Kolom Adi Wijaya
Sekitar sepuluh tahun lalu, kali pertama berjumpa dengan Bachtiar Adnan Kusama. Inisial terkenalnya adalah “BAK”. Kepadanya saya lebih senang memanggil “Kanda”. Panggilan hormat sekaligus akrab.
Awal jumpa, di sebuah forum yang membahas tentang literasi. Seminar Kepenulisan, kalau tidak salah. Kalau caranya bertutur bisa disimpulkan, Kanda Bachtiar bukan orang baru di dunia kepenulisan. Sudah malang melintang di belantara literasi. Dan decak kagum dalam hati bergemurh lagi, saat sesi perkenalan Kanda Bachtiar mengaku sudah menerbitkan sekitar 500 judul buku. Wow, langsung kerdil nyali saat itu. Sepanggung dengan penulis ratusan judul buku, sementara saya waktu itu baru tiga judul.
Hati manusia itu seperti sekumpulan serdadu tempur. Tak perlu lama untuk saling mengenal. Tak perlu jeda waktu panjang untuk menyulam tali keakraban. Yang penting punya “kata kunci” yang sama, seketika keakraban akan ada.
Saya dan Kanda Bachtiar punya kata kunci yang sama, yaitu literasi. Punya hobi yang sama, yaitu menelusuri aksara (baca: membaca). Juga punya jalan mengabadikan karya yang serupa, yaitu memproduksi aksara (baca : menulis).
Sejak saat itu kami sering terlibat dalam kerja sama pembuatan buku. Beberapa tokoh nasional, dari pengusaha sampai akademisi, berhasil dibuat rekam jejaknya dalam buku biografi. Dari Kanda Bachtiar saya belajar tentang ketangguhan perjuangan. Beliau sering bercerita, bagaimana gigihnya mengejar narasumber. Harus berangkat sebelum subuh. Menelusuri jalan ratusan kilometer. Sampai di tempat yang dijanjikan, narasumber tak kunjung datang.
Kanda Bachtiar juga mengajarkan tentang keberanian. Berani untuk memilih jalan hidup sebagai penulis. Benar-benar penulis seutuhnya. Saat semua pemasukan keuangan, jalur utamanya adalah menulis. Berani menantang kerasnya kehidupan ibu kota Jakarta, dengan mengandalkan kemampuan menulis. Penulis memang banyak, namun yang benar-benar menggantungkan hidupnya dari menulis, tidak jamak. Dan Kanda Bachtiar adalah salah satu dari yang sedikit itu.
Ide dan aksi Kanda Bachtiar dalam dunia literasi, terlihat sederhana sekali tapi sangat berarti. Pernah menggagas kampanye membaca 15 menit. Membudayakan minat literasi bukan soal mudah. Mengemasnya agar menjadi ringan di mata masyarakat, itu kuncinya.
Dan Kanda Bachtiar, berhasil menyederhanakan itu. Waktu 15 menit, tentu tidak lama. Siapapun pasti bisa.
Seingat saya dulu juga pernah ada gerakan membaca, khusus ibu-ibu rumah tangga. Satu komunitas yang jarang disasar orang. Padahal perannya sangat vital dalam pendidikan keluarga. Kalau ada anak yang tak suka membaca, mungkin karena di keluarganya tidak ada teladan. Coba seksamai ibunya, sukakah dia membaca? Rasa-rasanya kalau ibu suka membaca, besar kemungkinan anaknya pun begitu. Sebab anak adalah mesin duplikat terbaik untuk kebiasaan orang tuanya.
Lalu salah satu gagasan dari Kanda Bachtiar yang sangat fenomenal adalah Perpustakaan Lorong. Satu ide yang sudah terimplementasi dalam karya nyata. Makassar adalah kota dengan banyak lorong. Fakta itu ditangkap dan diramu oleh Kanda Bachtiar sebagai peluang untuk memajukan budaya literasi. Lagi-lagi idenya sederhana. Cukup memasang satu rak gantung, yang nantinya diisi penuh buku. Lalu ada bangku panjang di bawahnya. Tempat pembaca bisa duduk santai melahap huruf-huruf bermakna. Dan dipasang di lorong perumahan yang strategis posisinya. Sederhana kan? Tapi efeknya luar biasa. Ide ini diapresiasi hingga tingkat nasional. Dan tampaknya ini adalah salah satu terobosan yang mengantarkan Kanda Bachtiar menjadi Ketua LPM terbaik se-Kota Makassar.
Jadi pejuang literasi memang begitu. Selalu rindu untuk berbakti, tidak tahan kalau tak berbagi tanpa mengenal pamrih. Literasi tak akan pernah bergema panjang, di tangan mereka yang selalu bertanya, “ Saya dibayar berapa?” Dan Kanda Bachtiar menunjukkan itu. Selama mengenal beliau, kalau urusan berbagi apalagi dengan tema litarasi, bisa dijamin akan hadir. Tak perlu risau soal “apresiasi”. Baginya kampanye literasi sudah menjadi kewajiban. Jika yang ditunaikan itu adalah kewajiban, maka tentu tak berharap bayaran.
Sudah sekira sepuluh tahun saya mengenal Kanda Bachtiar, 25 tahun kurang lebih beliau berkhidmat di dunia literasi dan sudah 50 tahun usianya, tepat 14 Oktober 1970 lahir di Makassar, saat ini tepat 14 Oktober 2020. Batas usia yang tentunya telah mencapai batas kematangan.
Usia semakin bertambah, raga pasti akan menua, namun soal karya tidak pernah mengenal kata sudah.
Penulis adalah novelis