Kolom Zaenal Abidin
Berpuasa Ramadhan, selain sebagai kewajiban seorang muslim ternyata membawa banyak dampak positif, khususnya untuk kesehatan bagi yang melaksanakannya. Meski demikian, ada beberapa kelompok tertentu yang perlu mendapat perhatian khusus, seperti kelompok penyandang diabetes dan ibu hamil.
Dalam acara Webinar Ramadhan 1443 H seri ketiga yang diselenggarakan oleh Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi bersama Klinik Budhi Pratama, Literasi Sehat Indonesia, Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar, dan Bakornas LKMI-HMI sejumlah ahli memberikan tips agar tetap aman berpuasa bagi penyandang diabetes dan ibu hamil ini.
Webinar berlangsung 15 April 2022 (dua tahun lalu) itu dibuka oleh dr. Tirta Prawita Sari, M.Sc., Sp.GK. selaku Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat sadar Gizi. Dalam opening speechnya ia mengatakan: “Ada kelompok-kelompok tertentu yang memang memiliki rukhsah atau keringanan untuk tidak berpuaasa, diantaranya adalah yang menjadi perhatian kita pada malam ini, yaitu ibu hamil dan penyandang diabetes. Karena keduanya memiliki keadaan metabolisme yang jauh berbeda dari kelompok normal. Ibu hamil memiliki perubahan hormonal yang luar biasa, dan juga peningkatan asupan yang sangat tinggi. Sedangkan pada pasien diabetes yang sulit mengendalikan gula darah serta keteraturan minum obatnya. Nah, apakah mereka ini diperbolehkan untuk berpuasa?”
“Hal ini menjadi perbedaan pendapat dari kalangan medis, ada yang mengatakan tidak boleh berpuasa, ada juga yang mengatakan boleh dengan syarat”. Dokter spesilis gizi klinik yang berpraktik di RS. Pondok Indah dan RS. Bunda Margonda Depok ini juga mengatakan bahwa tujuan dari webinar seri ketiga ini adalah untuk memberikan informasi komprehensif kepada masyarakat dan reminder kembali kepada tenaga kesehatan tentang bagaimana berpuasa aman bagi penyandang diabetes dan ibu hamil.
Karena topik bahasnya terkait puasa bagi ibu hamil dan penyandang DM maka ditampilkanlah dua nara sumber yang memiliki kepakaran atau praktisi dengan bidang tersebut. Dokter Ulul Albab, SpOG membahas puasa bagi ibu hamil dan dr. Prasetyo Widhi Buwono, SpPD-KHOM, FINASIM yang membahas puasa bagi penyandang diabetes.
Puasa bagi Ibu Hamil
Dokter Ulul Albab, SpOG dari Klinik Budhi Pratama merupakan salah satu narasumber yang tampil pertama mengatakan, “Puasa itu merupakan kewajiban bagi semua orang mukmin, namun dalam suatu hadist juga sudah diterangkan bahwa ada beberapa orang yang dibolehkannya untuk tidak berpuasa termasuk ibu hamil salah satunya”.
Pertanyaannya, jika ibu hamil tetap ingin berpuasa apakah diperbolehkan? Menurut Dr. Ulul Albab, SpOG secara umum apabila kondisi sang ibu fit dan kehamilannya tidak ada masalah maka tidak ada masalah untuk berpuasa.
“Ada beberapa syarat untuk ibu hamil berpuasa karena benar-benar sehat, tidak memiliki masalah kesehatan terkait kehamilannya, cukup gizi, usia kehamilan ideal 12-32 minggu, dan apabila dibawah usia kehamilan 12 minggu jika ingin berpuasa harus dengan pemantauan.”
Lebih lanjut, Dr. Ulul memaparkan bahwa ada penelitian yang terdiri dari 502 responden meneliti efek berpuasa pada ibu hamil, hasil penelitian tersebut tidak ditemukan efek yang signifikan terhadap komplikasi ibu ataupun bayi pada mereka yang berpuasa.
Pada penelitian lain yang dilakukan pada trimester pertama, tidak ditemukan efek samping yang signifikan bagi ibu hamil dengan usia kehamilan kurang dari 12 minggu, yang mana pada trimester pertama itu terjadi fase organogenesis, fase dimana pembentukan organ-organ tubuh dan penyatuan organ-organ dan ini merupakan periode sensitif bagi ibu hamil utamanya masalah asupan giz bagi janin.
Namun perlu kita waspadai bahwa pada awal kehamilan ada kondisi yang namanya emesis gravidarum atau morning sickness karena perubahan hormon yang bahkan bisa menjadi hiperemesis. Hal ini ditakutkan bisa meningkat ketika puasa, sehingga ada beberapa dokter yang tidak menyarankan untuk berpuasa pada trimester awal kehamilan atau dibawah 16 minggu demi keamanan janin dan ibunya,” kata dokter spesialis kandungan lulusan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Obstetri dan Ginekologi Universitas Indonesia ini.
Dalam suatu jurnal ada beberapa hal yang disarankan ketika ibu hamil ingin berpuasa, yaitu: Disarankan untuk makan-makanan dengan tinggi serat, sayuran, buah, protein. Hindari garam dan gula yang berlebihan. Minum air, susu dan jus. Sebelum tidur komsumsi snack, air, jus atau buah. Dan minum air minimal 2 liter di antara buka dan sahur. Serta gizi yang seimbang antara 50% karbohidrat, 30% protein, 10-20% lemak.
Ketika ibu hamil tiba-tiba merasa ada keluhan seperti pusing, mual-muntah yang berlebihan, atau mungkin merasakan gerakan janinnya berkurang maka diharuskan untuk berhenti berpuasa dan segera memeriksakan kehamilannya.
Berikut ini beberapa kondisi dimana para ahli kandungan tidak menyarankan ibu hamil dengan kondisi terntentu untuk berpuasa, yaitu: ibu hamil dengan hipertensi, ibu hamil dengan DM, gangguan nafsu makan (anoreksia atau bulimia), gangguan sistem pencernaan seperti dispepsia saat sebelum hamil dan diperberat pada saat hamil, riwayat batu ginjal, riwayat persalinan prematur, luaran persalinan buruk misalnya pada pasien dengan abortus habitualis, kurang gizi/asupan kaalori tidak mencukupi, dalam pengobatan teratur.”
Puasa bagi Penyandang DM
Nara sumber berikutnya, dr. Prasetyo Widhi Buwono mengungkapkan: “Berpuasa, selain merupakan salah satu kewajiban kita bagi seorang muslim, juga memiliki segudang manfaat. Pendapat ini didukung oleh beberapa penelitian modern. Prof. Nikoliev Polev tahun 1976, berkata, puasa 3-4 minggu dalam setahun memberi kesehatan sempurna sepanjang hidup. Peneliti modern lain, seperti Allan Cott, MD., dalam bukunya Why Fast mengatakan berpuasa membuat orang lebih muda, menurunkan tekanan darah, gula darah dan lemak darah, mengontrol nafsu seksual kita, menghambat proses penuaan, merupakan proses detoksifikasi, mengendorkan ketegangan jiwa, serta pengendalian diri akan lebih baik.”
Menurut Riskesdas pada tahun 2018 prevalensi DM di Indonesia adalah 8,9%, terjadi kenaikan yang cukup signifikan apabila kita membandingkan hasil Riskesdas pada tahun 2013 yang prevalensinya hanyalah 6,5 %. Saat ini, Indonesia menempati urutan ke 7 negara dengan pasien diabetes terbanyak.
Diabetes dan Hipertensi merupakan penyakit kronik yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia, yang mana kedua penyakit ini merupakan hulu dari penyakit katastropik yang membutuhkan biaya tinggi, padahal sebenarnya keduanya dapat dicegah. Salah satunya adalah dengan berpuasa Ramadhan. Namun, harap diingat bahwa penyandang diabetes perlu dilakukan penilaian apakah beresiko menjalankan ibadah puasa atau tidak.
Pada penyadang DM yang beresiko tinggi untuk berpuasa perlu melakukan pemeriksaan gula darah berkala untuk menilai apakah ada hiperglikemi atau hipoglikemi, bagaimana gejalanya, dan penyesuaian obat-obatan rutin diabetes selama puasa. Hal ini perlu komunikasi aktif dokter-pasien agar pada penyandang DM dapat lebih aman dan sehat dalam menjalankan ibadah puasa.
Penyandang diabetes perlu dilakukan edukasi, konseling dan penilaian pre-Ramadhan yang mencakup stratifikasi faktor resiko. Edukasi pentingnya peran pemeriksaan gula darah mandiri, kapan pasien harus membatalkan puasanya, bagaimana menjalankan olah raga selama berpuasa Ramadhan, bagaimana merencanakan terapi gizi, asupan cairan selama puasa, pengaturan terapi DM selama puasa ramadhan.”
Dalam pemaparannya, Dr. Pras mengutip tabel stratifikasi resiko puasa Ramadhan penyandang diabetes dari “IDF-DAR Diabetes and Ramadhan Practical Guidelines 2021”.
Tabel tersebut menjelaskan, “Ada 14 poin yang bisa kita nilai mulai dari tipe diabetesnya apakah tipe 1 atau tipe 2, lamanya diabetes apakah diatas 10 tahun atau kurang, riwayat hipoglikemia sebelumnya, kendali gula darah yang idealnya hba1c <7.5, berapa lama waktu berpuasa berdasarkan lokasi atau negara yang ditinggali itu apakah lebih dari 16 jam atau tidak, tipe terapi diabetesnya apa, lalu dilihat apakah pasien mampu pemeriksaan glukosa mandiri dilihat disiplin tidaknya, ada atau tidaknya komplikasi akut selama beberapa bulan terakhir, komplikasi makrovaskular misalnya CHFatau PJK apakah stabil atau tidak, seringkali kita lupakan adanya komplikasi ginjal itu kita lihat bagaimana laju filtrasi glomerulus, jika pasien kondisi hamil kita llihat apakah gula darahnya terkontrol atau tidak, apabila pasien lansia kita liat fungsi kognisi, frailty dan resikonya, serta kita lihat juga apakah dia dalam pekerjaannya ada melakukan perkejaan fisik berat atau tidak, dan kita lihat pengalaman puasa sebelumnya”. Stratifikasi resiko ini diikuti dengan rekomendasi medis dan keagamaan, adapun rekomendasi keagamaan merupakan rekomendasi dari Mufti di Universitas Al-Azhar. Untuk resikonya terbagi menjadi Risiko Rendah (0-3 poin), Risiko Sedang (3,5-6 poin), dan Risiko Tinggi (>6 poin). Apabila puasa relative beresiko makan pasien disarankan untuk tidak berpuasa.
Puasa itu merupakan suatu keyakinan, dimana terkadang walupun pasien yang berisiko tinggi ada yang tetap ingin berpuasa, tentu perlu pendampingan dengan dokter secara ketat, serta bagaimana mengatur obatnya, asupan gizi, dan kedisiplinan pemeriksaan gula darah berkala secara mandiri. Dengan harapan pasien tetap dapat melakukan puasa walapun tidak penuh 30 hari.
Adapun beberapa waktu pemantauan gula darah yang perlu diperahatikan selama berpuasa, yakni: Pertama, saat menjelang sahu. Pada saat itu perlu kita nilai apakah penyandang diabetes tersebut ada indikasi hiperglikemi yang mana nantinya penting untuk kita dalam penyesuaian dosis obat. Kemudian pagi hari untuk melihat apakah asupan kalorinya tinggi saat sahur. Kedua, saat tengah hari atau 5-6 jam berpuasa untuk kita nilai apakah mulai terjadi hipoglikemia. Dan ketiga (terakhir), sebelum dan sesudah berbuka, untuk melihat terjadinya Hiperglikemia saat berbuka dan apakah asupan kalorinya pada waktu berbuka cukup tinggi.
Namun pemeriksaan ini bukan hanya berdasarkan waktu saja, apabila sudah ada keluhan-keluhannya maka perlu dilakukan pemeriksaan gula darah
Kapan penyandang diabetes dapat membatalkan puasanya? Penyandang diabetes disarankan untuk berhenti puasa apabila bila gula darah <70mg/dl, namun apabila gula darahnya masih di rentang 70-90 perlu dimonitoring selama 1 jam kedepan untuk melihat apakah semakin turun atau tidak. Dan apabila ditemukan gula darah>300mg/dl maka pasien dianjurkan untuk berhenti berpuasa dan berbuka, karena ditakutkan terjadinya poliuri, dehidrasi dan komplikasi yang lebih berat.
Selain dari stratifikasi resiko, tentu asupan kalori juga perlu diperhatikan saat puasa bagi penyandang diabetes. Adapun yang perlu diperhatikan saat berpuasa adalah jumlah energi (kalori) dari makanan yang dibutuhkan pada waktu puasa sama seperti bila tidak puasa, yang mana saat buka puasa: 40-50% kebutuhan energi sehari atau sebelum shalat Maghrib : Makanan ringan (10%), Sesudah shalat Maghrib: Makanan utama (30-40%), Sesudah shalat Tarawih: Makanan ringan (10%) dan pada saat sahur: Makanan utama (30-40%).
Dan untuk obat-obatan diabetes perlu diperhatikan obat-obatan sulfonil urea, karena kemungkinan efek samping hipoglikemianya yang ditimbulkan cenderung lebih besar, sedangkan obat-obataan lain seperti metformin, DPP4, dan akarbose itu jarang ada dilakukan penyesuaian dosis dan konsultasi ke dokter yang menangani.
Keberhasilan kontrol gula darah tahun ini tidak menjamin puasa Ramadhan tahun depan aman karena kita perlu waspadai komplikasi metabolik yang akan muncul kedepannya,. Karena itu, kita harus tetap disiplin dalam menjaga diabetes tetap stabil dan dipertahankan, sehingga untuk penyandang diabetes bisa lebih aman dan sehat melanjutkan puasa syawal dan puasa senin kamis lainnya sehingga komplikasi masa depan dapat dicegah.
Catatan Akhir
Sekalipun menurut Al-Qur’an berpuasa itu wajib bagi orang yang beriman dan lebih bagimu jika kamu mengetahui namun ada kondisi tertentu bagi seseorang yang perlu diperhatikan bila ingin berpuasa. Bahkan diberi keringanan, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Seperti ibu hami dan penyandang DM.
Mengapa demikian? Karena keduanya memiliki keadaan metabolisme yang jauh berbeda dari kelompok normal. Ibu hamil memiliki perubahan hormonal yang luar biasa, dan juga peningkatan asupan yang sangat tinggi. Sedangkan pada pasien diabetes yang sulit mengendalikan gula darah serta keteraturan minum obatnya.
Di kalangan kedokteran sendiri terdapat perbedaan pendapat, ada yang mengatakan tidak boleh berpuasa, ada pula yang mengatakan boleh dengan syarat. Dua nara sumber webinar di atas lebih menyarankan berpuasa dengan syarat.
“…Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin…” QS. Al-Baarah 184. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015 dan Ketua Dep. Kesehatan BPP KKSS