Kolom Fiam Mustamin
TONGKRONGANNYA tinggi semampai cocok dengan berkenderaan sepeda motor BMW di komunitas PARFI. Ketika itu di awal tahun 1973 menjadi salah satu peserta lokakarya Seni Peran dari Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang diselenggarakan oleh Departemen Penerangan (Deppen) dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Saya peserta satu-satunya dari daerah utusan PARFI Cabang Makassar. Di TIM bertemu peserta artis beken: Nani Wijaya, Sari Narulita, Rosalina Oscar, Norma Muhsin, Sultan Moh Saladim, Darussalam, Rustam Effendy, Robby Sugara, El Manik, A.Rafiq dan Iwan Wahab.
Sultan Saladin (SS) berbaik hati setiap akan pulang sayapun selalu diajaknya berboncengan dengan motor besarnya itu.
Berkeliling kota ke kawasan Menteng, Thamrin, Sudirman, Gelora Senayan, Kebayoran Baru lalu ke Tebet, di rumahnya. Saya tentu senang melihat gemerlapnya kota metropolitan waktu malam, kita di atas motor itu bagai tokoh Ali Topan Anak Gaul.
Dalam hati mengatakan SS ini seperti tau kalau sesungguhnya saya ini anak kampung yang baru masuk kota. Di rumahnya sayapun diberi kamar khusus dan diperkenalkan dengan saudara sekandungnya yang bermukim berdekatan satu kawasan wilayah di Tebet.
Saya bersyukur dapat mengenal kedua orangtuanya: Datuk Baginda Ali Basjah dan ibunda Siti Sawijah berasal dari suku rumpun Pariaman Minangkabau.
Sejak itu saya memahami mengapa SS menyematkan nama gelar Sultan, karena memang iya ada garis trah/waris dari ayahnya.
Pembekalan Seni Peran
PEMERANAN tidak semata seni peran atau berakting/berlakon, tapi ilmu berekspresi itu perlu ditunjang oleh ilmu lain, di antaranya penelaan naskah/analisa script, penyutradaraan, olah tubuh, penataan artistik/make up, ilustrasi musik, fotografi dan lain-lain.
Di atara dosen pengajar dari LPKJ ada Tatiek Maliati, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, Fred Wetik dan Sentot.
Lokakarya berlangsung enam bulan yang kemudian sebagian besar pesertanya itu terlibat dalam produksi film Cinta Pertama yang disutradarai oleh Teguh Karya yang mengorbitkan Christina Hakim sebagai peraih Citra Pemeran Utama Perempuan dan piala Citra beberapa kategori yang lain di Festival Film Indonesia (FFI) 1973 di Jakarta.
Beberapa bulan di jakarta sayapun mengikuti mengikuti test Program Colombo Plan undangan dari Deppen dan lulus dua orang untuk penyutradaraan dan seni peran. Sayang saya tidak jadi diberangkatkan, teman saya Sukarjasman dari Karyawan Film yang ke Perancis.
Dua hal yang saya persembahkan kepada PARFI Makassar dengan berita beasiswa itu dan sertifikat kelulusan lokakarya seni pera itu.
Kebiasaan bermotor ke kantor produser atau ke tempat lokasi yang sedang shooting sering membawa keberuntungan bila ada peran peran figuran on the spot saya yang disodorkan.
Bukan bermain itu yang menjadi sasaran utamanya tapi bagaimana dapat kesempatan mengenal sekian banyak orang film (kru dan artis) itu.
Dalam masa-masa itu saya sering ke kantor PARFI di Kramat 5 untuk mengenal kebih dekat dengan ibu Sofia WD, Ketum PB Parfi Sukarno dan Ismet M Noer. Dicky Zulkarnaen, Rahayu Effendy, Mila Karmila, Deliana Surawijaya, Muni Cader, Rahmat Kartolo, Rahmat Hidayat, Jefry Sani, Mansursyah dan WD Mochtar. Kemudian mereka-mereka itu menyayangi dan suka memberi uang jajan kepada saya.
Selama di PARFI bersama SS sudah mengalami empat kali Kongres dari pergantian Sofia WD ke Soedewo ke Sukarno M Noer kemudian ke Ratno Timer selama dua periode kepengurusan berturut.
Praktik Demokratis
Masa pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto di tahun 1980-an sistem demokratis dalam pergantian pimpinan sebuah Ormas belum banyak dipraktikkan.
Sistem otoriterisme kekuasaan lebih banyak menentukan keterpilihan sebuah jabatan pimpinan yang perlu mendapat restu penguasa.
Pada situasi seperti ini, Kongres PARFI digelar dengan Ketua OC/Panpelnya SS yang menampilkan dua kandidat Ketum yang kompetetif yaitu mas Ratno Timoer pemeran Si Buta Dari Goa Hantu dan kang Dicky Zulkarnaen pemeran Si Pitung dari Betawi yang begitu tersohor ketika itu sampai ke Malaysia, Brunei dan Singapura.
Kedua kandidat ini dipersiapkan dan dipanggungkan bersama untuk dipromosi dan mendapatkan dukungan publitas sebagai kandidat kader terbaik PARFI.
Kongres dihelat di Wisma Atlet Senayan di hari kedua sampai subuh karena tidak dicapai kesepakatan team formatur memilh salah satu jadi Ketua Umum. Lalu kongres dilanjutkan pagi hari itu juga dengan agenda pemilihan langsung Ketum dari dua kandidat pilihan. Meskipun Dicky tidak hadir, pemungutan suara tetap dilakukan tanpa menggugurkan Dicky Zulkanaen.
Kemudian kongres mengesahkan Ratno Timoer sebagai Ketua Umum dan Wahyu Sihombing sebagai Ketua Dewan Pertimbangan.
Itulah sebuah nilai demokrasi yang telah diperjuagkan dan dihasilkan oleh Artis Film Indonesia.
Di era kepengurusan Ratno Timoer, SS salah satu ketua bidang di PB PARFI seringkali ke daerah untuk memimpin bakti sosial sembari melakukan show menghibur untuk mendekatkan artis dengan masyarakat.
Daerah yang pernah dikunjungi antara lain ke pabrik gula gunung madu Lampung, wisata pegunungan Curup dan permukiman transmigrasi di Bengkulu Utara.
Penulis, mantan Kepala Humas PARFI