Kolom Shamsi Ali Al-Kajangi
Sambil menunggu boarding dari bandara kampung halaman, saya terbetik untuk menulis ulang 10 kriteria kepemimpinan Ibrahim AS. Tulisan ini pernah saya sampaikan beberapa waktu lalu. Kali ini saya sampaikan dengan sedikit modifikasi dan lebih sederhana.
Kesepuluh karakteristik Kepemimpinan Ibrahim itu adalah sebagai berikut:
Satu, kepemimpinan Ibrahim itu terbangun di atas prinsip dan idealisme yang kokoh. Kepemimpinan yang tidak mudah goyah dan terwarnai oleh rongrongan, godaan dan tantangan apapun. Kepemimpinan yang terbangun di atas prinsip-prinsip dasar (principles) dan nilai (value). Bukan sekedar kepentingan pragmatis, apalagi melalui kolaborasi yang penuh dengan manipulasi.
Hal ini tersimpulkan dari sikap Ibrahim AS terhadap kesyirikan pada masanya. Beliau terlahir di tengah masyarakat musyrik, bahkan ayahnya adalah pembuat patung, tapi beliau kokoh memegang prinsip. Tidak terpengaruh dan hanyut dalam kesyirikan masa itu.
Dua, kepemimpinan Ibrahim itu berbasis kepintaran. Terminologi yang sering kita dengarkan adalah fathonah. Ketajaman akal atau kepintaran menjadi karakter dasar kepemimpinan Ibrahim AS. Bukan kepemimpinan yang penuh gimik yang cenderung membodohi rakyat.
Hal di atas tersimpulkan dari beberapa hal. Satu di antaranya adalah bagaimana proses Ibrahim AS dalam menemukan ketauhidan. Dari bintang-bintang, bulan, hingga matahari, disangakanya sebagai tuhan. Namun dengan ketajaman akal itu pulalah beliau menemukan “ketauhidan” yang sejati.
Tiga, kepemimpinan Ibrahim AS itu juga berkarakter skill komunikasi yang mumpuni. Bahwa Ibrahim mampu mengkomunikasikan ide/pemikirannya secara baik dan efektif. Bukan kepemimpinan yang tidak bisa diekspresikan yang baik dan jelas.
Hal itu tersimpulkan dari kelihaian dan kehebatan Ibrahim AS dalam merespon dan mengkomunikasikan kebenaran Tauhid kepada sang raja Namrud yang angkuh itu. Bagaimana soliditas komunikasi dan diplomasi yang dimiliki Ibrahim menjadikan sang raja terdiam (fabuhita), gagal merespon poin-poin yang disampaikan Ibrahim AS.
Empat, Kepemimpinan Ibrahim itu melalui proses panjang, penuh dengan pelatihan-pelatihan yang dahsyat. Kepemimpinan Ibrahim bukan kepemimpinan karbitan. Bukan juga kepemimpinan “mumpung”. Tidak dikarbitkan oleh kepentingan dan duit. Apalagi melalui menipulasi peundang-undangan dan nepotisme.
Hal di atas disimpukan dari rentetang ujian (cobaan) yang ditimpakan kepada Ibrahim AS. Dari upaya asasinasi dengan dibakar hidup-hidup, hingga ujian memotong anak satu-satunya yang dia cintai. Semua itu menjadi tangga menuju kepada kepemimpinan yang dijanjikan (ja’iluka linnaas imaama).
Lima, kepemimpinan Ibrahim itu adalah kepemimpinan dengan fondasi “keyakinan yang tinggi”. Keyakinan tinggi ini yang lazim dikenal dengan “self confidence” (percaya diri). Self confidence bukan sikap superman. Tapi kuat dengan iman kepada Allah SWT.
Hal di atas terintisarikan dari peristiwa upaya pembakaran yang dilakukan oleh sang raja. Ibrahim memiliki yang keyakinan kokoh bahwa yang dapat menolong hanyalah Allah SWT. Dia bahkan menolak tawaran pertolongan para malaikat. Allah pun memerintahkan api menjadi dingin dan nyaman bagi Ibrahim AS (bardan wa salaaaman). Bukan bersembunyi di bawah ketiak Kekuasaan.
Enam, kepemimpinan yang berkarakter simpatik. Dalam kepemimpinannya Ibrahim menghadirkan rasa simpati kepada semua manusia. Hasilnya masyarakat jatuh hati kepada negaranya, pemimpinnya, bahkan terjadi rasa kasih sayang di antara masyarakat. Kepemimpinan Ibrahim bukan dengan simpati kebohongan yang diada-ada. Bukan juga dengan intimidasi, kasar maupun halus.
Hal ini disimpulkan dari doa Ibrahim AS agar kiranya hati sebagian manusia jatuh hati kepada Mekah: “dan jadikanlah hati-hati manusia cenderung kepada mereka (penduduk Mekah).
Tujuh, kepemimpinan Ibrahim itu bersifat inklusif dan terbuka. Menerima masukan bahkan kritikan dari siapapun. Karakteristik ini dalam bahasa politik masa kini disebut “demokratis”. Membuka diri dan tidak alergi dengan masukan bahkan keritikan.
Hal itu disimpulkan dari sikap Ibrahim ketika menerima perintah untuk memotong anaknya. Beliau pastinya yakin kalau mimpi itu adalah perintah Allah. Dan Ibrahim tidak pernah mempertanyakan apalagi menolak perintah Allah. Tapi dalam perintah memotong anaknya Ibrahim meminta pendapat anaknya: “bagaimana pendapat kamu?”.
Delapan, kepemimpinan Ibrahim itu berwawasan ketakwaan (kesalehan dan ketaatan). Karenanya segala yang terkait dengan kepemimpinannya merujuk kepada nilai-nilai ketakwaan. Bukan dengan polesan-polesan yang lucu dan membodohkan.
Kesimpulan ini diambil dari doa beliau untuk dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa: “waj’alna lil-muttaqina imaama”. Untuk terjadinya masyarakat (terpimpin) yang bertakwa, pemimpin dan kepemimpinannya harus berlandaskan ketakwaan.
Sembilan, kepemimpinan Ibrahim itu berkarakter “result oriented” atau memiliki orientasi dengan hasil yang terukur. Orientasi kepemimpinan Ibrahim itu terfokus pada hadirnya stabiltas dan kemananan. Dengan stabilitasi akan terwujud kemakmuran. Sebuah kemakmuran yang berkarakter keadilan. Bukan janji-janji dengan iming-imingan yang membodohi masyarakat.
Sepuluh, kepemimpinan Ibrahim AS itu berkarakter global. Bahwa Ibrahim yang dengan sendirinya menjadi sosok umat diangkat menjadi pemimpin global (dunia). Namun kepemimpinan beliau berwawasan dan berkarakter global.
Kesimpulan ini terangkum dalam penyampaian Ilahi di saat Ibrahim menuntaskan seluruh perintah-perintah Allah: “inni ja’iluka linnaas imaama” (sesungguhnya Aku menjadikan kamu pemimpin bagi manusia).
Demikian sepuluh karakteristik kepemimpinan Ibrahim AS yang dirangkum dari rentetan perjalanan sejarah hidupnya. Semoga sepuluh karakteristik ini menjadi pegangan bagi para pemimpin dan para calon pemimpin. Bahkan semoga juga menjadi acuan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan mereka di pilpres mendatang.
Terlebih khusus lagi semoga pemimpin Indonesia yang akan terpilih mampu menauladani kepemimpinan Ibrahim AS, baik dalam kehidupannya (kuat Iman dan tinggi dalam ketaatan) maupun dalam kepemimpinannya seperti yang disampaikan di atas. Dengan kepemimpinan seperti ini kita harapkan Indonesia berubah menjadi lebih baik. InsyaAllah “baldatun thoyyibah wa Rabbun Ghafur”. Amin!
Sultan Hasanuddin, 30 Januari 2024