Kolom Fiam Mustamin
APA yang perlu dinarasikan.
Sahabat Bambang Oeban, seniman dan budayawan dari Bengkel Teater Yogya menghubungi untuk menulis kesan dan pesan kehadiran saya di Taman Ismail Marzuki (TIM) awal tahun 1973, lima tahun setelah TIM diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin.
Bersamaan dengan itu, dalam kurun waktu yang sama juga diresmikan lima Gelanggang Remaja di DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan olahraga dan kreatif berkesenian.
Dalam kesaksian ini saya menyoroti tiga hal yaitu Dua Periode Restropeksi TIM Dulu dan Kini dan TIM di periode Mendatang.
Mula ke Jakarta (TIM) untuk melakukan studi mengenai Pemikiran Kebudayaan dan Kreatif Kesenian.
Kerena itu saya penting menyebut beberapa nama tokoh sebagai guru dan dosen yaitu Soemardjono, D. Djajukusuma, Asrul Sani, Wahyu Sihombing, Teguh Karya, Misbah Yusa Biran, Gayus Siagiaan, MD Alif, Sardono, Sentot, Boen Umaryati dan Tatiek Maliati WS.
Beliau-beliau yang mengajar di Lokakarya Perfilman dan Akademi Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta yang kemudian berganti menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Selain itu saya juga kenal baik dengan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) satu partner dengan Dewan Keseian Makassar. Beliau itu adalah Ayip Rosidi, Taufiq Ismail, Ramadhan KH dan Salim Said.
Teman-teman seaktivis : Sultan Saladin, Ilham Bintang, El Manik, Tommi Titin Sumarni, Edi Wardi, Robby Sutara, Edward Bahar, Ramli Ivar, Iwan Wahab, Agus Melast, Bastian Hutapea, Sari Narulita, Nani Wijaya, Rosalina dan Norma Maulana.
Adapun senior di TIM: Nurhadi Irawan, Andi Arnold Pagga, Wiwiek Sipalak, Rusli, Djunadi, Abu Hasan, Kusnimn Asa, Hamzah, Marjoko dan Ferdinand M.
Periode Awal TIM
PADA masa awal berdirinya TIM yang dikenal sebagai Pusat Kesenian Jakarta / PKJ dapat dikatakan sebagai pusat pergerakan pemikiran dan kreativitas berkesenian yang menjadi barometer nasional.
Di masa-masa 1970 hingga 1990 an, saat represif kekuasaan Orde Baru, Seniman dan Budayawan daerah berlomba untuk tampil di TIM sebagai legalitas mendapatkan pengakuan nasional.
Di saat itu semua bentuk perbincangan, pameran dan pertunjukan kesenian ikut terpantau oleh aparat kekuasaan dan bila ada yang hal yang ditafsir tidak menguntungkan kekuasaan, maka pertunjukan dapat dihentikan dan sutradara dan pengelola PKJ berurusan dengan aparat.
Ini masa berkarya dalam tekananan kreativitas.
TIM Kini dan Revitalisasinya
ERA kini, kekuasaan untuk atas nama kemajuan dan kemanfaatan ekonomi dilakukan revitalisasi.
Menyaksikan TIM kini dan dulu yang tak menyisakan indentitas penanda zaman, semua direkayasa secara fungsional yang bisa diberdayakan untuk pendapatan ekonomi.
Mochtar Andre , budayawan dan teaterawan yang melihat proses awal lahirnya TIM merasa asing dan bingung dengan TIM kini yang sewaktu waktu biasa disulap jadi mall tempat berjualan aneka barang dan kuliner.
Andre tidak mendapatkan nuansa TIM yang dikenalnya dari awal tahun 1968 hingga 1980 an.
Terpikir olehnya, apakah konsep revitalisasi ini tidak melibatkan seniman dan budayawan sebagai awal TIM dibangun dulu.
TIM yang Tetap Dirindukan
MEMANG romantis adanya untuk menghadirkan kembali yang pernah ada di periode 20 tahun TIM.
Posisi Jakarta sebagai ibukota negara menjadi barometer nasional dan karena itu sebagai pesan dari tulisan ini dapat menghidupkan kegiatan pemikiran kebudayaan dan kreativitas berkesenian sebagai berikut :
Menampilkan perbincangan kritis dan inovatif kebudayaan dalam kehidupan berMasyarakat berBangsa dan berNegara.
Menampilkan pertunjukkan dan pameran kesenian khasanah daerah ( teater, tari, musik dan senirupa).
Menampilkan simponi musik etnis dari daerah Tapanuli, Minangkabau, Melayu, Kutai Kartanegara, Kawanua Menado, Palu, Makassar, Toraja, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sunda dan Betawi.
Kali Ciliwung
Ciliwung identitas metropolis Jakarta.
Hujan di hulu menjemput banjir. Air lumpur menggenangi rumah dan perabotan.
Tak terselamatkan jadi limbah.
Tetap bermukim di bantaran kali itu, tak kuasa ada pilihan lainnya.
Legolego Ciliwung 21 November 2023.55