Kolom Ruslan Ismail Mage
Sebanyak 23 pegawai dan 1 tahanan KPK dinyatakan positif COVID-19. Demikian judul berita di beberapa media online Minggu 30/8 lalu yang membuat pemerhati korupsi tersentak. Walaupun Ketua KPK Firli Bahuri memastikan pemberantasan korupsi tetap berjalan, tapi yang pasti akan mengalami kelambatan dalam proses penanganan kasus korupsi.
Di tengah keprihatinan akan nasib pemberantasan korupsi akibat serangan covid-19 di lingkungan KPK, seorang sahabat tiba-tiba mengirim pesan di WhatsApp. Katanya ada covid -19 atau tidak ada covid-19 penurunan angka korupsi di Indonesia susah terjadi. Faktanya walau KPK dari lima tahun terakhir sudah memenjarakan hampir setengah kepala daerah dan beberapa politisi di parlemen, tetapi korupsi tetap menggeliat. OTT tidak membuat gentar para pejabat yang sudah terlanjur bermental korup untuk tidak memainkan anggaran negara. Menurut sahabat tersebut, ada yang lebih berbahaya dari pada korupsi itu sendiri, yaitu “suap atau sogok menyogok dalam mendapatkan pekerjaan atau jabatan”, karena itulah akar utama korupsi”.
Membaca kalimat “akar utama korupsi” serta merta memancingku berilustrasi atau menganalogikan korupsi itu sebagai “pohon rimbun yang ditunjang akar tunggang yang kuat didukung akar serabut yang menjalar kemana-mana dalam tanah. Itulah salah satu fungsi akar yang menguatkan atau memperkokoh batang. Jadi selama akarnya kuat, walaupun batangnya di tebang berkali-kali akan tetap tumbuh dan berdaun lebat.
Kalau analogi ini didekripsikan lebih jauh, dapat dikatakan pohon korupsi di indonesia akan tetap tumbuh berdaun rimbun karena selama ini hanya memangkas tangkainya atau hanya sekali-kali menebang batangnya, bukan mencabut atau membakar akar tunggang dan akar serabutnya. Akar tunggang adalah akar pohon yang berupa akar besar dan bagian dari kelanjutan batang. Sementara akar serabut adalah sejumlah akar yang terdapat pada pangkal pohon yang memanjang.
Lalu apa akar tunggang dari pohon korupsi Indonesia? Akar tunggangnya adalah “suap atau sogok menyogok” dalam mendapatkan pekerjaan atau jabatan. Selama masih ada suap atau sogok menyogok dalam mendapatkan pekerjaan atau jabatan, selama itu korupsi akan tumbuh mekar di Indonesia. Karena hampir bisa dipastikan, orang yang menyuap atau menyogok dalam mendapatkan pekerjaan atau jabatan adalah bermental korup, sehingga ketika ada kesempatan di dapat bisa memainkan anggaran.
Jadi kalau ingin mengurangi korupsi di indonesia mestinya ada regulasi yang mengatur suap dan sogok menyogok dalam mendapatkan pekerjaan atau jabatan lebih berat hukumannya dibandingkan korupsi itu sendiri. Sementara kalau ingin menghilangkan suap atau sogok menyogok, nampaknya negara perlu memikirkan pembentukan lembaga mitra KPK dengan nama KAS (Komisi Anti Suap/Sogok). Tugas utama KAS adalah menangkap kandidat kepala daerah yang terbukti menyuap suara rakyat, mendiskualifikasi kandidat kepala daerah yang terbukti menyogok partai menjadi kendaraan politiknya. Mencabut mandat semua SKPD yang terbukti menyogok jabatannya. Intinya semua jabatan hasil sogokan di instansi sipil, kepolisian maupun militer harus dihentikan kalau ingin melihat Indonesia bersih dari korupsi.
Jadi mari bersatu membunuh pohon korupsi Indonesia dengan membakar atau mencabut akar tunggangnya bernama “suap atau sogok menyogok”. Terlebih ajaran agama Islam mengatakan : “memberi sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan ataupun jabatan, maka hukumnya adalah haram bagi pemberi maupun penerima suap”.
Penulis adalah akademisi, inspirator dan penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta