Kolom Imran Duse
Keadilan, tampaknya memang tak pernah rampung dirumuskan. Di sepanjang sejarah peradaban, keadilan –atau usaha menghasilkan keadilan– terus saja melahirkan enigma, yang selalu mendebarkan, penuh misteri, seakan tak punya ujung.
Mungkin karena keadilan sejati hanya tampak di Padang Masyhar, kelak. Mungkin juga karena dunia kita tak sebatas “the octagon”: arena tarung bebas UFC (Ultimate Fighting Championship), yang punya delapan sisi dengan diameter sekitar 9 m.
Dalam ajang UFC Contender Series 42 yang berlangsung di Las Vegas, keadilan tiba di ronde ketiga. Malam itu, Javit Basharat (petarung Afganistan) berhasil mematahkan arogansi Oron Kahlon (petarung Israel) lewat submission. Sebelum laga, Kahlon dikabarkan memaki Basharat sebagai teroris.
Bos UFC Dana White menilai Kahlon telah mendapatkan balasan. “Masalah ini selesai malam ini. Itulah keindahan olahraga ini, petarung mengatakan banyak hal jahat, dan keadilan pada akhirnya ditegakkan,” ujar White.
Tapi dunia kita, sekali lagi, bukanlah ring octagon yang bisa menanti keadilan dari ronde ke ronde. Dalam dunia yang kian sumpek ini, perjuangan menggapai keadilan tak jarang menghadirkan manusia dan peristiwa dalam situasi yang kompleks, tidak sederhana, atau lurus seperti kehendak KUHAP. Di sana, keadilan dan ketidakadilan bahkan bisa berbaur dan saling menyapa.
Aroma itu kita rasakan, misalnya, dalam kasus “kopi sianida” yang hari-hari ini kembali mencuat setelah Netflix merilis sebuah film dokumenter berjudul “Ice Cold”. Film ini diperbincangkan luas dan memantik keraguan publik hingga kembali menyoal apa yang sudah dianggap “finish” di tahun 2016 lalu.
Sikap Ksatria
Pekan ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyita perhatian publik setelah menggeledah rumah dinas (dan pribadi) serta ruang kerja Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Tuan rumah saat itu berdinas ke Roma guna menerima penghargaan atas capaian Indonesia menanggulangi hama Unggas dan hewan besar.
Sejumlah stasiun televisi dan kanal YouTube membahasnya. Ada yang menengarai sang Menteri tak kembali lagi, “lost contact”, atau sedang berobat. Tapi Boyamin Saiman, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) tidak percaya. SYL bukanlah Harun Masiku.
“Pak Menteri akan pulang kok. Saya tahu karakter beliau (sebagai) orang Bone (maksudnya, Bugis-Makassar). Tidak larilah. Dan pasti malah siap menghadapi ini semua,” ujar Boyamin, dalam program SindoPrime (SindoNews Tv, 4/10).
Dan benar saja. SYL, kita tahu, seorang birokrat tulen dengan karir mentereng. Barangkali tak banyak pejabat seperti dia. Menjadi pamong selama 43 tahun tanpa jeda. Ia memulai sebagai PNS di tahun 1980: pernah menjadi Lurah, Camat, Bupati (2 periode), Wakil Gubernur, Gubernur Sulawesi Selatan (2 periode), hingga terakhir sebagai Menteri Pertanian.
“Saya orang Bugis-Makassar. Rasanya (bagi kami) harga diri jauh lebih tinggi dari sekadar pangkat dan jabatan,” kata SYL, penuh gelora, ketika memberikan pernyataan ke media usai menyampaikan surat pengunduran diri melalui Mensesneg Pratikno.
Dalam kesempatan itu, SYL hanya minta untuk tidak dihakimi sebelum segala hal menjadi jelas. Ia juga menegaskan tidak akan lari dari masalah, sebagai wujud nilai moral yang ia warisi dari leluhurnya.
Minggu malam (8/10), SYL menghadap Presiden Jokowi menyampaikan secara langsung pengunduran dirinya sekaligus memberikan laporan pertanggungjawaban atas kinerja kementerian yang ia pimpin. Mengingat SYL adalah pembantu Presiden dan bekerja berdasar mandat yang diberikan.
Kita tentu mengapresiasi inisiatif SYL sebagai sikap ksatria dan bertanggungjawab. Kendati secara resmi KPK belum pernah merilis statusnya. Bahkan di saat KPK telah menerbitkan pencegahan ke luar negeri bagi SYL bersama istri, anak dan cucunya.
Saya kira, inilah yang menyebabkan mengapa sejumlah anak muda Sulawesi Selatan, di Makassar atau di Jakarta, bereaksi atas langkah-langkah KPK itu –sementara status hukum SYL tak kunjung diumumkan secara resmi.
Mereka, sebagaimana halnya kita, mendukung setiap usaha pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan proses yang adil. Sebagaimana sejak awal telah disampaikan Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Muchlis Patahna yang secara terbuka meminta agar SYL diperlakukan secara adil. Tak lebih dari itu.
Tsunami Hukum
Yang mengagetkan (walau banyak orang sudah tidak kaget) ialah di saat bersamaan Polda Metro Jaya juga sedang menyidik dugaan tindak pidana pemerasan yang diduga dilakukan pimpinan KPK terhadap SYL. Foto pertemuan Ketua KPK Firli Bahuri dan SYL di sebuah lapangan badminton kini ramai beredar di media sosial.
Jika itu benar, tentu bukan perkara “kaleng-kaleng”. Ini akan menjadi gelombang tsunami yang menampar dunia hukum di tanah air. KPK, kita tahu, adalah anak kandung yang lahir dari rahim reformasi 1998. Ia diberi mandat besar tersebab Kepolisian dan Kejaksaaan belum optimal memunahkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) –yang memang menjadi musuh utama reformasi.
Tapi kini, justeru kepolisianlah yang tengah menyidik dugaan pemerasan oleh Ketua KPK. Penggiat anti korupsi di tanah air pun bersuara keras meminta dilakukan proses hukum yang transparan dan tuntas. Mengingat kasus ini bukan lagi soal persona semata, melainkan telah menikam jantung kehidupan dunia hukum kita.
Ada sebuah kisah menarik (dan memilukan) dalam Mitologi Yunani. Ditulis oleh Sophocles 2.500 tahun lalu, drama berjudul Oedipus The King itu bercerita tentang Thebes yang diperintah Raja Laius dan Ratu Jocasta. Diramalkan sang raja akan mati dibunuh anaknya yang kemudian menikahi sang ratu –yang tak lain ibu kandungnya.
Maka saat Jocasta melahirkan seorang putra, Raja Laius berketetapan menangkis nubuatan itu. Ia mengasingkan sang anak, mengikat kaki dan pergelangannya, di sebuah tempat yang jauh dan berharap mati di sana.
Tapi sejarah punya jalan berbeda. Sang anak, Oedipus, ditemukan seorang penggembala yang kemudian membesarkannya. Ramalan itu terjadi: Oedipus membunuh Raja Laius dan menikahi Ratu Jacosta. Ia pun dinobatkan sebagai Raja Thebes.
Bertahun-tahun kemudian, tibalah masa suram. Paceklik dan aneka penyakit melanda seantero negeri. Peramal kerajaan datang: bencana itu hanya dapat berakhir setelah pembunuh Raja Laius ditemukan.
Oedipus akhirnya membentuk dan menjadi ketua komite penyelidikan. Yang memukau (sekaligus tragis) dari cerita ini, ialah Oedipus membiarkan proses penyelidikan berlangsung bernas. Hasilnya bisa ditebak: Raja Laius mati di tangan Oedipus.
Mengetahui itu, Ratu Jacosta bergegas masuk istana dan mengakhiri hidupnya. Adapun Oedipus menghukum dirinya sendiri: menusuk-nusuk matanya hingga berlumuran darah dan berlari mengasingkan diri keluar kerajaan.
Oedipus: entah di mana kini ia berada.
Penulis, Dosen FUAD UINSI Samarinda dan Mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI BPP KKSS, Jakarta