Kolom Fiam Mustamin
PERSAHABATAN dengan tokoh ini, Pak Hengky Tranku kelahiran dan berdarah Makassar tulen, mengingatkan saya dengan filosofi kehidupan etnis Makassar. Tokoh ini menyematkan nama ‘Baji Pammai ” pada usaha pertokoannya di Jalan Ranggong kota Makassar.
Sebuah nama bahasa daerah Makassar untuk penyebutan seseorang yang beperilaku hidupnya ‘Baik Hati ‘.
Dalam bahasa Bugis disebut ‘Ampe Ampe Madeceng’ perilaku yang bisa diteladani karena perbuatan baiknya kepada orang. Perbuatan baik itu diwasiatkan oleh para orang tua
Bugis Makassar kepada anak turunannya. Nama itu mengandung kejujuran dan kesetiakawanan sosial dari makna inti dari filosofi Si Passiriki dan Si Paccei/si mellengeng Peru (menjaga martabat/harga diri dan kesetiakawanan).
Makassar Tempo Dulu
KEBIJAKAN politik perdagangan bebas yang dijalankan oleh penguasa/raja Makassar menjadikan pelayaran niaga ke bandar Makassar bebas pajak/cukai ramai dikunjungi pedagang asing Eropa, Asia Timur/Tenggara termasuk dari suku kepulauan Nusantara.
Penting diingat bahwa pelayaran niaga bangsa Cina ke Makassar untuk mengambil komoditi laut seperti teripang, sisik penyu dan kerang selain kayu cendana dan sarang burung. Sementara pelayaran dari China membawa teh, emas dan candu yang cukup laris ketika itu.
Cina kemudian mengambil alih toko
-toko Belanda antara lain De Siso en Van Coevorde, Gebroeder de Grave dan J.O. Wetjergang & Co dan membeli kapal Inggeris yang melakukan perdagangan budak di abad ke-18.
Kemudian terbentuk beberapa persekutuan usaha dagang China dan Belanda pada 1850. Di kurun waktu itu lahir usaha ekspor impor pribumi ; La Sapada Daeng Patompo, La Oedjoeng dan La Monrie Daeng Pagala masing- masing memiliki satu Brik dan tiga Skunder.
Ketika itu Makassar (Gowa Tallo) berkoloni dengan kerajaan kecil sekitarnya antara lain Bacukiki, Suppa dan Sidenreng.
Komoditas yang diperdagangkan
Makassar adalah komoditas pertanian dan perkebunan dan perdangan budak orang curian dari Timor, Manggarai, Selor, Alor dan Tanimbar (Pinto, Edward L Poelinggomang, Makassar Abad XIX, Studi Tentang Kebijakan Perdangan Maritim, Unhas Oktober 2002).
Lebih jauh dari itu saya mengingat dari sejarah orang Makassar di abad lampau sebagai bangsa yang terbuka di toleran berinteraksi dengan bangsa-bangsa asing Eropa.
Dengan pemahaman “Mare Liberium” (Kebebasan di Kawasan Laut)
menghidupkan semangat diplomasi Pelayaran Niaga Bandar Makassar di tahun 1847-1847 sebagai tujuan pelayaran niaga, bandar terbuka dan bandar transito yang bebas pajak/bea cukai.
Kebaikan itu berlaku pada masa raja Gowa ke 9 Tumaparisi Kallonna, 1510 sampai dengan 1546 dan raja Tunipalangga Ulaweng, 1546-1565.
Gowa Tallo disebut Kerajaan Kembar karena dua raja itu bersaudara disebut Serreji Ata Naruai Karaeng/satu rakyat dua raja.
Raja itu bersekutu dengan Anakoda Bonang dari Jawa bersama pendatang dari Pahang, Patani dan Minangkabau.
Gagasan Pak Hengky yang memiliki korporat Bapamko Grup hendak menghidupkan dan mengintensifkan hubungan perdagangan bilateral dua negara; Indonesia-China dengan penelusuran jejak pelayaran laut /selat Makassar, Singapura ke pelabuhan utama di China.
Kemudian dari itu saya melayangkan imajinasi dari bacaan sastera klasik dunia epos La Galigo, yang menjelajahi perairan Nusantara sampai ke negeri China, raja Luwu Sawerigading mempersunting We Cudai putri raja China di masa pra sejarah.
Mungkinkah Semua Itu Terjadi?
PERTEMUAN dan percakapan dengan Pak Hengky kami lebih banyak berbahasa Makassar untuk membicarakan hal-hal yang bersifat dimensi filosofi dari peristiwa lampau, masa kekinian dan masa akan datang.
Sering juga diselingi dengan percakapan bahasa Inggeris untuk menafsirkan hubungan perniagaan yang bersifat bilateral dan global.
Dari pembicaraan yang intensif itu di Jakarta dan Makassar, saya berkeyakinan bahwa pikiran /gagasan Pak Hengky dapat diwujudkan dalam upaya kita semua sebagai anak bangsa berpikir untuk kemajuan bangsa dan negara yang hakekatnya untuk kesejahteraan rakyat.
Dari semua itu saya mengelaborasi penyatuan semangat ; Gong (pekerja) Shon (pedagang) dan Shi (cendekiawan) merupakan kekuatan etos kerja.
Dalam kehidupan sosial, Konfusius mengajarkan untuk menghargai orang lain dan memelihara hubungan baik di antara sesama manusia. Selain itu membangun komunikasi/berinteraksi, bersinergi dan menghargai keberadaan orang lain, Rinawatiy Makmur, Orang Padang Tionghoa,, Dimana Bumi Dipijak, di Sana Langik Dijunjuang, Kompas 2018.
Beranda Inspirasi Ciliwung 10 Maret 2021