Berlangsung Khidmat Pesta Adat Mandi Sabang di Jeneponto

0
843
- Advertisement -

PINISI.co.id- Pesta adat Jene-Jene Sappara atau Mandi Sabang dilakukan di pinggir laut Desa Balang Loe Tarowang, Jeneponto ini merupakan pesta tahunan yang digelar setiap bulan Sabang, dirangkaikan dengan pelantikan dewan adat kerajaan Tarowang (11/9/2022).

Pelantikan dewan adat kerajaan Tarowang
dipimpin langsung oleh Sombayya Ri Gowa Andi Kumala Idjo Daeng Sila Karaeng Lembang Parang Batara Gowa III Raja Gowa ke-38 dilanjutkan pembacaan ikrar pelantikan, penyerahan pataka lapa eja dan Pin Lapa Eja kepada Pemangku adat Kecamatan Tarowang Muh. Arif Sonda Karaeng Kulle.

Pelantikan dewan adat kerajaan Tarowang dihadiri 37 Dewan Kerajaan Nusantara, serta penjemputan benda pusaka dikawal iring-iringan pasukan tombak yang berkuda, disaksikan para dewan kerajaan. Ada tombak, keris, badik, kendi, kipas, trisula dan lainnya, semuanya benda kerajaan.

Adapun rangkaian ritual dari pesta adat ini yakni appasempa, a’lili’, a’rurung kalompoang, dengka pada, pakarena, parabbana, pagambusu, pa pui’-pui’. Serta digelar Paolle, pa’batte jangang, akraga, a’ je’ne’-je’ne, dan ammanyukang kanrangang.

Tidak kalah hebohnya lagi 3 hari berturut-turut digelar lomba dan pameran dintaranya : Lomba Lagu Daerah Makassar, Lomba Rias Pengantin, Drama Kolosal Kerajaan Tarowang, Pameran Benda Pusaka, Tari Tradisonal.

- Advertisement -

Upacara adat jene-jene sappara (artinya: mandi-mandi di bulan Safar) merupakan satu di antara  rangkaian ritual adat yang dilakukan dengan cara menceburkan diri secara bersama-sama di pantai Balangloe Tarowang. Ritual yang dilaksanakan sebelum masuk waktu salat zuhur ini telah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu.

Awalnya, tradisi ini dilakukan sesuai dengan keyakinan masyarakat yang menganutnya secara turun-temurun. Upacara adat ini dilakukan sebagai  ungkapan rasa syukur masyarakat Desa Balangloe Tarowang atas segala limpahan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa.

Jene-jene sappara dilaksanakan selama satu pekan, ditambah dengan persiapan–persiapan upacara adat tersebut. Puncaknya dilaksanakan pada tanggal 14 Safar tahun Hijriah. Seluruh warga Desa Balangloe Tarowang, mengikuti upacara ini. Bahkan warga desa yang sudah merantau ke daerah lain pun akan pulang,  supaya bisa menghadiri kemeriahan upacara ini.

Simbolik dalam jene-jene sappra  salah satu Tokoh masyarakat millenial Desa Balalngloe Tarowang, Amdy Safri Karaeng Daming, mengungkapkan bahwa  jene-jene sappara merupakan salah satu ikon Kabupaten Jeneponto. Upacara adat ini terdiri atas serangkaian ritual, yakni a’muntuli riballa karaenga, a’lili, a’rurung kalompoang, dan pakarena. 

Ammuntuli, satu di antara rangkaian ritual jene-jene sappara yang dilakukan dengan mendatangi para bangsawan (karaeng-karaenga), turunan raja-raja Tarowang dan juga para petinggi pemerintah.

Orang yang melakukan ritual ini biasanya adalah para gadis remaja yang menggunakan pakaian adat berupa baju bodo dan sarung sutera, atau yang dikenal dengan sebutan lipak sabbe.

Dalam perspektif interaksionisme simbolik, ritual ini merupakan simbol tersendiri bagi masyarakat. Ritual ammuntuli  adalah sebentuk penghargaan bagi para turunan raja-raja Tarowang atau para petinggi dari pemerintahan Kabupaten Jeneponto karena mereka diundang secara istimewa melalui tradisi ini.

Kedua, a’lili’, adalah ritual yang diadakan oleh pemuka adat yang disebut ta’bi, dengan melilitkan benang pada batang kayu yang telah ditancapkan ke dalam tanah sebanyak 12 buah. Batang kayu yang digunakan adalah kayu khusus yang dikenal dengan sebutan kayu baranak oleh masyarakat setempat.

Batang kayu ini ditancapkan di area upacara adat, tepatnya di pesisir pantai Balangloe Tarowang. Batang kayu baranak tersebut kemudian dililitkan sebanyak dua belas kali dengan benang yang telah disediakan oleh Sang tabbi.

Sosok yang tidak hanya dikenal sebagai pemuka adat, namun juga dikenal sebagai dukun atau orang pintar oleh masyarakat setempat karena memiliki kemampuan untuk mengobati penyakit. Meskipun masih menggunakan metode tradisional berupa penggunaan obat dan ramuan dari alam.

Batang kayu baranak yang berjumlah 12 batang dan ditancapkan secara melingkar di atas tanah area acara ini diibaratkan sebagai manusia. Sementara rangkaian benang yang dililit pada sekeliling lingkaran batang kayu tersebut diibaratkan sebagai alat pemersatu masyarakat setempat sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan kelompok masyarakat yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas di antara mereka.

Ritual tersebut menggambarkan nilai integrasi sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Melalui pelaksanaan ritual itu, secara tidak langsung masyarakat mendapatkan pesan tentang pentingnya menjaga nilai–nilai integrasi di antara mereka. Sehingga  masyarakat sadar dan memahami bahwa mereka adalah sebuah sistem yang perlu menjunjung tinggi nilai solidaritas sosial di antara anggota masyarakat, khususnya yang berdomisili di Desa Balangloe Tarowang.

Ketiga, a’rurung Kalompoang, merupakan roh dari upacara adat jene-jene sappara. Ritual ini dianggap sangat penting. Dari segi bahasa, “a’rurungkalompoang” berarti pawai kebesaran. Sementara menurut istilah,  “a’rurungkalompoang” adalah  ritual yang dilaksanakan dalam bentuk pawai mengelilingi area upacara dan berakhir pada lingkaran batang kayu baranak. Ujar “Karaeng Daming”

Pawai ini diikuti oleh para pemuda desa setempat. Mereka yang terpilih sebagai peserta biasanya para pemuda yang berasal dari keturunan Kerajaan Tarowang. Pawai ini dilaksanakan pada puncak jene-jene sappara dengan menggunakan 7 hingga 9 ekor kuda sebagai tunggangan.

Para pemuda melakukan pawai dengan membawa benda–benda pusaka peninggalan Kerajaan Tarowang. Pawai ini berakhir pada prosesi mengelilingi kayu baranak yang telah melalui proses ritualisasi oleh tabbi. Ritual ini dikenal dengan istilah niburai.

Mereka berkeliling sebanyak tujuh kali hingga akhirnya berhenti pada area baruga adat (baruga panggadakkang), tempat pelaksanaan upacara adat tersebut. Benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Tarowang yang dibawa oleh para pemuda dalam tunggangan kudanya terdiri dari beraneka ragam benda pusaka, alat perang atau benda tajam hingga perlengkapan sehari-hari kerajaan.

Benda pusaka tersebut antara lain keris sang raja. A’rurung kalompoang sebagai salah satu rangkaian ritual merupakan bentuk pengejawantahan kepekaan sosial masyarakat untuk senantiasa menjaga stabilitas sosial masyarakat desa Balangloe Tarowang.

Tari pakarena ditampilkan pada acara puncak jene-jene sappara. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sekelompok penari perempuan yang diiringi alat musik daerah yang disebut pui’-pui’ (Dok Dinas pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jeneponto)

Keempat, “pakarena” ditampilkan pada acara puncak jene-jene sappara. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sekelompok penari perempuan yang diiringi alat musik daerah yang disebut pui’–pui’. Selain itu, tarian ini juga diiringi oleh tabuhan gendang dari para pemusik yang disebut pa’ ganrang.

Pakarena biasanya dilaksanakan di halaman rumah adat yang disebut baruga panggadakkang, yang terletak di pesisir pantai Desa Balangloe Tarowang, pada tanggal 14 Safar tahun Hijriah. Sebagai tarian tradisional, tari pakarena biasanya diselingi pula dengan lagu tradisonal yang berjudul pakarena.

Tarian ini dimainkan dalam 12 bagian. Tiap gerakannya mempunyai makna dan filosofi masing-masing. Posisi duduk menjadi tanda awal dan akhir dari tarian ini. Gerakan berputar yang mengikuti arah jarum jam menggambarkan siklus kehidupan manusia yang terus berputar. Sementara naik-turun melambangkan irama kehidupan yang tidak pernah mulus.

Ada saatnya seseorang berada di atas dan ada saatnya berada di bawah. Pola gerakan ini mengingatkan kita akan pentingnya kesabaran dan kesadaran manusia dalam menghadapi kehidupan, bahwa hidup tidak selamanya senang, bahagia, beruntung, dan sebagainya. Namun, manusia juga terkadang berada dalam kondisi sedih, susah, rugi,  sehingga manusia harus memiliki kesabaran tatkala  berada dalam
posisi yang tidak mengenakkan. Dan sebaliknya, tidak sombong ketika berada dalam posisi yang menguntungkan. Jadi, tawakal dapat dikatakan makna yang sesungguhnya dalam gerakan naik turun tarian pakarena.

Serangkaian ritual upacara adat jene-jene sappara, mulai dari ammuntuli, a’lili’, a’rurung kalompoang, dan pakarena mengajarkan tentang nilai-nilai gotong royong, saling menghargai, kebersamaan, suka duka, solidaritas, dan yang paling penting adalah filosofi tawakal dalam mengarungi kehidupan ombak kehidupan.

Tarian empat etnis dan pemukulan gendang secara klosal yang tetap seirama menggambarkan berbeda beda tapi satu jua, irama dan seni yang kompak memberi makna A`bulo Sibatang accera sitongka tongka. (Asbar Bilu)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here