Kolom Shamsi Ali Al-Kajangi
“The United Arab Emirates just signed a full diplomatic relations with the Jewish Israel Israel today. And it is full diplomatic relations….”
Itu sekilas berita yang saya dengarkan dari beberapa channel TV di Amerika hari ini. Bagi sebagian tentu mengejutkan. Bahkan jika masih tertanam rasa solidaritas kemanusiaan, apalagi keislaman, tentu hal ini sekaligus menyedihkan.
Betapa tidak. Imarat yang dianggap sebagai salah satu negara kharismatik di Timur Tengah baru saja menanda tangani persetujuan hubungan diplomatik penuh dengan negara Yahudi Israel hari ini. Dan semua itu terjadi atas usaha menantu Trump yang memang berdarah Yahudi.
Dengan demikian, setelah Jordan, Mesir, Turki, Maroko, Oman, Azerbaijan, kini sebuah negara khalij (teluk) yang berpengaruh juga melakukan hal sama. Kecurigaan saya jangan-jangan hal ini akan membuka pintu bagi Saudi dan boleh jadi juga Qatar untu melakukan hal yang sama.
Bagi kita yang mengikuti perkembangan dunia dan hiruk pikuk di Timur Tengah, apa yang dilakukan oleh Imarat ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Sejak beberapa tahun terakhir pendekatan Israel, melalui lobi-lobi Yahudi Amerika sangat intens.
Makanan Kosher misalnya masuk ke tokoh-tokoh Imarat untuk sekedar menyampaikan pesan bahwa Israel ada pengaruh di negeri itu. Bukankah di negeri itu hampir tidak ada Yahudi?
Semua ini semakin menjadikan masa depan Palestina suram dan tidak menentu. Negara-negara Islam semakin tidak peduli. Sementara dalam negeri Palestina sendiri dua faksi besar, Hamas dan Fatah masih saja belum menemukan titik kesamaan.
Tentu yang paling runyam lagi adalah kenyataan bahwa negara-negara besar yang pernah dikhawatirkan oleh Israel telah hancur lebur. Tiga negara itu adalah Irak, Libya, dan Suriah. Sementara Yaman juga telah diluluhlantahkan melalui tangan besi Saudi Arabia.
Syukur Indonesia masih di posisi tidak mengakui Israel bersama negara-negara Muslim Asia lainnya. Tapi akankah negara-negara itu mampu terus bertahan seperti itu? Saya khawatir Pakistan, Bangladesh, dan beberapa negara Muslim Afrika seperti Chad dan lainnya tidak akan mampu bertahan lama.
Jika saja Saudi Arabia ikut membuka hubungan diplomatik dengan Israel, maka negara-negara Muslim di Asia Selatan dan Afrika kemungkinan akan mengikutinya. Dan nampaknya Imarat menjadi pintu atau “uji coba” bagi negara-negara teluk lainnya.
Indonesia sendiri tidak akan banyak mampu berpengaruh untuk menahan negara-negara Muslim lainnya. Kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika itu lebih mendengar kepada Saudi/Emirate/Saudi dan Turki. Dan semua nampaknya sudah atau cenderung untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Jika memakai pertimbangan “national interests” (kepentingan nasional) semata akan ada saja yang berpikir apakah realistik Indonesia tetap bertahan dengan posisinya yang sekarang? Apa dampak positif bagi Palestina untuk Indonesia bertahan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel?
Tentu selain karena Indonesia tidak dianggap ancaman bagi Israel secara militer. Juga Israel tidak terlalu memilki kepentingan ekonomi dengan Indonesia. Dan tentunya Indonesia tidak berdampak kepada Israel secara geografis.
Tapi saya yakin Indonesia dan bangsa Indonesia masih konsisten mengedepankan pertimbangan solidaritas ukhuwah dan kemanusiaan, yang pastinya berdasarkan konstitusi negara. Bahwa penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan karena bertentangan dengan prikamusiaan dan keadilan.
Hingga saat ini, dalam hal perjuangan Palestina saya masih bangga dengan Indonesia. Walau saya sangat berharap Indonesia akan semakin “visible” (nampak) dan “vocal” (keras dan tegas) dalam menyuarakan pembelaan kepada mereka yang termarjinalkan dan terzholimi. Baik itu pembelaan kepada bangsa Palestina, Kashmir, Rohingya, maupun Muslim di Xingjian China.
Harapan kita tentunya adalah bahwa Indonesia dengan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, akan tetap mampu terlepas dari dari sekedar pertimbangan kepentingan-kepentingan nasional sempit yang kemudian mengorbankan atau menginjak-injak nilai luhur kemanusiaan dan Konstitusi negara.
Secara internasional sesungguhnya Indonesia dapat saja mengambil manfaat dengan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Gangguan-gangguan tentang Papua Barat akan menjadi ringan bahkan boleh jadi Belanda dan Australia akan memberikan dukungannya.
Tapi akankah Indonesia mengorbankan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan menginjak-injak konstitusi sendiri karena kepentingan itu?
Saya masih yakin Indonesia tidak akan melakukan itu. Apalagi hampir seluruh penduduk Muslim di negeri ini masih memiliki rasa kejujuran terhadap norma-norma universal itu. Bahwa penjajahan adalah perampasan hak yang paling mendasar dari kehidupan manusia dan bangsa. Sesuatu yang bahkan Amerika dan Barat masih disikapi dengan sikap hipokritikal (kemunafikan).
Sungguh apa yang terjadi hari ini memang menyedihkan….tapi itulah realita. Yang terkadang hanya bisa disikapi dengan mengurut dada. Allahu al-musta’aan wa ‘alaihi at-tuklaan!
New York, 13 Agustus 2020,
Diaspora Indonesia di kota New York