisa public distress, bahkan akan memunculkan gerakan sosial

PINISI.co.id- Pandemi Covid-19 yang telah memerangkap orang berbulan-bulan membikin stres, depresi bahkan di Argentina ada belasan yang membunuh pasangan hidupnya. 

Agar terhindar dari stres dan emosi, kita mesti pintar-pintar memilah media sosial atau berita-berita yang mampu memengaruhi diri kita sehingga terhindar dari stres dan emosi. Selain mengontrol emosi, di mana kita akan menentukan sikap apakah kita akan berdamai keadaan, atau melawan keadaan.

Ihwal mengelola stres menghadapi pandemi, tersimpul dalam diskusi virtual bertajuk “Cerdas Mengelola Stres dan Emosi”. Pembicara sosiolog Unhas Dr. Sawedi Muhammad, S.Sos., M.Sc., psikolog Dinuriza Lauzia, M.Psi dan dr. Junuda RAF, Sp. KJ, psikiater RSUD Bahtermas Kendari dan Ketua MKEK IDI Sulawesi Tenggara.

Forum “sedekah” ilmu ini dihelat pada Jumat (19/6/20), dipandu Hasanuddin, S.IP., M.AP, terselenggara atas kolaborasi Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Koalisi Literasi Gizi (Koalizi), Literasi Sehat Indonesia (Lisan), Departemen Kesehatan Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, dan www.sadargizi.com.

- Advertisement -

Penyelenggara diskusi dr. Zaenal Abidin menuturkan bahwa pada forum sebelumnya, (16/6/20) para dokter relawan mengakui seringkali dihampiri rasa was-was saat bertugas di zona merah.

Menurut Zaenal, karakter Covid-19 sangat agresif, dan mempunyai tingkat penularan antarmanusia yang tinggi. Pola penyebarannya luas dan cepat serta dapat menempel dan bertahan hidup di permukaan benda. Ia memiliki risiko komplikasi dan fatality rate yang tinggi.

“Pandemi Covid-19 telah membawa dampak yang sangat luas, yaitu menguji kehebatan suatu tatanan; mengobrak-abrik kekuatan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan  Sistem Kesehatan Daerah (SKD), menguji apakah sistem kesehatan nasional dan sistem kesehatan daerah merupakan suatu sistem yang hidup dan terkoneksi satu dengan lainnya atau tidak, membuat pejabat publik di bidang kesehatan kelabakan dan keseleo lidah, beban kerja nakes overload dan fasyankes overcapacity,” jelas Ketua Departemen Kesehatan KKSS ini.

Zaenal mengemukakan, Covid-19 mendisrupsi tatanan ekonomi dunia sehingga berubah, seperti perlambatan kerja manufaktur, inflasi tinggi, investasi, transportasi dan pariwisata lesu. Selanjutnya bidang ketenagakerjaan di mana pekerja dirumahkan atau bahkan PHK, serta pada bidang pendidikan, metode pembelajaran berubah dari onsite menjadi online.

“Dampak dari pelemahan tatanan hidup di atas ternyata tidak berhenti di situ. Covid-19 juga mengakibatkan terujinya ketahanan hidup individu, keluarga, dan masyarakat.  Karena itu, setiap kejadian luar biasa (KLB), pandemi dan epidemi akan selalu disertai timbulnya kepanikan di tengah masyakat,” jelas Zaenal.

Panik, kata Zaenal, membuat masyarakat berbondong-bondong mendatangi fasilitas kesehatan. Panik dapat mengakibatkan daya tahan tubuh menurun sehingga rentan terinfeksi Covid-19. Panik menjadikan masyarakat resah, cemas, stres, dan emosi, akibat tidak adanya informasi yang dapat dipercaya, dari sumber yang kompeten dan kredibel.

“Panik yang dibiarkan berlarut-larut akan menyebabkan masyarakat mengembangkan asumsi dan teorinya sendiri. Karena itu, muncullah asumsi ‘teori konspirasi’, menolak diperiksa, mengambil paksa pasien positif Covid-19. Karena itu, persepsi masyarakat terhadap pandemi Covid-19 ini harus dikelola dengan baik untuk tujuan positif. Agar timbul pemahaman yang benar dan agar timbul semangat kebersamaan, kesetiakawanan sosial kesehatan,” papar Zaenal.

Zaenal mengingatkan, kesenjangan pesepsi dapat berakibat bencana berkelanjutan. Oleh sebab itu, setiap pandemi memerlukan adanya manajemen persepsi.

Hal yang sama, berkaitan dengan pemberitaan. Pemberitaan yang tepat akan menimbukan kesadaran kolektif di tengah masyarakat, bahwa pandemi sudah dekat atau pendemi itu sangat berbahaya, sehingga perlu perlawanan secara kolektif pula. Pemberitaan memiliki peran sentral dalam menghadapi setiap kejadian pandemi, epidemi, atau bencana lain di hadapi oleh masyarakat. Sebab, pemberitaan yang simpang siur akan membingungkan masyarakat. Sementara kebingungan akan menimbukan kepanikan dan keresahan baru.

“Sekali lagi, manajemen pesepsi dan manajemen pemberitaan yang konsisten serta kredibel merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kondisi pandemi,” kunci Zaenal.

Mengontrol Emosi

Dalam paparannya, Dinuriza Lauzi menyikapi emosi sebagai pilihan dan kita bertanggung jawab terhadap keputusan yang kita ambil. Kejadian dan respon emosi bergantung pada apa yang kita butuhkan, apa skala prioritas kita, apa yang kita pikirkan dan berkaitan dengan kepribadian.

“Pada situasi dan kondisi Covid-19, kebijakan pemerintah tergantung pada kepribadian yang dimilikinya. Ada yang memberikan respon emosi bahkan memicu kegaduhan dan ada yang menanggapi persoalan dengan tetap tenang,” ujar Dinuriza.

Untuk masyarakat, Dinuriza memberi tips agar terhindar dari stres dan emosi, yaitu memilah media sosial atau berita-berita yang mampu mempengaruhi diri kita sehingga menghindarkan kita dari stress dan emosi. Selanjutnya mengontrol emosi, di mana kita akan menentukan sikap apakah kita akan berdamai keadaan, atau melawan keadaan.

“Akibat dari tidak konsistennya antara kebijakan pemerintah dan fakta yang terjadi di lapangan mengakibatkan timbulnya stres yang memicu munculnya tagar Indonesia Terserah sebagai respon terhadap kondisi yang terjadi. Tidak ada perhargaan dan apresiasi terhadap pengabdian dan upaya yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan sehingga memicu emosi dari para tenaga kesehatan,” katanya.

Jika situasi di luar kontrol, yang perlu dilakukan menurut Dinuriza, adalah mengidentifikasi perasaan yang kita alami; menyehatkan jiwa kita dengan kembali pada dimensi agama, bahwa kita pasrakan semuanya pada Tuhan; melakukan self terapi atau terapi dengan mengikhlasan segala sesuatunya.

Akan halnya Junuda, menilai stres dan distres biasanya tumpang tindih dalam memaknai. Namun yang perlu kita hindari adalahdistres, di mana krisis yang mampu menyebabkan gangguan jiwa. Istilah stres dalam kehidupan sehari-hari cenderung disamakan, baik negatif atau positif.

“Pengelolaan stres tergantung dari nilai-nilai luhur dalam diri kita, sehingga menanggapi pandemi Covid-19, stres perlu diarahkan pada hal-hal yang positif sehingga kita bisa tetap produktif.

Junuda menyontohkan pengalaman terakhir ada pasiennya bertambah stres sehingga mengalami gangguan jiwa berat. Terjadi waham korona, bahkan halusinasi korona. “Tapi ada juga yang positif, tetangga saya seorang penjahit karena stres di tengah Covid-19 sehingga ia mampu membuat APD, masker. Karena itu pendapatannya justru meningkat. Nah, itu respon yang kita harapkan, yang positif. Hal ini yang perlu kita lakukan,” ungkap Junuda.

Sementara itu Sawedi Muhammad membahas pandemi Covid-19, dari aspek risiko. Manusia, kata Sawedi, selalu mengalami tingkat risiko seperti bencana alam, polusi, penyakit yang baru ditemukan, kejahatan, teroris, IT, Ardtificial Inteligen dan banyak lagi.

“Risiko tidak hanya memengaruhi kelas atau tempat sosial tertentu. Risiko pandemi Covid-19 adalah resiko antibias dan dapat memengaruhi semua orang, apa pun kelasnya. Tidak ada yang bebas dari risiko ini, apapun agama, suku dan jenis kelaminnya. Pandemi juga tidak mengenal wilayah, meskipun dimulai dari China karena besarnya arus traveling manusia. Jepang, Korea Selatan, hingga ke Asia Tenggara dalam hitungan jam,” urainya.

Sawedi menyebut tiga karakteristik risiko pandemi Covid-19, yaitu delokalisasi dimana Covid-19 tidak mengenal lokasi.  Kedua adalah incaltulate risk di mana biaya pandemi Covid-19 tidak dapat dihitung biayanya. Dan ketiga, non compensability di mana tidak ada yang mampu memberi kompensasi.

Kaitannya dengan ketakuatan, kecemasan, stres, dan emosi risiko pandemi ini adalah risiko umat manusia buka hanya agama, ras dan suku tertentu saja, tapi ini menjadi bencana global.

“Untuk itu, kita harus merumuskan langkah-langkah cerdas dalam hal memanajemen risiko sehingga kita tidak larut dalam kesedihan, larut dalam kecemasan yang tak ada ujungnya, larut dalam ketakutan yang berlebihan,” sarannya.

Langkah itu adalah: kita harus memiliki pemahaman yang utuh dan komprehensif; mengenali kondisi kita dan orang-orang disekitar kita; rekonsiliasi ketakutan dengan penerimaan terhadap situasi yang tidak pasti; optimis bahwa pandemi ini pasti akan selesai; hindari informasi yang tidak jelas; dan berkontribusi dalam hal apa pun yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko yang mampu menghindarkan kita dari stres, emosi, cemas dan ketakutan.

Selain itu perlu juga memperhatikan enam tahapan ketika seseorang dalam mengalami keadaan krisis, pertama penyangkalan atau melawan terhadap realitas, kedua marah terhadap situasi; ketiga tawar menawar; keempat depresi yang jika tidak diobati maka akan menyebabkan tindakan fatalistic. Kelima menerima situasi, dan keenam adalah tahapan yang paling ideal ada meaning, di mana kita memaknai bahwa situasi yang terjadi adalah evaluasi terhadap diri kita sendiri.

Adapun tanggapan terhadap pemerintah terkait Covid-19, Sawedi menyebut bahwa pemerintah seharusnya menjadi institusi yang paling kompeten dan paling paham terhadap situasi pandemi Covid-19.

“Harus memberikan informasi yang transparan dan berdasarkan paradigma sains dan pemerintah harus mendisiplinkan dirinya terhadap kebijakan yang dibuatnya. Sebab jika masyarakat tidak puas dan tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah, maka masyarakat akan mengalami public distress dan bahkan akan memunculkan gerakan sosial atau social movement. [Lip]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here