Kolom Zaenal Abidin
Puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu sebelum Islam., namun dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang berpuasa dengan menghindari makanan dan minuman tertentu saja. Ada yang berpuasa pada sebagian siang atau seluruh siang. Ada pula yang hanya berpuasa malam hari saja. Bahkan ada yang berpuasa dengan cara menahan diri untuk berbicara, seperti yang pernah dilakukan oleh Maryam ibunda Nabi Isa Alaihissalam.
Puasa adalah mata rantai yang menunjukkan kontinuitas agama-agama yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Karena itu puasa dalam Islam merupakan bukti bahwa Islam adalah agama lanjutan yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Penyempurna dari seluruh rangkaian agama Allah yang telah diturunkan kepada umat-umat sebelum Islam.
Pada suatu seri webinar yang diselenggarakan oleh Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi bersama Klinik Budhi Pratama, Literasi Sehat Indonesia, Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar, dan Bakornas LKMI-HMI, 31 Maret lalu, salah satu nara sumber, dr. Tirta Prawita Sari, M.Sc., Sp.GK., mengungkapkan bahwa pada masa lampau banyak filsuf yang menggunakan puasa untuk meningkatkan status kesehatannya. Plato misalnya, melakukan intemittent fasting dengan mengatur waktu makan dan waktu puasa dalam durasi tertentu namun boleh minum tanpa kalori. Plato menggunakan puasa untuk memperbaiki kondisi fisik dan mentalnya. Jadi puasa adalah sebuah gaya hidup yang dikenal sejak dulu untuk memberi banyak manfaat kesehatan. Namun terkadang puasa ini kurang kita perhatikan.
Bahkan, hewan sekalipun, dalam keadaan terluka atau sakit biasanya akan memilih untuk berpuasa sebagai bagian dari upaya penyembuhannya. Hewan yang sakit ini bukannya makan banyak tapi memilih berpuasa. Karena itu, bukan tempatnya lagi kita meragukan manfaat puasa. Kedokteran kuno sendiri sudah banyak menggunakan puasa sebagai terapi. Dan, baru-baru ini seorang ilmuan dari Jepang bernama Yoshinori Ohsumi mendapatkan hadiah Nobel karena berhasil menemukan konsep autofagi dan bagaimana autofagi dapat memperbaiki status kesehatan manusia. Ungkap dr. Wita (sapaan Tirta Prawita Sari).
Dalam banyak literatur, dikatakan bila puasa itu dilakukan dengan benar dan sesuai syariat akan membuat tubuh kita sehat. Puasa merupakan cara membasakan tubuh yang sudah penuh asam, yang bersumber dari makanan dan minuman yang bersifat asam. Puasa membuat tubuh memproduksi 80% hormon kebahagian. Puasa juga menyebabkan terbongkarnya lemak-lemak tubuh. Puasa proses mengistirahatkan tubuh, secara spesifik organ tubuh yang diistirahatkan adalah perut, yang sering juga disebut biang penyakit.
Puasa Ramadhan yang dilaksanakan sekarang ini merupakan program detoksifikasi tahunan bagi tubuh yang telah disyariatkan Allah SWT. Di luar bulan Ramadhan pun masih ada puasa sunnah lain yang juga dapat difungsikan sebagai program detoksifikasi, baik sifatnya bulanan, harian, maupun sewaktu-waktu. Walau pun puasa syariat bertujuan untuk meningkatkan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, namun tentu saja efek sehatnya ruhani dan fisik juga selalu diharapkan. Mengapa kita perlu efek sehat? Sebab, kondisi sehat itu sendiri dibutuhkan untuk makin meningkatkan ketaatan kita itu. Bahwa ada yang berpuasa tapi tetap saja belum mendapatkan mafaat sehat, boleh jadi karena puasanya belum bermutu secara fisik maupun ruhaniah.
Menurut Almarhum Cak Nur (Prof. Nurcholish Madjid), pokok amalan puasa ialah pengingkaran jasmani dan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya, khususnya kebutuhan yang menyenangkan. Pengingkaran jasmaniah dari kebutuhannya yakni makan dan minum, dapat beraneka ragam. Sedangkan dari segi ruhani, karena beratnya, puasa merupakan latihan keruhanian. Karena itu, puasa sering disebut ibadah utama yang membekas pada jiwa dan raga karena berat.
Dalam hadits Qudsi Allah berfirman, “Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberi pahala.” Jadi orang yang berpuasa tak perlu khawatir jika puasanya tidak diketahui orang lain atau orang lain bahkan menduganya tidak berpuasa, sebab Allah-lah yang akan menanggung pahalanya.
Puasa merupakan ibadah yang sangat pribadi atau personal. Ia merupakan rahasia antara seorang manusia yang berpuasa dengan Tuhannya. Dalam kerahasiaan itulah terletak makna keikhlasan atau ketulusan. Lebih lanjut, puasa adalah peragaan akan kesadaran Ketuhanan yang tidak ragu sama sekali akan kehadiran Allah dalam hidupnya. Orang berpuasa bersedia menahan lapar, dahaga, serta kebutuhan biologis lainnya padahal ia mampu melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Dari sini pula dapat ditarik kesimpulan bahwa puasa adalah yang pertama dan yang utama dalam pendidikan disiplin dan tanggung jawab pribadi. Dan ini adalah pangkal dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya yang dikenal takwa.
Semua ibadah mengandung dua hikmah, yaitu peneguhan iman dan amal saleh. Dari dua segi ini dikenal dengan istilah lain, “hablun minallah” (tali hubungan dengan Allah) dan “hablun minannas” (tali hubungan dengan sesama manusia), serta takwa dan akhlak. Demikian halnya dengan puasa, di dalamnya juga terkandung hikmah iman dan amal saleh. Wallahu a’lam bishawab.
Billahit Taufiq Walhidayah